Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD
1945 tidak lagi abslout setelah dirumuskannya Pasal 22D ayat (2) Perubahan
Ketiga UUD 1945. Artinya, tidak semua rancangan undang-undang (RUU) dibahas
bersama hanya oleh DPR dan Presiden, melainkan ada pula RUU yang pembahasannya
mengikutsertakan DPD.
Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 (tahun 1999)
menyatakan, “Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.” Kemudian Pasal 22D ayat (2)
Perubahan Ketiga UUD 1945 (tahun 2001) menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”
Ketentuan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD
1945 merupakan pengecualian (lex specialis) terhadap Ketentuan Pasal 20
ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945. Dengan pengecualian tersebut, maka
Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 harus dikaitkan secara
sistematis dengan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945.
“Persetujuan RUU yang disebut dalam Pasal 22D ayat
(2) Perubahan Ketiga dengan demikian dilakukan oleh tiga institusi, yaitu DPR,
DPD, dan Presiden atau tripartit.”
Demikian disampaikan oleh Refly Harun (Prinsipal
Pemohon) dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/1/2013).
Sidang pleno uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), ini dilaksanakan oleh
sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD.
Persetujuan Tripartit
Pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden,
terang Refly, bertujuan untuk dicapainya persetujuan bersama. Dengan demikian,
pembahasan dan persetujuan UU bukanlah kegiatan yang terpisah menurut Ketentuan
Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945.
Persetujuan adalah produk dari proses pembahasan
yang dilakukan oleh DPR dan Presiden. Oleh karena itu, terkait dengan Ketentuan
Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyertakan DPD dalam
pembahasan RUU, maka secara sistematis ketentuan pasal tersebut harus dibaca: “Rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama, dibahas bersama oleh
DPR, Presiden, dan DPD untuk mendapat persetujuan bersama.”
Pasal 1 angka 1 UU P3 menyatakan, “Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan.”
Dari kelima tahapan tersebut, lanjut Refly, DPD
berhak untuk mengikuti tiga tahapan, yaitu perencanaan, penyusunan, dan
pembahasan, sama seperti kewenangan DPR saat ini. “Akan tetapi, DPD hanya
terbatas pada mandat yang termaktub dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar 1945,” dalil Refly.
Sementara itu, Presiden justru berhak mengikuti lima
tahapan tersebut, termasuk tahapan pengesahan dan pengundangan yang tidak
dimiliki oleh DPR maupun DPD. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan RUU,
DPD harus diperlakukan sama dengan DPR dan Persiden sepanjang terkait Pasal 22D
ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945. “DPD dengan demikian mengikuti semua tingkat pembahasan RUU yang
diatur dalam undang-undang, termasuk kegiatan-kegiatan dalam tingkat pembahasan
tersebut. Karena dalam pembahasan tingkat pertama, DPD tidak diikutkan dalam
membahas daftar inventarisasi masalah,” terang Refly.
Sidang kali ini merupakan proses pemeriksaan
terakhir sebelum pengucapan putusan. Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud
MD meminta kepada para pihak untuk membuat kesimpulan dan diserahkan secara
langsung kepada Kepaniteraan MK paling lambat pada Rabu 30 Januari 2013 pukul
16.00 WIB.
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU MD3 dan UU
P3 untuk Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sedangkan untuk Perkara Nomor 104/PUU-X/2012
diajukan oleh Prof Syamsuddin Haris (LIPI), Dr. Yudi Latif (Direktur Eksekutif
Reform Institute), Sukardi Rinakit (Yayasan Soegeng Sarjadi), Titi Anggraini
(Perludem) Toto Sugiarto (Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan
(FORMAPPI), sebagai Pemohon VI, Dr. Hemawan Estu Bagijo, SH, MH (Ketua Asosiasi
Pengajar HTN), Refly Harun (CORRECT), Yuda Kusumaningsih (Pokja Keterwakilan
Perempuan), Sulastio, (IPC), Sulastio (KIPP), Pipit Apriani (KIPP), Yusfitriadi
(JPPR), Abdullah (ICW), Feri Amsari, SH, MH (Dosen HTN Fakultas Hukum
Universitas Andalas), dan King Faisal Sulaiman SH, LLM (Direktur LBH
Imparsial).
Materi UU MD3 yang diujikan yaitu Pasal 71 huruf a,
huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7),
Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
Pasal 154 ayat (5).
Sedangan materi UU P3 yang diujikan yaitu Pasal 18
huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1),
Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48
ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c,
huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b,
Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2).
DPD mendalilkan, Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan
(e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan
legislasi DPD yang seharusnya setara dengan kewenangan legislasi Anggota,
Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21,
Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2)
UU P3 telah meniadakan kewenangan
DPD untuk dapat mengajukan RUU baik di dalam maupun di luar Program Legislasi
Nasional. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis tidak
mengikutsertakan DPD sejak awal proses pengajuan RUU. Pasal 147 ayat (1), ayat
(3), dan (4) UU MD3 telah mendistorsi RUU usul DPD menjadi RUU usul DPR. Pasal
43 ayat (1) dan (2)
serta Pasal 46 ayat (1) UU P3
telah merendahkan kedudukan DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di Bawah DPR.
Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU P3 tidak melibatkan DPD dalam seluruh proses
pembahasan RUU. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar