Penggabungan satu perusahaan dengan perusahaan lain
(merger) seringkali menyisakan masalah ketenagakerjaan. Sementara, ketentuan
mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) manakala perusahaan melakukan merger yang
tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan) dinilai multitafsir. Perbedaan penafsiran terkait dengan nilai
atau besaran kompensasi/imbalan PHK.
Demikian permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan
yang diajukan oleh Dunung
Wijanarko dan Wawan Adi Swi Yanto ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dunung dan Wawan
merupakan karyawan PT ABB Transmission & Didtribution.
Dunung dan Wawan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja setelah perusahaan
tempat dia bekerja melakukan merger dengan perusahaan lain. Pihak perusahaan pun
tidak melakukan PHK terhadap keduanya, tetapi menyatakan keduanya mengundurkan
diri. Perusahaan menafsirkan ketentuan PHK dalam Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
merupakan hak mutlak perusahaan.
Melalui kuasa hukumnya, P. Sanjaya Samosir, Dunung
dan Wawan menyatakan Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah merugikan hak
konstitusional mereka. Kerugian yang dimaksud yaitu hilangnya hak pekerja atau
buruh dalam mengajukan permohonan PHK.
Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan: “Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal
terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).”
Dunung dan Wawan dalam petitum meminta MK menyatakan
Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tidak berkekuatan hukum tetap, sepanjang
tidak dimaknai pengusaha harus melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dalam hal
terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan
dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon masa kerja 1(satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Dunung dan Wawan didampingi kuasa hukumnya, P.
Sanjaya Samosir dkk., hadir di MK untuk menjalani sidang pemeriksaan perbaikan
permohonan, Senin (7/1/2013) siang, bertempat di ruang panel lt. 4 gedung MK.
Persidangan kali kedua untuk perkara dengan register Nomor 117/PUU-X/2012, ini dilaksanakan
oleh Panel Hakim Konstitusi Harjono (Ketua Panel) didampingi Achmad Sodiki dan
Anwar Usman.
Lewat Tenggat
Panel Hakim Konstitusi pada persidangan pendahuluan (19/12/2012)
lalu memberi kesempatan waktu 14 hari kepada Pemohon atau kuasanya untuk memperbaiki
permohonan. Namun hingga persidangan kali ini digelar, Panel Hakim menyatakan
belum menerima perbaikan tersebut.
“Majelis Hakim belum menerima perbaikan Anda. Padahal
sudah cukup waktu yang diberikan,” kata Ketua Panel Hakim Harjono sesaat setelah
membuka sidang.
P. Sanjaya Samosir menyatakan telah menyerahkan perbaikan permohonan ke Kepaniteraan MK
pada hari ini juga, sebelum persidangan digelar. “Kami sudah serahkan tadi, Majelis,” jawab
P. Sanjaya Samosir yang akrab disapa Jaya.
Mendengar jawaban Jaya, Harjono menyatakan perbaikan
permohonan telah melampaui batas waktu 14 hari yang diberikan. Perbaikan seharusnya
diserahkan sebelum batas waktu tersebut. “Nanti akan dipertimbangkan Majelis, perbaikan Anda,” kata Harjono mempertimbangkan perbaikan permohonan yang melewati
tenggat waktu.
Sebelum mengakiri persidangan, Panel Hakim
Konstitusi mengesahkan alat bukti Pemohon, yaitu bukti P-1 sampai P-6. (Nur
Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar