Money politics atau vote
buying adalah tindakan yang tercela dalam proses pemilu dan pemilukada di mana
pun di dunia ini. Tak satu pun negara di dunia ini yang mentolerir tindakan money
politics atau vote buying. “Akan tetapi di Indonesia, money
politics atau vote buying seolah-olah menjadi hal yang lumrah.
Terbukti hampir semua sengketa pemilukada di Mahkanah Konstitusi mempersoalkan
terjadinya praktik yang tidak terpuji ini.” Demikian paparan Refly Harun saat bertindak
sebagai ahli yang dihadirkan oleh pasangan Yusuf Latuconsina-Liliane Aitonam (Ina
Ama) selaku Pemohon perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah
(Pemilukada) Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) putaran kedua Tahun 2012, dalam
persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/6/2012). Sidang
perkara 38/PHPU.D-X/2012 dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli ini dilaksanakan
oleh Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (Ketua Panel), Harjono dan Ahmad
Fadlil Sumadi.
Refly mengulas pelanggaran money
politics atau vote buying yang yang diduga dilakukan
oleh pasangan Tuasikal Abua-Marlatu Leleury (Tulus) yang menjadi
Pihak Terkait dalam perkara ini. Sebagaimana
didalilkan pasangan Ina Ama, para pemilih memotong gambar kepala salah satu pasangan calon untuk
ditukarkan dengan uang Rp 50.000,00.
Refly juga memaparkan terjadinya pelanggaran yang
menjadi alasan permohonan, antara lain mengenai bentuk surat suara, rekomendasi
panwas yang tidak ditindaklanjuti, DPT yang berbeda, pemajuan jadwal pemilukada,
terbitnya surat edaran KPU ketika pemilukada atau pencoblosan masih
berlangsung, kemudian rekap yang diadakan PPS, keterlibatan Bupati Maluku
Tengah dalam pemenangan pasangan Tuasikal Abua-Marlatu Leleury (Tulus) yang menjadi
Pihak Terkait dalam perkara ini. “Semua yang didalilkan Pemohon tersebut adalah
pelanggaran-pelanggaran yang berpengaruh kepada integritas pemilu dan merupakan
bentuk ancaman bagi terwujudnya pemilu yang luber dan jurdil. Saya kira ini hal
yang perlu digarisbawahi. Masalahnya adalah sejauh mana hal-hal tersebut dapat
secara kuantitatif dan kualitatif mempangaruhi hasil Pemilukada Putaran Kedua
Kabupaten Maluku Utara 2012. Saya kira itu yang menjadi concern Mahkamah,”
jelas Refly.
Selanjutnya, Refly membagi jenis pelanggaran menjadi
tiga. Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat
ditafsir pengaruhnya terhadap hasil suara pemilukada. Misalnya, pembuatan
baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang. Kedua, pelanggaran dalam
proses pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil pemilukada. Misalnya money
politics, keterlibatan oknum pejabat pegawai negeri sipil, dugaan pidana
pemilukada. Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat
prinsip dan dapat diukur. Misalnya syarat tidak pernah dijatuhi pidana dan
syarat keabsahan dukungan bagi calon independen.
Dalam simpulan, Refly menyatakan, money politics
dengan metode “potong kepala” berpengaruh langsung terhadap perolehan suara
Pemilukada Malteng Putaran Tahun 2012. “Money politics dengan metode
potong kepala adalah pelanggaran serius terhadap Pasal 22E ayat (1) Perubahan
Ketiga UUD 1945, terutama asas rahasia, jujur dan adil. Permohonan Pemohon
signifikan untuk dikabulkan atau dipertimbangkan,” tandas Refly
Pada persidangan kali keempat ini, pasangan Ina Ama
selaku Pemohon, juga menghadirkan ahli yaitu Hadi Subhan yang tampil sebelum
Refly Harun. Hadi antara lain memaparkan proses persidangan perselisihan hasil pemilukada
di MK. Menurutnya, penyelesaian perselisihan hasil pemilukada di MK tidak hanya
berpedoman kepada kalkulasi hasil, tetapi pada proses. “Justru (proses) ini
yang akan dilihat. Dalam Islam dikatakan bahwa Allah tidak akan melihat suatu
hasil, tetapi akan akan melihat suatu proses.” kata Hadi Subhan. (Nur Rosihin
Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar