Catatan Perkara MK
Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pemilihan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) memuat ketentuan mengenai kepesertaan pemilu yang sangat tidak adil dan diskriminatif. Selain itu memuat ketentuan mengenai angka ambang batas perolehan suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau parliamentary threshold/PT) dan pemberlakuannya secara flat nasional (untuk penentuan kursi DPR RI) hingga ke tingkat daerah (untuk penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota). Adanya ketentuan tersebut akan menggerus bahkan menghilangkan kemajemukan atau ke-bhineka tunggal ika-an dan persatuan maupun prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945 yang menjadi cita-cita hukum (rechtsidee) dari pembentukan UU Pemilu itu sendiri.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pemilihan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) memuat ketentuan mengenai kepesertaan pemilu yang sangat tidak adil dan diskriminatif. Selain itu memuat ketentuan mengenai angka ambang batas perolehan suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau parliamentary threshold/PT) dan pemberlakuannya secara flat nasional (untuk penentuan kursi DPR RI) hingga ke tingkat daerah (untuk penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota). Adanya ketentuan tersebut akan menggerus bahkan menghilangkan kemajemukan atau ke-bhineka tunggal ika-an dan persatuan maupun prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945 yang menjadi cita-cita hukum (rechtsidee) dari pembentukan UU Pemilu itu sendiri.
Demikian antara lain dalil permohonan perkara yang
diregistrasi dengan nomor 52/PUU-X/2012 perihal pengujian Pasal 8 ayat (1) dan
(2), dan Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pemilihan Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu). Uji materi UU Pemilu ini diajukan oleh
oleh 22 partai politik (parpol): Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU),
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Karya
Peduli Bangsa (PKPB), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai
Persatuan Nasional (PPN), Partai Patriot, Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai
Pelopor, Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Indonesia Sejahtera
(PIS), Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), Partai Buruh,
Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Merdeka, Partai Nasional
Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), Partai Pemuda Indonesia (PPI),
Partai Kedaulatan, Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Republika Nusantara
(PRN). Para Pemohon memberikan kuasa kepada Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra,
SH dkk.
Pasal 8 menyatakan, “(1) Partai Politik Peserta
Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta
Pemilu pada Pemilu berikutnya. (2) Partai politik yang tidak memenuhi ambang
batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat
menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:”
Pasal 208 menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu
harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma
lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.
Para Pemohon merasakan hak-hak konstitusional mereka
dirugikan akibat berlakunya ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2), dan Pasal
208 UU Pemilu, yaitu Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara
dari jumlah suara sah secara nasional”, dan ayat (2) sepanjang frasa “Partai
politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya
atau”, serta Pasal 208 sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota”.
Ketentuan Pasal 8
ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu berisi ketentuan mengenai parpol peserta Pemilu
2009 yang memenuhi PT secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014,
tanpa harus melalui persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebaliknya, parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak
memenuhi PT, tidak secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014. Jika
ingin menjadi peserta Pemilu 2014, parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi
PT, harus melalui persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU. Hal
ini sama halnya dengan parpol yang baru dibentuk setelah tahun 2009.
Sedangkan
ketentuan Pasal 208 UU Pemilu mengatur ketentuan mengenai Parliamentary
Threshold (PT), kenaikan angka PT menjadi 3.5% dari sebelumnya 2.5%
sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu, dan mengatur tentang pemberlakuan PT secara flat dari nasional/pusat (untuk penentuan kursi DPR RI) sampai ke daerah (untuk penentuan kursi
DPRD provinsi dan kabupaten/kota).
Para Pemohon
adalah parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi PT sehingga untuk menjadi
peserta Pemilu 2014 harus melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual
yang sangat ketat oleh KPU. Para Pemohon telah dirugikan hak-hak
konstitusionalnya karena diperlakukan sangat tidak adil dan diskriminatif yang
bertentangan dengan UUD 1945.
Laiknya Parpol Baru
UU Pemilu 2012
menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal
uncertainty). Sebab, Pemohon sebelumnya sudah mendapat jaminan untuk
menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan
Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu Tahun 2008 yang tidak membedakan antara
parpol peserta Pemilu 2009, baik parpol yang memenuhi PT maupun yang tidak
memenuhi PT.
Namun karena
adanya perubahan dan penggantian menjadi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan
ayat (2) UU Pemilu 2012, mengakibatkan para Pemohon tidak mendapatkan jaminan
kepastian hukum yang adil sebagai peserta Pemilu 2014. Ketentuan ini
menempatkan para Pemohon sebagai peserta pemilu sebelumnya (Pemilu 2009) yang
tidak memenuhi PT, disamakan kedudukannya dengan parpol baru yang harus melalui
persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU.
Mengenai ketentuan
Pasal 208 UU Pemilu, menurut para Pemohon ketentuan tersebut bertentangan
dengan Pembukaan alinea ke-4, Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 208 UU Pemilu menghilangkan kedaulatan
rakyat dan keterwakilan politik rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi telah
memberikan pendapat dan penafsiran dalam putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 tanggal
13 Februari 2009 bahwa penentuan PT menjadi domain pembentuk UU dengan catatan
tidak boleh bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan
rasionalitas.
Suara Hilang
Kenaikan PT dan
pemberlakuannya secara flat nasional jelas akan menghilangkan prinsip
kedaulatan rakyat, karena akan menghilangkan suara rakyat sebagai pemilih dalam
pemilu dan melahirkan para anggota DPR, DPRD provinsi maupun DPRD
kabupaten/kota yang tidak dipilih berdasarkan pilihan rakyat. Dengan demikian,
keterwakilan politik rakyat (political representativeness) yang
sesungguhnya menjadi tujuan pemilu, menjadi tidak ada. Sebab ada keterputusan
antara pilihan rakyat dengan yang mewakilinya (DPR, DPRD provinsi maupun DPRD
kabupaten/kota).
Pengalaman Pemilu
2009 dengan PT 2.5% sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10
Tahun 2008, terdapat 19.047.481 atau 18.31% suara rakyat yang hilang atau tidak
memperoleh keterwakilan politik dari jumlah total suara sah 104.048.118.
Sedangkan jumlah suara tidak sah 17.540.248 atau 14.43% dari jumlah total
pemilih 121.588.366 suara. Dengan demikian, total suara yang hilang adalah
19.047.481 + 17.540.248 = 36.587.720 atau sekitar 30.09% dari jumlah total
pemilih 121.588.366 suara.
Para
Pemohon dalam petitum permohonan meminta Mahkamah mengabulkan seluruh
permohonan. Kemudian, menyatakan Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “yang
memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”,
dan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “Partai politik yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”, serta Pasal
208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa “DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota”, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat
(1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar