Sistem Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
yang diatur dalam UUD 1945 tidak hanya berdasarkan suara mayoritas tetapi juga mayoritas
bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan,
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari
lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah
jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.
“Artinya, dengan syarat tersebut, suara yang
diperoleh seorang Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus merata di seluruh
wilayah Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Harjono saat membacakan Pendapat
Mahkamah, dalam sidang pengucapan putusan Nomor 25/PUU-X/2012 yang digelar di
Mahkamah Konstitusi, Selasa (8/1/2013) siang.
Putusan ihwal pengujian Pasal 159 pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) diajukan oleh lima
orang kepala suku di Papua. Kelimanya yaitu Hofni Ajoi (Kepala Suku Amberbaken
Kebar Karon, AKK), Maurits Major (Kepala Suku Bikar), Barnabas Sedik (Kepala
Suku Miyah), Marthen Yeblo (Kepala Suku Abun), Stevanus Syufi (Kepala Suku Ireres).
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak
permohonan. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para
Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD
didampingi Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Harjono, Anwar Usman, Muhammad Alim,
Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi.
Para Pemohon mengajukan formula tentang bobot politik
suara dalam Pilpres tidak berdasarkan penghitungan one man one vote.
Menurut para Pemohon, “suara” harus dimaknai, “suara rakyat yang mengandung
bobot politik dengan mencakup unsur penduduk dan unsur wilayah pada tiap-tiap
provinsi di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan”. Selain itu, para Pemohon juga meminta Mahkamah untuk menyatakan
bobot politik suara Pilpres pada tiap-tiap provinsi ialah, “persentase luas wilayah
tiap-tiap provinsi terhadap seluruh luas wilayah Indonesia ditambah dengan
persentase jumlah penduduk tiap-tiap provinsi terhadap seluruh jumlah penduduk
Indonesia, kemudian hasil penjumlahan tersebut dibagi dua”.
Formula tersebut, menurut Mahkamah, mungkin dapat
digunakan dalam memberi bobot suara pemilih. Namun, perumus UUD 1945 dalam
mengatur tata cara Pilpres tidak memilih formula yang diajukan para Pemohon
tersebut. “Perumus UUD 1945 telah menentukan bahwa pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden didasarkan atas perolehan suara mayoritas bersyarat dan one
man one vote,” lanjut Harjono membacakan Pendapat Mahkamah.
Diusulkan
Parpol
Berdasarkan mekanisme Pilpres yang berlaku, siapapun
warga negara Indonesia yang ingin mencalonkan diri sebagai Calon Presiden
dan/atau Calon Wakil Presiden harus terlebih dahulu melewati mekanisme
sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Artinya, siapapun orangnya, dari manapun asalnya,
dari etnis apapun dirinya, untuk menentukan layak atau tidak layaknya seseorang
tersebut menjadi pasangan Capres, harus terlebih dahulu dinilai dan ditentukan
oleh partai politik (Parpol) atau gabungan Parpol peserta pemilihan umum. Produk
dari keputusan ini sudah tidak membedakan sekat-sekat asal etnis atau ikatan
primordial lainnya seperti agama, ras, dan daerah karena semuanya sudah menjadi
satu kesatuan bangsa sebagai warga negara Republik Indonesia. Hal demikian juga
sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Menurut Mahkamah, perbedaan etnis ataupun
perbedaan-perbedaan lainnya tidak dapat dijadikan alasan untuk mendapatkan
kemudahan dan perlakuan khusus untuk dapat maju sebagai pasangan Capres. Sebab sistem
demokrasi tidak membolehkan terjadinya diskriminasi
terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan. Untuk
dapat terpilih sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, yang diperlukan
adalah seseorang tersebut memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 5 UU 42/2008 yang di dalamnya
sama sekali tidak ada rumusan yang pada pokoknya tidak menghalang-halangi dan
tidak pula mengistimewakan suku, agama, ras, dan golongan tertentu untuk
menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Perumus UUD 1945
telah menentukan bahwa Pilpres didasarkan atas perolehan suara mayoritas
bersyarat dan one man one vote serta tidak terbukti bahwa para Perumus
UUD 1945 mendasarkan mekanisme pembobotan suara sebagaimana diajukan para
Pemohon. “Pasal 159 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 42/2008 telah sesuai dan
tidak bertentangan dengan Pasal 6A, Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2)
UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,”
tandas Harjono. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar