Hak masyarakat hukum adat yang menjadi identitas
budaya yang harus dihormati, merupakan suatu tafsiran yang belum final. Dengan
kata lain, masih dalam proses penemuan interpretasi yang sesuai dengan fungsi
perlindungan, penghormatan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung
jawab negara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (4). UUD 1945. Reinterpretasi
berkenaan dengan adanya pranata pemerintahan adat. Kemudian, keberadaan hak
masyarakat adat diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Masyarakat hukum adat sebagai komunitas antropologis
yang secara berlanjut mendiami satu wilayah yang sama secara turun-temurun,
telah lebih dahulu terbentuk sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. “Masyarakat hukum adat tersebut dalam sejarahnya memiliki hak dan
kewenangan publik dalam mengelola masyarakat di bidang hukum adat, sosial,
kultural, dan ekonomi yang memang jikalau dilihat menjadi bagian Indonesia
merdeka, kita harus dapat mendudukkannya dengan tepat berkenaan dengan
kekuasaan negara sebagai pemegang mandat dari rakyat yang berdaulat.”
Demikian paparan Maruarar Siahaan dalam kapasitasnya
sebagai ahli yang dihadirkan oleh para Pemohon dalam persidangan di Mahkamah
Konstitusi, Rabu (27/6/2012) siang. Sidang pleno perkara nomor 35/PUU-X/2012
ihwal
Pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 67 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), beragendakan Mendengarkan
Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon.
Lebih lanjut Maruarar menyatakan, adanya masyarakat
hukum adat yang memiliki hak tradisional yang bersifat kewilayahan akan menimbulkan
benturan dengan kekuasaan negara jika tidak ada pengaturan yang jelas. Oleh
karena itu, politik hukum yang lahir dari konstitusi yang menegaskan pengakuan
negara terhadap masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dikenal juga dalam
konvensi internasional, harus dapat ditentukan secara konseptual untuk kemudian
melindungi masyarakat hukum adat secara efektif.
“Pengakuan yuridis secara internasional yang ditemukan dalam Konvensi ILO Nomor 169 Tahun
1989 tentang Indigenous
and Tribal Peoples in Independent Countries tentu
merupakan suatu bandingan yang harus dilirik dengan serius,” lanjut mantan
Hakim Konstitusi yang akrab dipanggil Maru.
Apa yang dimohonkan oleh Pemohon, terang Maru, merupakan
makna baru dalam melihat norma yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan
yang berbunyi: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat.” Menurut Maru, seharusnya Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan berbunyi: “Hutan
adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan
penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat.”
Persidangan kali ini juga menghadirkan para saksi
yang dihadirkan Pemohon. Kaharuddin T dari Suku Punan Dulau di Kalimantan Timur,
dalam kesaksiannya menyatakan Pemerintah Kabupaten Bulungan memindahkan Suku
Punan Dulau ke Desa Sekatak Puji Kecamatan Sekatak pada tahun 1970. Kaharuddin
juga menerangkan aturan adat yang berlaku hingga sekarang, yaitu apabila ada
orang luar memasuki hutan wilayah adat secara diam-diam tanpa sepengetahuan
masyarakat adat, maka orang tersebut dikenakan sanksi hukum adat. Sanksi hukum
adat diadili oleh kapitan sesuai dengan kesalahannya, misalnya didenda Rp3.000.000,00.
“Jadi, bagi siapa yang menebang atau mengambil pohon, atau memanjat pohon madu,
misalnya, dikenakan denda yang lebih besar lagi karena merusak dan itu
dikenakan denda nama tempayan (guci) dan nilainya sekarang Rp10.000.000,00,”
terang Kahar.
Untuk diketahui, pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 4
ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 67 UU
Kehutanan ini dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu. Materi
dalam UU Kehutanan tersebut menyebabkan Pemohon kehilangan wilayah hutan
adat-nya. Sehingga masyarakat hukum adat
kehilangan sumber penghasilan dan sumber penghidupan. Selain itu, masyarakat
hukum adat terancam pemidanaan. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar