Kamis, 14 Juni 2012

Menguji Konstitusionalitas “Parliamentary Threshold” dalam UU Pemilu

Ambang batas perolehan suara 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau parliamentary threshold/PT) yang maktub dalam ketentuan Pasal 208 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu), mengundang keberatan sejumlah parpol gurem, LSM, dan perorangan warga. Merasa dirugikan, mereka memohohankan uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menanggapi permohonan, Mahkamah menggelar sidang pendahuluan pada Kamis (14/6/2012) siang, untuk perkara 51/PUU-X/2012 dan 52/PUU-X/2012 yang digabung dalam satu persidangan. Bertindak sebagai Pemohon 51/PUU-X/2012 yaitu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Yayasan Soegeng Sarjadi, Yuda Kusumaningsih, Wahyu Dinata, Lia Wulandari, Rahmi Sosiawaty, Khoirunnisa Nur Agustyati, Devi Darmawan, Yuristinus Oloan, dan Adriana Venny Aryani. Para Pemohon memberikan kuasa kepada Veri Junaidi dkk.

Sedangkan perkara 52/PUU-X/2012 dimohonkan oleh 22 partai politik (parpol): Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Persatuan Nasional (PPN), Partai Patriot, Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Pelopor, Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), Partai Buruh, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Kedaulatan, Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Republika Nusantara (PRN). Para Pemohon memberikan kuasa kepada Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra, SH dkk.

Daulat Rakyat
Pasal 208 menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”

Kelompok Pemohon pertama yaitu Perludem dkk mengujikan konstitusionalitas Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa ”...secara nasional...”. Pemohon merasa dirugikan karena keberadaan frasa tersebut Pemohon berpotensi kehilangan kedaulatan pemilih khususnya dalam pemberian suara di tingkat provinsi, kabupaten/kota akibat diberlakukannya ambang batas secara nasional. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Suara Para Pemohon menjadi tidak berarti akibat aturan yang diskriminatif karena penentuan lembaga perwakilan di tingkat daerah disamakan dengan tingkat nasional,” kata Veri Junaidi.

Berlakunya PT tidak konsisten dengan semangat ketentuan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Penetapan dengan suara terbanyak menghendaki dan menghargai kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan secara langsung. Namun, berlakunya PT jelas tidak mengindahkan daulat rakyat melalui penetapan suara terbanyak, khususnya terhadap anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. “Tentu tidak bisa dinalar ketika penetapan calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota harus didasarkan pada perolehan suara anggota DPR di tingkat nasional,” lanjut Veri.

Memperkuat argumentasinya, Veri memaparkan perolehan suara partai-partai nonkursi di DPR yang meraup kursi cukup signifikan di DPRD. Bahkan beberapa partai nonkursi DPR mampu menembus 5 besar perolehan kursi di 9 daerah. Misalnya PKNU di Jawa Timur, PNI Marhaenisme di Bali, PBB di Nusa Tenggara Dan Maluku Utara, PDS di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, PNBKI di Sulawesi Tenggara, Partai Patriot di Papua, dan PDK di Papua Barat.
 
Seperti Parpol Baru
Pemohon kelompok kedua (perkara 52/PUU-X/2012), yaitu PKNU dkk, melalui kuasanya, Andi Muhammad Asrun, menyatakan, hak-hak konstitusional mereka dirugikan akibat berlakunya ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2), dan Pasal 208 UU Pemilu, yaitu Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”, dan ayat (2) sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”, serta Pasal 208 sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.  

Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu berisi ketentuan mengenai parpol peserta Pemilu 2009 yang memenuhi PT secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014, tanpa harus melalui persyaratan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebaliknya, parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi PT, tidak secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014, tetapi harus melalui persyaratan verifikasi faktual oleh KPU, seperti halnya partai baru yang dibentuk setelah tahun 2009. Menurut Pemohon, ketentuan dalam pasal-pasal yang diujikan, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

“Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir 2009 yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional disamakan kedudukannya dengan partai baru dalam hal kepesertaan pemilu berikutnya,” kata Asrun. (Nur Rosihin Ana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More