Ambang batas
perolehan suara 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau parliamentary threshold/PT) yang maktub dalam ketentuan
Pasal 208 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD (UU Pemilu), mengundang keberatan sejumlah parpol gurem, LSM, dan
perorangan warga. Merasa dirugikan, mereka memohohankan uji materi UU Pemilu ke
Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi permohonan,
Mahkamah menggelar sidang pendahuluan pada Kamis (14/6/2012) siang, untuk
perkara 51/PUU-X/2012 dan 52/PUU-X/2012 yang digabung dalam satu
persidangan. Bertindak sebagai Pemohon 51/PUU-X/2012 yaitu
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Yayasan Soegeng
Sarjadi, Yuda Kusumaningsih, Wahyu Dinata, Lia Wulandari, Rahmi Sosiawaty, Khoirunnisa
Nur Agustyati, Devi Darmawan, Yuristinus Oloan, dan Adriana Venny Aryani. Para
Pemohon memberikan kuasa kepada Veri Junaidi dkk.
Sedangkan perkara 52/PUU-X/2012 dimohonkan oleh 22
partai politik (parpol): Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Bulan
Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Karya Peduli Bangsa
(PKPB), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Persatuan
Nasional (PPN), Partai Patriot, Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Pelopor,
Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Indonesia Sejahtera (PIS),
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), Partai Buruh, Partai
Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng
Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai
Kedaulatan, Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Republika Nusantara (PRN).
Para Pemohon memberikan kuasa kepada Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra, SH dkk.
Daulat Rakyat
Pasal 208
menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan
suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”
Kelompok Pemohon pertama yaitu Perludem dkk
mengujikan konstitusionalitas Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa ”...secara nasional...”. Pemohon
merasa dirugikan karena keberadaan frasa tersebut Pemohon berpotensi kehilangan
kedaulatan pemilih khususnya dalam pemberian suara di tingkat provinsi,
kabupaten/kota akibat diberlakukannya ambang batas secara nasional. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal
1 ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Suara Para Pemohon menjadi tidak berarti
akibat aturan yang diskriminatif karena penentuan lembaga perwakilan di tingkat
daerah disamakan dengan tingkat nasional,” kata Veri Junaidi.
Berlakunya PT tidak konsisten dengan semangat
ketentuan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Penetapan
dengan suara terbanyak menghendaki dan menghargai kehendak rakyat yang
tergambar dari pilihan secara langsung. Namun, berlakunya PT jelas tidak
mengindahkan daulat rakyat melalui penetapan suara terbanyak, khususnya
terhadap anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. “Tentu tidak bisa
dinalar ketika penetapan calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota harus
didasarkan pada perolehan suara anggota DPR di tingkat nasional,” lanjut Veri.
Memperkuat
argumentasinya, Veri memaparkan perolehan suara partai-partai nonkursi di DPR
yang meraup kursi cukup signifikan di DPRD. Bahkan beberapa
partai nonkursi DPR mampu menembus 5 besar perolehan kursi di 9 daerah. Misalnya
PKNU di Jawa Timur, PNI Marhaenisme di Bali, PBB di Nusa Tenggara Dan Maluku
Utara, PDS di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, PNBKI di Sulawesi Tenggara,
Partai Patriot di Papua, dan PDK di Papua Barat.
Seperti Parpol Baru
Pemohon kelompok kedua (perkara 52/PUU-X/2012),
yaitu PKNU dkk, melalui kuasanya, Andi Muhammad Asrun, menyatakan, hak-hak
konstitusional mereka dirugikan akibat berlakunya ketentuan dalam Pasal 8 ayat
(1) dan (2), dan Pasal 208 UU Pemilu, yaitu Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan
suara dari jumlah suara sah secara nasional”, dan ayat (2) sepanjang frasa
“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu
sebelumnya atau”, serta Pasal 208 sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota”.
Pasal 8 ayat (1)
dan ayat (2) UU Pemilu berisi ketentuan mengenai parpol peserta Pemilu 2009
yang memenuhi PT secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014, tanpa
harus melalui persyaratan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebaliknya, parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi PT, tidak secara
otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014, tetapi harus melalui
persyaratan verifikasi faktual oleh KPU, seperti halnya partai baru yang
dibentuk setelah tahun 2009. Menurut Pemohon, ketentuan dalam pasal-pasal yang
diujikan, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal
28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
“Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir
2009 yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional
disamakan kedudukannya dengan partai baru dalam hal kepesertaan pemilu
berikutnya,” kata Asrun. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar