Kendali minyak dan gas bumi (Migas) haruslah ada
pada negara dan bangsa Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Kenyataannya sekarang, Indonesia selalu diguncang oleh kenaikan harga
minyak dunia. Padahal kita punya minyak sendiri. Hal ini disebabkan karena kita
menjual minyak mentah terlalu murah. Kemudian kita membelinya dengan harga
mahal. Itu pun harus melalui perantara-perantara.
Pernyataan disampaikan oleh K.H. Hasyim Muzadi
selaku Pemohon judicial review UU Migas, dalam persidangan pleno di
Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/6/2012) siang. Sidang kali kelima perkara 36/PUU-X/2012
dilaksanakan oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Moh Mahfud MD (Ketua Pleno),
Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, dan
Anwar Usman.
Oleh karenanya, lanjut Hasyim, penyelesaian yang ditempuh
harus dimulai dari akarnya, yaitu bagaimana Indonesia bisa mengelola minyaknya
sendiri. Sedangkan pihak asing dan internasional haruslah sepenuhnya dalam
kendali Indonesia. Sehingga secara berangsur kita akan mengontrol harga minyak dalam
negeri sembari memperluas zona-zona pengeboran dan sumber-sumber minyak. Dengan
demikian maka pelan-pelan bangsa ini akan terhindar dari malapetaka sebagai
akibat dari kenaikan harga minyak dunia.
Namun, upaya ke arah itu rupanya mengalami hambatan,
terutama pada aspek legalitas konstitusional. Hasyim menuding UU Migas justru yang
menjerat kaki dan tangan kita sebagai bangsa untuk mengelola hak kita sendiri
yang sebenarnya telah diamanatkan oleh UUD 1945. Hasyim berharap Mahkamah bisa
menerima permohonan para Pemohon sehingga tiada lagi kendala konstitusional
yang berdaya menghambat hak negara atas pengelolaan migas.
“Apabila hal-hal
yang menjadi hambatan baik pada tingkat yuridis formal konstitusional seperti
yang kita bicarakan di sini, kemudian tidak ada kesadaran dari anggota parlemen
kita, sementara dari eksekutif juga tidak ada political will untuk
menuju ke sana, maka saya khawatir bangsa kita semakin hari akan semakin berat
bebannya. Dan seluruh energi dan sumber alam kita menjadi penguasaan orang lain,
sementara kita bertengkar di negeri sendiri,” pungkas mantan Ketua Umum PBNU
ini.
Anjuran Menggelikan
Persidangan kali kelima ini juga mendengar
keterangan ahli. Irman Putra Sidin dalam kapasitasnya sebagai ahli yang
dihadirkan oleh para Pemohon, memulai
keterangannya dengan kisah faktual yang dijumpainya sewaktu dalam perjalanan
menuju MK. Irman sempat memperhatikan mobil dinas plat merah sedang mengantri BBM
nonsubsidi di sebuah SPBU. “Pemandangan ini cukup
menggelikan karena tepat di jendela belakang mobil ini dengan tegar dan
gagahnya tertulis bahwa mobil ini mengkomsumsi BBM nonsubsidi. Menggelikan lagi
karena di satu sisi ada anjuran untuk penghematan anggaran sekaligus hemat
energi, namun kendaraan dinas diharuskan membeli BBM nonsubsidi yang pasti
harganya jauh lebih mahal daripada bahan bakar bersubsidi,” kata Irman berkisah
Irman melanjutkan, Pemerintah tidak bisa melarang rakyat
golongan mana pun untuk membeli produk yang murah dan berkualitas baik. Seluruh
kelas sosial dijamin haknya oleh konstitusi untuk menikmati bahan bakar dengan
mutu yang bagus dan harga yang terjangkau. “Oleh karenanya, kegugupan akan
kebijakan ini ketika mewajibkan seluruh mobil dinas, meski tua dan penyok
sekalipun untuk menenggak BBM mahal, bisa disebabkan karena warisan pengelolaan energi kita yang menjauh dari
konstitusi, atau karena konstitusi kita yang memang harus terus semakin
dipertegas dan diperjelas akan pengelolaan di sektor energi ini,” papar Irman.
Irman juga mengutip putusan MK nomor 001, 021, 022/PUU-I/2003
tentang Pengujian UU 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan putusan Nomor
002/PUU-I/2003 Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang menurutnya telah
meletakkan kerangka konstitusional yang konkrit akan sistem ekonomi
konstitusional. Dalam putusan tersebut, konsep frasa “dikuasai negara”,
haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, yang
bersumber dan berasal dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala
sember kekayaan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan
publik oleh kolektifitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat
secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945, memberikan mandat kepada negara
untuk megadakan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, pengawasan,
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan oleh negara
dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut
fasilitas perizinan, lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR dan bersama dengan pemerintah,
dan regulasi oleh eksekutif. “Fungsi pengelolaan dilakukan oleh mekanisme
pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen badan
usaha milik negara atau badan hukum milik negara sebagai instrumen kelembagaan
melalui makna negara c.q. pemerintah mendayagunakan penguasaanya atas
sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,”
tegas Irman.
Sebagaimana diketahui, pada Kamis (29/3/2012) lalu,
Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi massa (ormas) dan tokoh
nasional, mengajukan permohonan uji materi UU Migas ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Ormas-ormas dimaksud yaitu: Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia,
Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia,
Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan Pusat Persaudaraan
Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar
Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, dan Solidaritas Juru
Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK).
Sedangkan Pemohon perorangan yaitu: K.H. Achmad
Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara,
Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala
Chandra Dewi M, HM. Ali Karim OEI, Adhi Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri
Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Masgehun S, Nuraiman,
Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa,
BA, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono,
Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah. (Nur
Rosihin Ana)
Berita terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar