Rabu, 27 Juni 2012

Penguasaan Hutan oleh Negara Harus Memperhatikan Hak Masyarakat Hukum Adat

Hak masyarakat hukum adat yang menjadi identitas budaya yang harus dihormati, merupakan suatu tafsiran yang belum final. Dengan kata lain, masih dalam proses penemuan interpretasi yang sesuai dengan fungsi perlindungan, penghormatan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (4). UUD 1945. Reinterpretasi berkenaan dengan adanya pranata pemerintahan adat. Kemudian, keberadaan hak masyarakat adat diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Masyarakat hukum adat sebagai komunitas antropologis yang secara berlanjut mendiami satu wilayah yang sama secara turun-temurun, telah lebih dahulu terbentuk sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Masyarakat hukum adat tersebut dalam sejarahnya memiliki hak dan kewenangan publik dalam mengelola masyarakat di bidang hukum adat, sosial, kultural, dan ekonomi yang memang jikalau dilihat menjadi bagian Indonesia merdeka, kita harus dapat mendudukkannya dengan tepat berkenaan dengan kekuasaan negara sebagai pemegang mandat dari rakyat yang berdaulat.”

Demikian paparan Maruarar Siahaan dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan oleh para Pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/6/2012) siang. Sidang pleno perkara nomor 35/PUU-X/2012 ihwal
Pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), beragendakan Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon.

Lebih lanjut Maruarar menyatakan, adanya masyarakat hukum adat yang memiliki hak tradisional yang bersifat kewilayahan akan menimbulkan benturan dengan kekuasaan negara jika tidak ada pengaturan yang jelas. Oleh karena itu, politik hukum yang lahir dari konstitusi yang menegaskan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dikenal juga dalam konvensi internasional, harus dapat ditentukan secara konseptual untuk kemudian melindungi masyarakat hukum adat secara efektif.

“Pengakuan yuridis secara internasional yang  ditemukan dalam Konvensi ILO Nomor 169 Tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries tentu merupakan suatu bandingan yang harus dilirik dengan serius,” lanjut mantan Hakim Konstitusi yang akrab dipanggil Maru.

Apa yang dimohonkan oleh Pemohon, terang Maru, merupakan makna baru dalam melihat norma yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan yang berbunyi: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Menurut Maru, seharusnya Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan berbunyi: “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat.”

Persidangan kali ini juga menghadirkan para saksi yang dihadirkan Pemohon. Kaharuddin T dari Suku Punan Dulau di Kalimantan Timur, dalam kesaksiannya menyatakan Pemerintah Kabupaten Bulungan memindahkan Suku Punan Dulau ke Desa Sekatak Puji Kecamatan Sekatak pada tahun 1970. Kaharuddin juga menerangkan aturan adat yang berlaku hingga sekarang, yaitu apabila ada orang luar memasuki hutan wilayah adat secara diam-diam tanpa sepengetahuan masyarakat adat, maka orang tersebut dikenakan sanksi hukum adat. Sanksi hukum adat diadili oleh kapitan sesuai dengan kesalahannya, misalnya didenda Rp3.000.000,00. “Jadi, bagi siapa yang menebang atau mengambil pohon, atau memanjat pohon madu, misalnya, dikenakan denda yang lebih besar lagi karena merusak dan itu dikenakan denda nama tempayan (guci) dan nilainya sekarang Rp10.000.000,00,” terang Kahar.

Untuk diketahui, pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 67 UU Kehutanan ini dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu. Materi dalam UU Kehutanan tersebut menyebabkan Pemohon kehilangan wilayah hutan adat-nya. Sehingga  masyarakat hukum adat kehilangan sumber penghasilan dan sumber penghidupan. Selain itu, masyarakat hukum adat terancam pemidanaan. (Nur Rosihin Ana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More