Contoh Permohonan Uji Materi UU ke MK
Kepada
Yang Terhormat;
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110
Perihal: Permohonan
Uji Materiil Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman Terhadap Undang- Undang Dasar 1945.
Dengan hormat,
Bahwa nama-nama di bawah ini bermaksud
mengajukan permohonan pengujian materiil Undang
Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman Terhadap Undang- Undang Dasar 1945. Adapun nama-namanya adalah sebagai berikut:
1.
Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS)
dalam hal ini diwakili oleh:
Nama : Gunawan
Jabatan : Ketua Eksekutif Indonesian
Human Rights
Committee for
Social Justice (IHCS)
Alamat :
Jl. Mampang Prapatan XV No.8A Rt.003/04
Jakarta Selatan 12790
Mohon selanjutnya disebut sebagai
--------------------------- PEMOHON I
2.
Farmer
Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD)
dalam hal ini diwakili oleh :
Nama :
Widyastama Cahyana
Jabatan :
Direktur Eksekutif FIELD
Alamat : Jl. Teluk Peleng 87A komp. TNI
AL Rawa Bambu
Ps. Minggu Jakarta selatan. 12520.
Mohon selanjutnya disebut sebagai --------------------------
PEMOHON II
3. Aliansi Petani Indonesia (API)
dalam hal ini diwakili oleh :
Nama :
Muhammad Nur Uddin
Pekerjaan :
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API)
Alamat :
Jl. Slamet Riyadi IV/50 Kelurahan Kebun
Manggis
Kecamatan
Matraman, Jakarta Timur 13150
Mohon selanjutnya disebut sebagai -------------------------
PEMOHON III
4. Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa)
dalam hal ini diwakili oleh :
Nama :
Dwi Astuti
Jabatan : Direktur Pelaksana Yayasan Bina
Desa Sadajiwa
Alamat : Jl. Saleh Abud No-18-19 Otto
Iskandardinata
Jakarta 13330
Mohon selanjutnya disebut sebagai --------------------------
PEMOHON IV
5. Koalisi
Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
dalam hal ini
diwakili oleh:
Nama :
Witoro
Jabatan :
Ketua Badan Pengurus KRKP
Alamat :
Perumahan Sindang Barang Grande No.16, Bogor.
Mohon selanjutanya disebut sebagai -------------------------
PEMOHON V
6. Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia
(IPPHTI)
dalam hal ini diwakili oleh :
Nama :
Suprapto
Jabatan :
Koordinator Umum IPPHTI
Alamat :
Jln. Godean KM. 9 Mandungan I RT 03 RW 24
Margoluwih, Seyegan, Sleman, Yogyakarta
- 55561
Mohon selanjutnya disebut sebagai -------------------------- PEMOHON VI
7. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
dalam hal ini diwakili oleh :
Nama :
Mansuetus Alsy Hanu
Jabatan :
Sekretaris Jenderal SPKS
Alamat : Perumahan bogor baru Blok C1 Nomor 10
Bogor, Jawa Barat
Mohon selanjutnya disebut sebagai ------------------------
PEMOHON VII
8.
Perkumpulan Sawit watch
dalam hal ini diwakili
oleh :
Nama : Nurhanudin Achmad
Jabatan : Direktur Perkumpulan
Sawit Watch
Alamat : Perumahan bogor baru Blok C1 Nomor 10
Bogor, Jawa Barat
Mohon selanjutnya disebut sebagai -----------------------
PEMOHON VIII
9.
Serikat Petani Indonesia (SPI)
dalam hal ini diwakili
oleh :
Nama : Henry Saragih
Jabatan : Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)
Alamat : Jl. Mampang Prapatan XIV No.5
Jakarta Selatan
12790
Mohon selanjutnya disebut sebagai --------------------------
PEMOHON IX
10. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Dalam hal ini diwakili oleh :
Nama : Rahmat
Jabatan :
Sekretaris Jendral AGRA
Alamat :
Jl.Ketang-Ketang No. 9 RT. 03
RW. 07
Kelurahan Jati, Jakarta – 13220
Mohon selanjutnya disebut sebagai
--------------------------- PEMOHON X
11. Nama : Kunoto
Pekerjaan : Petani
Pemulia Tanaman
Alamat : Jl.
Susilowangi, RT/RW 002/003 Desa Toyoresmi
Kecamatan Ngasem Kabupaten Kediri – Jawa Timur
Mohon selanjutnya disebut sebagai --------------------------
PEMOHON XI
12. Nama : Karsinah
Pekerjaan : Petani
Alamat : Segeran Kidul, RT 02/06 Desa Segeran Kidul
Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu
Jawa Barat.
Mohon selanjutnya disebut sebagai -------------------------
PEMOHON XII
Untuk selanjutnya seluruh pemohon I sampai PEMOHON XII disebut sebagai
------------------------------------------------------------- PARA PEMOHON
Berdasarkan surat Kuasa Khusus (terlampir), telah memberikan Kuasa
Khusus kepada :
Ecoline Situmorang, S.H.
B.P. Beni Dikty
Sinaga, S.H.
Riando
Tambunan, S.H,
Ridwan
Darmawan, S.H.
M.
Taufiqul Mujib, S.H.
Henry
David Oliver Sitorus, S.H.
Franditya Utomo, S.H.
|
Janses E. Sihaloho, S.H.
M.
Zaimul Umam, S.H. M.H.
Anton
Febrianto, S.H.
Priadi, S.H.
Arif Suherman, S.H.
Dhona El Furqon, S.Hi.
Rachmi Hartanti, S.H., M.H.
Nurmar Koto Sitorus., S.H.
|
Kesemuanya adalah Advokat dan Pembela Hak-Hak
Konstitusional yang tergabung dalam Tim
Advokasi Jaringan Petani Pemulia Tanaman, yang memilih
domisili hukum di Jalan Mampang Prapatan XV No. 8A Tegal Parang, Mampang
Prapatan, Jakarta Selatan 12790;
A.
PENDAHULUAN
Bahwa sejak dimulainya era revolusi hijau sekitar 1960an dan
1970an, negara-negara berkembang secara resmi mendorong adanya sistem benih
komersial melalui dukungan program-program pengembangan pertanian yang didanai
oleh berbagai lembaga keuangan internasional, antara lain IMF dan World Bank. Sementara itu sistem pertanian terus berkembang melalui
beragam teknologi, intensifikasi, dan penggunaan bahan-bahan kimiawi. Modernisasi pertanian yang berorientasi mendongkrak produktivitas pertanian
justru merugikan petani itu sendiri. Hal ini disebabkan karena penguasaan,
penyimpanan dan pengelolaan benih diambil alih perusahaan indutri benih baik
nasional maupun internasional.
Selain itu sistem modernisasi tersebut telah mengakibatkan petani
kehilangan tanahnya, rusaknya lingkungan hidup, tergerusnya keanekaragaman
hayati, ilmu pengetahuan petani yang telah turun temurun dihilangkan dari
praktek pertanian dan petani semakin tergantung pada industri pertanian
(Benih).
Bahwa gagasan modernisasi pertanian terkait perbenihan dan
produksi dilaksanakan dalam rangka mendukung industri
perbenihan. Tercatat pada 2007 sekitar 135.000 hektar lahan padi
primer ditanami padi hibrida. Setiap tahun Pemerintah Indonesia mengucurkan tak
kurang dari Satu Trilyun Rupiah untuk pengadaan benih
yang diselenggarakan oleh Perusahaan Benih. Sehigga petani hanya menjadi konsumen benih dan berbagai produk pertanian
lainnya. Peran petani sebagai inovator dan subjek pengelola agroekosistem yang
berfungsi melestarikan keanekaragaman hayati kian tergerus.
Singkatnya, arus utama pemikiran pertanian pasca revolusi hijau yang
kemudian menjadi basis pembentukan hukum dan peraturan di negara-negara
berkembang bahwa varietas “sempurna dan stabil” yang tepat untuk berbagai
sistem pertanian adalah varietas yang sejenis (homogeneous) dan hanya teknisi-teknisi
profesional yang dibiayai oleh perusahaan dianggap mampu melakukan pembenihan.
Di negara-negara berkembang, hukum yang mengatur soal perbenihan berupaya
untuk memodernisasi pertanian melalui berbagai ketentuan yang mengabaikan
situasi sosial, budaya, dan realitas ekonomi dari sistem pertanian keluarga. Para
perancang Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman mengabaikan
adanya keberagaman dan kompleksitas sistem benih lokal serta keberadaan para
petani pemulia benih.
Bahwa Undang-Undang No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman sengaja
memisahkan antara petani dengan aktivitasnya sebagai pemulia tanaman. Semangat
undang-undang lebih memfasilitasi industri benih untuk memonopoli perbenihan.
Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 tentang Sisitem Budidaya Tanaman, telah
mengabaikan tradisi turun-temurun petani sebagai pemulia tanaman. Bahkan lebih
lanjut negara membuat peraturan lain yang bersifat khusus tentang hak
intelektual di bidang teknologi perbenihan: Undang-Undang No. 29/2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT), yang bersemangat sama dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sisitem Budidaya Tanaman yaitu mendiskriminasikan
petani.
Konstruksi hukum tentang sistem pertanian dan perbenihan
di Indonesia berjalan paralel dengan fenomena modernisasi pertanian di
negara-negara berkembang atas desakan perusahaan trans nasional, sama-sama
memposisikan petani kecil tidak sebagai subyek pemuliaan tanaman. Sementara
itu, ruang-ruang ekonomi terbuka lebar bagi investor dan perusahaan benih, meraup
peluang pasar. padahal 60 persen penduduk Indonesia bekerja sebagai petani.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1992 tentang Sisitem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman telah mempersempit dan menghalangi kesempatan
bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya tanaman.. sehingga
penerapan undang-undang ini berpotensi menjadi penghalang bagi akses masyarakat
khususnya petani dalam pemenuhan terhadap hak atas pangan, hak atas pekerjaan,
hak atas pengetahuan, dan hak untuk hidup yang layak.
Bahwa diantara undang-undang terkait perbenihan, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman perlu didahulukan pengajuan
uji materiilnya ke Mahkamah Konstitusi karena undang-undang ini telah
dipergunakan mengkrimalkan, mendiskriminasikan, dan memfitnah para petani
pemulia benih.
B.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Hak Uji menurut Prof. DR. Sri Soemantri, dalam Bukunya: “HAK UJI
MATERIIL DI INDONESIA, 1997,” ada dua jenis, yaitu Hak Uji Formil dan Hak Uji
Materiil. Hak Uji Formil menurutnya adalah “wewenang untuk menilai, apakah
suatu produk legislatif, seperti undang-undang misalnya terjelma melalui
cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak” (halaman 6). Selanjutnya ia
mengartikan Hak Uji Materiil sebagai “wewenang untuk menyelidiki dan kemudian
menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu” (halaman 11);
Hak Uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem
hukum Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Konstitusi, yaitu Undang-Undang
Dasar 1945, yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, dalam Pasal 24
ayat (1), menyatakan: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya …. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Sedangkan pengaturan mengenai kewenangan hak uji Undang-Undang Terhadap
Undang-Undang Dasar tersebut terdapat dalam Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945
dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, yang selengkapnya menentukan sebagai berikut: Pasal 24 C
ayat (1) berbunyi: “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Bahwa selanjutnya Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;”
Bahwa Pasal 1 angka 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa “Permohonan
adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi
mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
Bahwa di dalam Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “(2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.”
Bahwa, selain itu Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur secara hierarki kedudukan
Undang-Undang Dasar 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap
ketentuan undang-undang tidak boleh bertentang dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka jika terdapat ketentuan dalam
undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka ketentuan
undang-undang tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian
undang-undang di Mahkamah Konstitusi;
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut jelas bahwa Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara
materiil maupun formil, yaitu untuk melakukan pengujian sebuah produk
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
C.
KEDUDUKAN DAN HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON
Bahwa Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, menyatakan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu:
Perorangan warga
negara Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang; Badan hukum publik atau privat,
atau;Lembaga negara.
Dalam penjelasan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945;
Bahwa hak konstitusional sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 diantaranya meliputi hak untuk mendapatkan kepastian hukum,
hak atas pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) dan Pasal
28 D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
Bahwa atas ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk menguji apakah pemohon memiliki legal standing (dikualifikasi
sebagai pemohon) dalam permohonan pengujian Undang-undang tersebut. Adapun
syarat yang pertama adalah kualifikasi bertindak sebagai pemohon sebagaimana
diatur dalam Pasal 51 ayat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Syarat kedua adalah adanya kerugian pemohon atas terbitnya
undang-undang tersebut (vide : Putusan Mahkamah Konstitusi No. 133/PUU-VII/2009 );
Bahwa PEMOHON adalah badan hukum privat, yang bergerak, berminat dan
didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan
penegakan KONSTITUSI, KEADILAN SOSIAL dan HAK ASASI MANUSIA, yang berbadan
hukum privat dan didirikan berdasarkan akta notaris;
Bahwa adapun organisasi yang dapat atau bisa mewakili kepentingan
publik (umum) adalah organisasi yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh
berbagai undang-undang maupun yurisprudensi, yaitu:
-
Berbentuk badan hukum;
- Dalam AD/ART secara tegas menyebutkan tujuan
didirikan organisasi tersebut;
- Secara rutin telah melakukan kegiatan yang telah
diamanatkan oleh AD/ART nya tersebut;
Bahwa dalam hal ini PARA PEMOHON terdiri dari berbagai organisasi non
pemerintah (badan hukum privat) maupun perorangan (individu) yang dikenal telah
memperjuangkan Hak–Hak Konstitusional, khususnya di bidang Hak Atas Tanah, dan
keadilan agraria di Indonesia, di mana hal tersebut tercermin dalam AD/ART dan
aktifitas sehari-hari Para Pemohon;
C.1. PEMOHON BADAN HUKUM
PRIVAT
Bahwa
Pemohon Organisasi telah mendapatkan status hukum sebagai badan hukum Privat,
sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris, adapun PARA PEMOHON adalah sebagai
berikut :
1)
Indonesia Human Right Committee For Social
Justice
(IHCS)
Bahwa PEMOHON I tercatat di
Akta Notaris Ny. Nurul Muslimah Kurniati, S.H., dengan Nomor Akta 16 tangggal
16 Februari 2008. Bahwa dalam akta Pasal 7 mengenai tujuan organisasi ini
adalah :
Organisasi ini bertugas untuk
memperjuangkan tata dunia yang damai, adil dan makmur. Menghapus ketidakadilan
global yang disebabkan oleh negara dan modal. Dan dunia yang bebas dari
kemiskinan, kelaparan, peperangan dan perbudakan serta bebas dari
neo-kolonialisme dan imperialisme. Di tingkatan nasional adalah terciptanya
negara demokratis yang menghormati, memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia
serta mewujudkan keadilan sosial bagi warganya.
Organisasi ini berperan
memajukan dan membela hak asasi manusia serta mewujudkan keadilan sosial.
Selanjutnya
dalam Pasal 9 menyatakan :
-------------------------------
Fungsi ---------------------------------
Organisi
ini berfungsi :
Membela korban pelanggaran
hak asasi manusia melalui advokasi litigasi dan non litigasi.
Memfasilitasi korban-korban
pelanggaran hak asasi manusia untuk berubah menjadi pejuang hak asasi.
Melakukan advokasi kebijakan
publik untuk menciptakan sistem negara yang demokratis dan menghormati,
memenuhi dan melindungi hak asasi masnusia.
Melakukan inisiatif jalan
pemenuhan hak asasi manusia, keadilan sosial, pembaruan sistem ekonomi, poltik,
hukum dan keamanan, serta penyelesaian konflik kekerasan bersenjata;
Bahwa
keberadaan Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman akan melanggengkan ketidakadilan dan pelanggaran
hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemodal (capital violence) yang dilindungi oleh undang-undang (judicial violence) sehingga tujuan
pendirian organisasi PEMOHON I akan terhalangi terlebih lagi komunitas yang di
advokasi oleh PEMOHON I yaitu para petani pemulia benih akan terus
dikriminalkan dan diskriminasikan.
2)
Farmer
Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD)
Bahwa PEMOHON II tercatat di Akta Notaris Zarkasyi
Nurdin, S.H., dengan Nomor Akta 1 tangggal 1 Juni 2001. Bahwa dalam akta Pasal
4 mengenai maksud dan tujuan organisasi ini adalah :
Mengupayakan terwujudnya masyarakat tani yang
demokratis dan berkeadilan, dengan mendukung gerakan petani yang menjalankan
kehidupan bertani yang sehat dan berkelanjutan, melalui pendidikan
partisipatoris, penguatan kelompok dan jaringan petani, riset aksi, kajian
kebijakan dan penyebaran gagasan-gagasan demokratis dan ekologis.
Untuk
mencapai maksud dan tujuan tersebut, yayasan melakukan serangkaian program
(Pasal 5):
1) Pendidikan
bagi para petani yang bersifat partisipatif khususnya yang mendukung
pengembangan:
1.
budidaya pertanian
ekologis
2.
kesehatan kerja petani
3.
organisasi petani
4.
ketrampilan pemasaran
produk
5.
advokasi oleh petani
6.
media komunikasi
antarpetani
7.
wawasan keadilan gender di masyarakat petani
2)
Dukungan
terhadap pengembangan organisasi petani yang berakar di desa-desa dalam rangka
advokasi petani terhadap kebijakan di tingkat lokal, dan dukungan terhadap
pengembangan jaringan kerja antarorganisasi petani dengan organisasi
kemasyarakatan lainnya.
3)
Penyebaran
gagasan (kampanye), melalui berbagai media komunikasi yang mungkin, kepada
konsumen dan masyarakat luas tentang.
a) Gagasan
petanian ekologis dan organik
b) hasil-hasil
penelitian dan pengorganisasian petani
c) masalah-masalah
aktual, seperti reformasi agraria, peraturan usaha pertanian oleh negara, hak
milik intelektual yang diperdagangkan (TRIPS), benih transgenik (GMO).
4) Riset
aksi bersama masyarakat petani untuk menjawab permasalahan yang ada dan untuk
menyempurnakan pelayanan program lain
5) Melakukan
penelitian pendukung gerakan.
6) Melakukan
kerjasama dengan berbagai organisasi petani dan masyarakat lainnya yang
sepaham.
7) Melakukan kerjasama dengan pihak penyandang dana
untuk memberikan jasa teknis dan pelatihan bagi organisasi-organisasi petani
dan lain dalam arti kata yang seluas-luasnya.
Bahwa keberadaan Undang Undang No. 12
Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman menghambat berkembangnya budidaya
pertanian ekologis, melemahkan ketrampilan budidaya petani, dan menghambat
berkembangnya organisasi petani, Sehingga tujuan
pendirian organisasi PEMOHON II akan terhalangi terlebih lagi komunitas yang didampingi oleh
PEMOHON II yaitu para petani pemulia benih akan terus dikriminalkan dan
diskriminasikan.
3) Aliansi Petani Indonesia (API)
Pasal 2 Anggaran Dasar PEMOHON III menyebutkan bahwa visi organisasi
dari adalah terwujudnya masyarakat petani yang adil, makmur dan
sejahtera.
Bahwa Pasal
3 ditentukan : untuk
mencapai visi dalam Pasal 2 di atas, API memperjuangkan:
1.
Melakukan pemberdayaan melalui pendidikan dan
penguatan ekonomi, politik, sosial dan budaya bagi petani
2.
Memperjuangkan sistim pemilikan lahan yang adil
terhadap petani.
3.
Memperjuangkan perlindungan hukum terhadap
ketersediaan sarana produksi bagi kaum tani.
4.
Mempersatukan berbagai serikat tani di seluruh
wilayah Indonesia
Bahwa
berdasarkan AD/ART organisasi tersebut, PEMOHON III melakukan advokasi kepada para petani yang
dikriminalisasikan akibat Undang-Undang a quo. Hal ini dibuktikan dengan
anggota PEMOHON III yang di vonis bersalah melakukan tindak pidana pada
pengadilan negeri Kediri. Dengan
diberlakukannya Undang-Undang a quo maka akan banyak anggota PEMOHON III yang
dikriminalisasi dan kehilangan hak atas benih.
4) Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa)
Bahwa PEMOHON IV berdasarkan
Akta Pendirian Yayasan Nomor : 03 tanggal 18 April 2006, berdasarkan Anggaran
Dasar Organisasi Pasal 3 menyebutkan bahwa, Untuk mencapai maksud dan tujuan
tersebut di atas, Yayasan menjalankan kegiatan sebagai berikut :
(1) Di bidang Sosial :
a.
Mengadakan, menyelenggarakan,
dan mendirikan Lembaga pendidikan, ketrampilan dan pelatihan baik formal maupun
non formal bagi masyarakat di pedesaan.
b.
Menfasilitasi reorientasi kaum intelektual
tentang masalah-masalah rakyat.
c.
Mengadakan, menyelenggarakan dokumentasi dan
penyebaran informasi dalam bidang pendidikan melalui penerbitan buku-buku,
media massa elektronik maupun non elektronik.
d.
Mengadakan, menyelenggarakan, pembinaan dalam
bidang pendidikan pada masyarakat pedesaan.
e.
Mengadakan, menyelenggarakan, penelitian dibidang
Ilmu Pengetahuan mengenai kemasyarakatan, kemanuasiaan, Lingkungan Hidup dan
Teknologi.
f.
Mengadakan,
menyelenggarakan Studi banding
(2) Di bidang kemanusiaan :
a.
Memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pedesaan.
b.
Membangun dan mengembangkan masyarakat- masyarakat
pedesaan.
c.
Memberikan bantuan kepada korban bencana alam,
korban-korban Hak Asasi Manusia.
d.
Memberikan bantuan kepada pengungsi akibat perang.
e.
Memberikan bantuan kepada tuna wisma, fakir
miskin, dan geladangan.
f.
Memberikan
perlindungan konsumen.
g.
Melestarikan
lingkungan hidup.
Bahwa
berdasarkan AD/ART di atas, PEMOHON IV telah melakukan advokasi kepada 27 (dua
puluh tujuh) desa dampingan yang melakukan aktivitas pemulian benih, dengan
berlakuknya undang-undang a qou akan berpotensi mengancam eksistensi,
keberlanjutan hidup petani dan kebudayaannya. Untuk itu PEMOHON IV memandang
perlu untuk melakukan uji materiil undang-undang a quo di Mahkamah
Konstitusi.
Bahwa
keberadaan Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman menghambat berkembangnya budidaya pertanian ekologis,
melemahkan ketrampilan budidaya petani, dan menghambat berkembangnya organisasi
petani, Sehingga tujuan pendirian
organisasi PEMOHON IV akan terhalangi terlebih lagi komunitas yang berada di
wilayah dampingan oleh PEMOHON IV yaitu para petani pemulia benih akan terus
dikriminalkan dan diskriminasikan.
5) Koalisi
Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
Berdasarkan pasal 8 Anggaran Dasar PEMOHON Ke V
menyebutkan bahwa untuk mencapai kedaulatan rakyat atas pangan dilakukan dengan
membangun gerakan rakyat untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan,
berkeadilan gender, mandiri dan sesuai dengan kondisi ekologi, social, ekonomi
dan budaya setempat.
Bahwa
berdasarkan AD/ART di atas, PEMOHON V telah melakukan advokasi kepada
anggotanya yang melakukan aktivitas pemulian benih, dengan berlakuknya
undang-undang a qou akan berpotensi mengancam eksistensi, keberlanjutan hidup
petani, dan kebudayaannya serta kedaulatan petani atas pangan. Untuk itu
PEMOHON V memandang perlu untuk melakukan uji materiil undang-undang a quo di
Mahkamah Konstitusi.
Bahwa
keberadaan Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman menghambat berkembangnya budidaya pertanian ekologis,
melemahkan ketrampilan budidaya petani, dan menghambat berkembangnya
organisasi-organisasi anggota KRKP, Sehingga tujuan pendirian organisasi PEMOHON V akan terhalangi terlebih
lagi jaringan PEMOHON V yaitu para
petani pemulia benih akan terus dikriminalkan dan diskriminasikan.
6) Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia
(IPPHTI)
Pasal 7 dan 8 Anggaran Dasar
PEMOHON VII dalam Akte Pendirian Perkumpulan IPPHTI Nomor 02/2003 tanggal 18
Maret 2003, menyebutkan bahwa maksud perkumpulan dalam upaya memberdayakan
peran dan fungsi petani dengan berprinsip Pengendalian Hama Terpadu
diantaranya:
· Kelestarian
Lingkungan (Ekosistem)
· Mewujudkan
kondisi (Budidaya Perilaku, Pengambilan Keputusan) yang sehat
· Petani
Ahli Pengendalian Hama Terpadu (Petani sebagai subyek)
Tujuan perkumpulan:
· Memperjuangkan
dan melindungi hak-hak petani
· Meningkatkan
kesejahteraan yang berkeadilan bagi petani
· Meningkatkan
kualitas sumberdaya petani
· Mewujudkan
petani Indonesia yang mandiri dan berwawasan luas dalam menjaga kelestarian
lingkungan hidup
Bahwa berdasarkan AD/ART
organisasi tersebut, PEMOHON VII melakukan advokasi kepada para petani yang
dikriminalisasikan akibat Undang-Undang a quo
1.
Mengancam
keragaman benih tanaman yang memungkinkan meledaknya beberapa hama penyakit.
2.
Membuat
petani semakin ketergantungan atas benih
3.
Patahnya
suatu varietas akibat dibatasinya pilihan mengembangkan varietas. Gagal panen akibat serangan hama pada suatu
varietas. Mengancam kesejahteraan
petani.
4.
Hilangnya
varietas unggul lokal yang dikembangkan petani karena tidak terlindunginya
dalam bentuk perudang-undangan yang berlaku
5.
Aset
produksi petani menjadi terbatasi diantaranya penguasaan atas benih.
6.
Ketakutan
petani membudidayakan benih lokal yang dikembangkan petani
7.
Kehilangan
hak petani atas benih
Bahwa keberadaan Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
menghambat berkembangnya budidaya pertanian ekologis, melemahkan ketrampilan
budidaya petani, dan menghambat berkembangnya organisasi petani, Sehingga tujuan pendirian organisasi PEMOHON VI akan terhalangi terlebih
lagi anggota oleh PEMOHON VI yaitu para petani pemulia benih akan terus
dikriminalkan dan diskriminasikan.
7) Serikat
Petani Kelapa Sawit (SPKS)
Bahwa PEMOHON VII dalam Pasal
6 AD/ART menyebutkan bahwa tujuan perkumpulan SPKS adalah mewujudkan petani
kelapa sawit yang mandiri, berdaulat, bermartabat dan sejahtera.
Bahwa selanjutnya Pasal 7
AD/ART menyebutkan bahwa kegiatan yang dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut
diatas, organisasi menjalankan kegiatan sebagai berikut :
1.
Peningkatan lewat kapasitas pendidikan dan
pelatihan :
a.
Kepemimpinan dan politik;
b.
Kewirausahaan;
c.
Manajemen perkebunan kelapa sawit;
d.
Teknis perkebunan kelapa sawit;
2.
Penguatan dan konsolidasi usaha-usaha ekonomi
anggota;
3.
Inisiasi diversifikasi usaha-usaha ekonomi bersama
anggota;
4.
Penelitian untuk menjawab kebutuhan petani kelapa
sawit;
5.
Promosi untuk menguatkan posisi petani sawit;
6.
Advokasi berbagai persoalan petani kelapa sawit.
Bahwa keberadaan Undang
Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman menghambat
berkembangnya budidaya pertanian ekologis, melemahkan ketrampilan budidaya
petani, dan menghambat berkembangnya organisasi petani, Sehingga tujuan
pendirian organisasi PEMOHON VII akan terhalangi terlebih lagi anggota PEMOHON
VII yaitu para petani pemulia benih akan terus dikriminalkan dan
diskriminasikan.
Bahwa keberadaan Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
menghambat berkembangnya budidaya pertanian ekologis, melemahkan ketrampilan
budidaya petani, dan menghambat berkembangnya organisasi petani, Sehingga tujuan pendirian organisasi PEMOHON VII akan terhalangi terlebih
lagi anggota PEMOHON VII yaitu para petani pemulia benih akan terus
dikriminalkan dan diskriminasikan.
8)
Perkumpulan Sawit Watch
Bahwa PEMOHON VIII dalam Pasal 7 AD/ART tentang Visi Sawit Watch adalah
mewujudkan perubahan sosial bagi petani, buruh, dan masyarakat adat menuju
keadilan ekologis.
Dalam Pasal 8 AD/ART dinayatakan bahwa misi sawit watch;
a.
Membangun,
menyediakan, dan mengelola data dan informasi
b.
Meningkatkan kapasitas petani, buruh, dan
masyarakat adat
c.
Memfasilitasi resolusi konflik antara petani,
buruh, masyarakat adat di perkebunan besar kelapa sawit
d. Membangun sinergi gerakan
petani, buruh, dan masyarakat adat
e.
Mendorong lahirnya kebijakan negara yang berpihak
kepada kepentinganpetani, buruh, dan masyarakat adat
Bahwa keberadaan Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
menghambat berkembangnya budidaya pertanian ekologis, melemahkan ketrampilan
budidaya petani, dan menghambat berkembangnya organisasi petani, Sehingga tujuan pendirian organisasi PEMOHON VIII akan terhalangi terlebih
lagi komunitas yang merupakan basis pengorganisiran PEMOHON VIII yaitu para
petani pemulia benih akan terus dikriminalkan dan diskriminasikan.
9)
Serikat Petani Indonesia
Bahwa PEMOHON IX tercatat
dalam Akta Notaris Ny. Soetati Mochtar, SH., dengan Nomor Akta: 18 Tanggal 14
April 2008. Bahwa dalam Akta tersebut tercantum kegiatan-kegiatan organisasi
sebagai berikut :
- Pasal 14 menyatakan :
---------------------------
Kegiatan -----------------------------
1.
Melakukan
berbagai bentuk pendidikan/ kaderisasi bagi anggota;
2.
Mengumpulkan,
mengolah dan menyebarkan berbagai informasi yang berguna bagi petani dan
anggota;
3.
Membangun
kehidupan ekonomi anggota yang mandiri dan berdaulat dengan prinsip koperasi
yang sejati;
4.
Pengerahan massa aksi untuk melakukan Aksi massa
sebagai salah satu kekuatan utama SPI;
5.
Melakukan
pembelaan bagi anggota yang dilanggar hak asasinya sebagai manusia, hak
asasinya sebagai petani dan hak asasinya sebagai warga negara;
6.
Memperbanyak
jumlah anggota, mendorong serta memperkuat kerjasama diantara sesama anggota;
7.
Memperkuat
kepengurusan mulai dari pusat hingga basis;
8.
Melakukan
kerja sama dan solidaritas yang saling memperkuat dengan organisasi tani dan
organisasi rakyat lainnya yang mempunyai pandangan, asas dan tujuan yang
sejalan dengan SPI, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional;
9.
Mendorong
dan mendukung lahirnya organisasi rakyat lainnya yang sejalan dengan SPI;
10.
Menjalin hubungan setara dengan lembaga dan
aparatur negara yang bersifat kritis baik didalam maupun diluar negeri
sepanjang tidak bertentangan dengan pandangan, asas, tujuan dan kepentingan
SPI;
Bahwa selanjutnya dalam
Anggaran Dasar Pasal 9, Pemohon mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.
Terjadinya
perombakan, pembaruan, pemulihan, dan
penataan model pengelolaan pembangunan ekonomi secara umum dan kebijakan
agraria secara khusus.
2.
Terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan, dan
penataan demokrasi dibidang politik secara umum dan kedaulatan politik petani
secara khusus.
3.
Terjadinya
pemulihan dan penataan kembali di bidang adat dan budaya masyarakat secara umum
dan adat serta budaya petani secara khusus.
Selanjutnya dalam Pasal 13 ditentukan :
Untuk mencapai tujuan tersebut,
SPI melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1.
Melakukan
berbagai bentuk pendidikan bagi massa dan kader organisasi petani yang menjadi
anggotanya.
2.
Memberikan
layanan informasi tentang peluang dan tantangan dan permasalahan yang dapat
dimanfaatkan oleh anggotanya.
3.
Melakukan
kegiatan-kegiatan kerjasama dengan organisasi tani lainnya yang mempunyai
pandangan, asas dan tujuan yang sejalan dengan SPI.
4.
Melakukan
advokasi terhadap kasus dan kebijakan yang merugikan anggotanya.
5.
Memperbanyak dan memperkuat organisasi anggota.
6.
Mendorong
dan mendukung lahirnya organisasi rakyat lainnya yang sejalan dengan SPI.
7.
Membina
jaringan kerjasama dan solidaritas yang saling memperkuat dengan organisasi pro
demokrasi dan pro petani lainnya, baik di tingkat nasional maupun di tingkat
Internasional.
8.
Menjalin
hubungan setara dengan aparatur negara yang bersifat kritis baik di dalam
negeri maupun di luar negeri sepanjang tidak bertentangan dengan pandangan,
asas, tujuan dan kepentingan SPI.
9.
Mendorong
dan memfasilitasi kerjasama di antara sesama anggota SPI dan kerja sama dengan
organisasi lainnya yang segaris dengan perjuangan SPI.
10. Mendorong terbangunnya basis
produksi petani anggota yang bertumpu pada kemandirian dan kedaulatan petani.
Bahwa
keberadaan Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman menghambat berkembangnya budidaya pertanian ekologis,
melemahkan ketrampilan budidaya petani, dan menghambat berkembangnya organisasi
petani, Sehingga tujuan pendirian
organisasi PEMOHON IX akan terhalangi terlebih lagi anggota PEMOHON IX yaitu para
petani pemulia benih akan terus dikriminalkan dan diskriminasikan.
10) Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Bahwa PEMOHON X tercatat
dalam Akta Pendirian Organisasi Massa pada kantor Notaris Tri Heryanto, S.H. dengan
Nomor Akta -08- tertanggal 26 September
2006.
Bahwa pada Pasal 8 Akta
tersebut tercantum tujuan dari organisasi sebagai berikut:
1.
Tujuan Umum adalah mendorong terwujudnya struktur
kepemilikan sumber-sumber agraria yang berpihak kepada petani.
2.
Tujuan Khusus adalah :
a.
Memperjuangkan hak-hak sosial ekonomi dan hak-hak
demokratis dari Kaum Tani Indonesia, nelayan, dan suku bangsa minoritas
(masyarakat adat)
b.
Memperjuangkan jaminan perbaikan taraf hidup atau
kesejahteraan kaum tani, nelayan, dan suku bangsa minoritas (kaum adat).
Sementara pada pasal 9 Akta
ppendiriannya, usaha usaha yang dilakukan PEMOHON X adalah:
1.
Meningkatkan kapasitas dan kualitas anggota dan
kaum tani pada umumnya.
2.
Mengembangkan potensi anggota dan kaum tani dalam
berbagai aspek kehidupan
3.
Melakukan ketauladanan dalam perjuangan sosial
ekonomi kaum tani dan rakyat Indonesia pada umumnya.
Bahwa dari Tujuan dan Usaha
yang tercantum dalam Akta Pendiiriannya, terlihat jelas bahwa tujuan dari
pendirian organiisasi massa PEMOHON X ini memperjuangkan akan hak-hak petani.
Bahwa pemulia tanaman adalah
satu kesatuan dari aktivitas kepetanian dari anggota PEMOHON X Undang-Undang a-quo berpotensi besar melanggar hak-hak
petani anggota PEMOHON X, menghambat tujuan dan usaha PEMOHON X dalam meniingkatkan
kualitas petani anggotanya. terlebih lagi anggota PEMOHON X yaitu para petani pemulia benih akan terus
dikriminalkan dan diskriminasikan.
C.2 PEMOHON PERORANGAN
Adalah warga negara RI yang berprofesi sebagai petani
pemulia benih, karena UU ini hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan cara didiskriminasikan,
dikriminalisasikan, dan difitnah,
11)
Kunoto
Bahwa PEMOHON X adalah
petani pemulia tanaman yang menjadi korban kriminlisasi sejak undang-undang a
quo diberlakukan.
12)
Karsinah
Bahwa PEMOHON XI adalah
petani pemulia tanaman yang menjadi korban diskriminasi sejak undang-undang a
quo diberlakukan.
D. FAKTA HUKUM
1. Bahwa
sewaktu Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
disahkan, Pemerintahan Orde Baru sedang gencar melaksanakan revolusi hijau,
yaitu intensifikasi pertanian melalui pupuk kimiawi dan benih hasil industri
yang meminggirkan pertanian ramah lingkungan yang
menjamin keseimbangan ekosistem.
2. Bahwa
sewaktu Undang-Undang No. 12 Tahun 1992
disahkan, Rezim Militer Orde Baru mempergunakan konsep massa mengambang (floating mass) yang pada intinya
melarang aktivitas politik di pedesaan secara represi dan korporatisme negara
(asas tunggal dan organisasi massa tunggal yang dikontrol negara) sehingga
dalam menyusun perencanaan pertanian dan pembahasan RUU tidak mengakomodir kepentingan
rakyat tani di pedesaan.
3. Bahwa
Undang-Undang No 12
Tahun 1992 telah dipergunakan untuk
mengkriminalkan petani pemulia tanaman di jawa timur dan
mendiskriminasikan petani pemulia tanaman jawa barat dan
berpotensi terjadi kriminalisasi dan
diskriminalisasi terdahap petani pemulia tanaman dibeberapa wilayah di indonesia .
4. Bahwa
petani melakukan pemuliaan tanaman termasuk mengedarkannya
sudah dilakukan petani secara turun temurun hingga kini dan tidak menimbulkan
problem ekologi maupun hukum. Problem hukum justru terjadi sejak lahirnya undang-undang a nomor 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya
tanaman.
5. Bahwa
pemuliaan tanaman telah dilakukkan para petani sejak ribuan tahun yang lalu.
Seluruh keanekaragaman varietas tanaman dimuka bumi ini
diciptakan dan dilestarikan oleh petani.
6. Bahwa
para petani telah melakukan proses pemuliaan tanaman dengan prosesnya antara
lain pengumpulan, penyimpanan, penyilangan,
seleksi, perbanyakan dan penyebaran
benih serta mempertahankan kemurnian jenis dan menghasilkan
jenis varietas baru yang lebih baik seperti yang dibuat oleh petani di
indramayu yaitu jenis padi galur bongong, galur gading surya yang tahan
terhadap wereng coklat.
7.
Bahwa ribuan varietas padi lokal telah
lenyap dari ladang
petani. Ini dampak dari pemaksaan kepada petani untuk menanam padi varietas “unggul”
nasional dan hibrida. Padahal Indonesia kaya akan ribuan
plasma nutfah padi local seperti kappor
dari Madura, Anak Daro dari Sumatera Barat, Rojolele, Mentik Wangi, dan
lain-lain yang berpotensi untuk dikembangkan.
8. Bahwa ratusan varietas jagung lokal (Jagung Kretek
Madura, Jagung Metro Lampung, Jagung Pulut Sulawesi Selatan, Jagung Kodok
Indramayu, dll) telah terancam hilang digantikan dengan jagung produksi
perusahaan. Sampai
saat ini produksi benih jagung perusahaan menguasai 90% pasaran.
9. Bahwa
semakin tingginya kerusakan lingkungan pertanian (iklim, serangga, air, tanah)
dan terjadinya degradasi lingkungan pertanian serta meningkatnya tekanan biotik
maupun abiotik yang disebabkan oleh semakin maraknya benih-benih
perusahaan yang dilegitimasi oleh undang-undang a quo.
E. ALASAN-ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN UJI MATERIIL
I.
Bahwa Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d dihubungkan
dengan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman Bertentangan dengan dengan Pasal 28A, 28C Ayat (2), 28F, 28I Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (2) serta Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945
Bahwa di dalam BAB II Perencanaan Budidaya
Tanaman, pada Pasal 5 undang-undang a-quo dinyatakan :
(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pemerintah:
a)
Menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman
sesuai dengan tahapan rencana pembangunan nasional;
b)
Menetapkan wilayah pengembangan budidaya
tanaman;
c)
Mengatur produksi budidaya tanaman tertentu
berdasarkan Kepentingan nasional;
d) Menciptakan kondisi yang menunjang peran serta masyarakat.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat.
1. Pasal 5 ayat
1 huruf a,b dan c dihubungkan dengan pasal 6 ayat 2 betentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D, Pasal 28H Undang-Undang Dasar
1945
-
Pasal 5 ayat 1 huruf a memerintahkan
pemerintah untuk menyusun budidaya tanaman sesuai dengan tahapan pembangunan
nasional.
-
Pasal 5 ayat 1 huruf b memerintahkan pemerintah memegang
kekuasaan penetapan wilayah pengembangan budidaya tanaman.
-
Pasal 5 ayat 1 huruf c mengakibatkan pemerintah
memegang kekuasaan dalam mengatur produksi budidaya tanaman tertentu.
Bahwa Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, dan c telah
mengakibatkan pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan perencanaan,
penetapan wilayah, dan pengaturan produksi. Jika dihubungkan dengan Pasal 6
ayat (2) undang-undang a quo apa yang menjadi wewenang pemerintah tersebut
menjadi kewajiban bagi petani, hal ini mengakibatkan petani tidak bisa
berkreasi dalam budidaya tanaman berdasarkan kebutuhannya.
Bahwa bagi petani budidaya tanaman
adalah persoalan hidup dan kehidupan yang mana hal tersebut dilindungi oleh
Konstitusi Republik Indonesia sesuai dengan pasal 28A
UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Bahwa Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, dan
c jika dihubungkan dengan pasal 6 ayat (2) Undang-undang a quo mengakibatkan
pertentangan antara kewenangan pemerintah dengan hak petani, dimana hak petani
harus tunduk kepada perencanaan pemerintah, sehingga mengakibatkan ketidak
pastian hukum antara hak dan kewajiban petani. Yang mana jaminan kepastian
hukum yang adil merupakan hak konstitusional sebagai mana telah diatur pada Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
”Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”
Bahwa
penetapan wilayah dan pengaturan produksi oleh pemerintah yang kemudian
menjadikan kewajiban petani mengakibatkan petani tidak bisa menentukan jenis
dan pola budidaya tanaman ditanahnya sendiri, yang merupakan hak milik pribadi
yang dijamin perlindungannya oleh UUD 1945 sebagai mana dinyatakan pada pasal
28H ayat (4)
”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
2.
Pasal 5 ayat (1) huruf d
bertentangan dengan Pasal 28A, 28C ayat (2), 28F, 28I ayat (2) serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945
Bahwa yang terjadi selama ini petani tidak pernah dilibatkan dalam proses
perencanaan, pengembangan, dan pengaturan produksi dan penetapan wilayah, yang
ada hanyalah forum sosialisasi yang berisi himbauan pemerintah, yang mana
petani yang tidak menjalankan himbauan pemerintah tersebut dapat
dikriminalisasi, didiskriminasi dan diintimidasi.
Bahwa selama ini penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang dibiayai oleh
negara dan pengusaha serta perencanaan yang dibuat oleh pemerintah tidak
didasarkan kebutuhan petani, dan tidak melibatkan petani secara aktif serta
ketangguhan ekosistem. Pemerintah hanya
mengejar kepentingan produksi yang tinggi, sehingga mengabaikan tujuan-tujuan
lain di bidang kelestarian lingkungan, ketangguhan ekosistem, dan kesejahteraan
petani.
Bahwa hal tersebut dapat dilihat dalam kasus di daerah. Di Indramayu seorang petani bernama Pak
Karsinah, pernah mendapat intimidasi dari aparat dinas pertanian setempat, karena
mempertahankan benih local dan melakukan persilangan tanaman dan hal tesebut
bertentangan dengan program pemerintah yang mengharuskan penggunaan benih
bersertifikat atau benih yang diproduksi perusahaan benih.
Bahwa di dalam undang-undang a-quo tidak dipenuhi dan dilindunginya hak
petani untuk berpartisipasi hanya diatur “menciptakan kondisi yang menunjang
peran serta masyarakat adalah tipikal khas otoritarianisme Orde Baru, yaitu
bukan partisipasi rakyat yang diberikan, tetapi menciptakan kondisi adalah
bahwa petani harus “dibina”, sebuah istilah khas aparat keamanan dalam
mengarahkan aspirasi rakyat untuk berpikir dan bertindak sesuai kerangka yang
telah ditentukan rezim penguasa”.
Bahwa bagi petani, bercocok tanam atau membudidayakan tanaman adalah
kehidupan dan penghidupannya, maka adalah tindakan yang tidak bijak ketika
pemerintah kemudian menyusun rencana budidaya tanaman tidak melibatkan petani,
sehingga tidak melindungi partisipasi petani adalah pelanggaran pasal 28A UUD
1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Bahwa di
dalam forum perencanaan yang difasilitasi negara, rakyat tani tidak dapat
memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan pihak terkait dalam rangka upaya
menciptakan budidaya tanaman yang lebih maju yang berdampak pada pengembangan
rakyat tani, oleh karena tidak terpenuhinya hak atas informasi mengakibatkan
pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi:
”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Bahwa UUD
1945 Pasal 33 menyatakan:
..... (2) Cabang-cabang; produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai;
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai; oleh negara dan; dipergunakan untuk
sebesarbesar kemakmuran rakyat.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi atas
Permohonan Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menerangkan bahwa Hak Menguasai Negara
(HMN), tidak berarti negara memiliki secara perdata, HMN bersumber dari
kedaulatan rakyat atas kekayaan alam. Oleh karenanya kemudian Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa salah satu tolak ukur dari kekayaan alam untuk sebesar-besar
kemakmuran adalah tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber
daya alam. Oleh karena tidak melibatkan rakyat tani dalam perencanaan adalah
pelanggaran terhadap Pasal 33 UUD 1945.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi atas
Permohonan Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menerangkan bahwa Tidak Ada Peran Rakyat
dalam Perencanaan berdampak:
1.
Pembungkaman
hak masyarakat;
2.
Berpotensi
pelanggaran hak publik di kemudian hari;
3.
Perlakuan
yang membedakan;
4.
Mengabaikan hak-hak masyarakat untuk
memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif.
Oleh karenanya dibatasinya rakyat tani
dalam tahapan rencana pembangunan nasional terhadap budidaya tanaman itu
berarti mengahalangi rakyat tani dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
dan dalam partisipasinya untuk membangun masyarakat bangsa dan negara merupakan
pelanggaran pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan :
”Setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
Bahwa tidak dilibatkannya rakyat tani
dalam perencanaan budidaya tanaman merupakan praktek diskriminasi terhadap petani dan
warga negara, yang mana perlindungan terhadap diskriminasi diatur dalam Pasal
28I ayat (2) Undang-undang dasar 1945 yang menyatakan:
“Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu".
II.
Pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat
(4) dan 28I ayat (3) UUD 1945
Bahwa Pasal 6 undang-undang a-quo menyatakan :
(1)
Petani
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.
(2)
Dalam
menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petani berkewajiban
berperanserta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya
tanaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3)
Apabila
pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat terwujud karena
ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar
petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu.
(4)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa pasal 6 undang-undang a-quo saling bertentangan
antar ayat, yaitu ayat (1) dan (2). Pertentangan itu ditunjukan dengan ayat (1)
petani punya kebebasan tapi kebebasan tersebut dibatasi oleh ayat (2), bahkan
lebih tepat dihalangi karena rencana pemerintah tersebut tidak melibatkan
masyarakat dan tidak ada mekanisme pnegajuan keberatan, sehingga potensial
melanggar hak hidup rakyat tani yang
berbudidaya tanaman sesuai dengan kebutuhannya.
Hal tersebut juga di satu sisi berpotensi menghilangkan kepemilikan pribadi
petani atas lahan dan tanaman karena penggunaan dan pemanfaatannya ditentukan
sepihak oleh pemerintah, tetapi di sisi lain juga menimbulkan ketidakpastian
hukum akibat tidak jelasnya kebebasan dengan kewajiban serta menghilangkan praktek-praktek budidaya yang telah berlangsung
secara turun temurun.
Bahwa Konstitusi
Republik Indonesia telah menjamin hak hidup
perlindungan atas kepemilikan pribadi dan jaminan atas kepastian hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 28A, pasal 28D ayat (1) Pasal 28H ayat (4) dan
28I ayat (3) UUD 1945, menyatakan :
-
Pasal 28A “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
-
Pasal 28D ayat (1) ”Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
-
Pasal 28H ayat (4) “Setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapa
pun.”
-
Pasal 28I ayat (3) “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.”
III. Bahwa Pasal 9
ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
sepanjang kata “Perorangan” Bertentangan
dengan Pasal 28A, Pasal 28C, 28D ayat (1), 28I ayat (2), (3) dan Pasal 33 ayat
(2) serta Pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar 1945.
Bahwa Pasal 9 undang-undang a-quo menyatakan
(1)
Penemuan
varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
(2)
Pencarian dan pengumpulan plasma nutfah
dalam rangka pemuliaan tanaman dilakukan oleh Pemerintah.
(3)
Kegiatan
pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin.
(4)
Pemerintah melakukan pelestarian plasma
nutfah bersama masyarakat.
Bahwa
undang-undang a-quo membedakan antara pemulia tanaman dengan petani. Padahal sesungguhnya bagi petani kegiatan pemuliaan tanaman merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Identitas pemulia tanaman menyatu
dengan identitas sebagai petani. Ketidakkenalan undang-undang a-quo terhadap
petani pemulia tanaman mengakibatkan petani pemulia tanaman harus dapat ijin
untuk pencarian, pengumpulan plasma nutfah dan mengedarkan benih.
Bahwa secara turun temurun petani dalam rangka
mempertahankan hidupnya telah berbudidaya tanaman melalui pencarian,
pengumpulan, seleksi, pertukaran dan pelestarian plasma nutfah secara in situ (di lingkungan aslinya).
Bahwa menghalangi eksistensi budaya tani, kelangsungan
budidaya dan kemampuan petani melestarikan plasma nutfah dan ketangguhan
ekosistem yang telah berlangsung turun temurun mengakibatkan petani teralienasi
dari lingkungan pertanian merupakan pelanggaran atas hak hidup dan
mempertahankan kehidupannya yang dilindungi oleh Pasal
28A:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Bahwa
menghalangi eksistensi budaya tani, kelangsungan budidaya dan
kemampuan petani melestarikan plasma nutfah dan ketangguhan ekosistem yang
telah berlangsung turun temurun adalah pelanggaran terhadap hak atas perolehan pengetahuan
yang dilindungi oleh Pasal 28C (1):
”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia. ”
Bahwa menghalangi eksistensi budaya
tani, kelangsungan budidaya dan kemampuan petani melestarikan plasma nutfah dan
ketangguhan ekosistem yang telah berlangsung turun temurun adalah pelanggaran terhadap tradisi
gotong royong atau tradisi kolektif rakyat tani dalam menjalani kehidupannya,
yang mana perlindungan atas tradisi tersebut diatur dalam Pasal
28C (2):
”Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Dan dilindungi oleh
Pasal
28I (3) Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.”
Bahwa Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Permohonan Uji Materi Undang-Undang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil telah menerjemahkan Pasal 33 UUD 1945
dalam Tolok Ukur Sebesar-besar
Kemakmuran rakyat, yang salah satunya adalah Penghormatan terhadap hak Rakyat
turun temurun dalam memanfaatkan SDA. Oleh karenanya menghalangi tradisi
budidaya petani yang telah berlangsung turun temurun merupakan pelanggaran
terhadap pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah seharusnya mengatur upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak
petani pemulia tanaman, dan melakukan pembatasan terhadap perseorangan selain
petani, dan badan hukum selain koperasi petani dan serikat petani dalam kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah. Karena pemuliaan tanaman
merupakan bagian dari hak-hak petani.
Bahwa semakin lemahnya perlindungan petani terhadap
pemulia tanaman telah mengakibatkan pertanian semakin tergantung pada industri
benih. Tidak hanya di Indonesia bahkan se-Asia Tenggara dan seluruh dunia,
benih-benih lokal hasil pemulian petani yang berlangsung secara turun temurun
semaking hilang digantikan oleh benih-benih baru hasil dari perusahaan benih,
hal ini berdampak pada pengikisan sumberdaya genetik. Menurut FAO (food and
agriculture organisation) dikutip dalam ITPGRFA (2011) lebih dari 75% dari
keragaman tanaman global telah punah tanpa bisa diperbaiki pada abad 20.
Penyebab utama yang berkontribusi dari erosi genetika termasuk sebagai berikut
:
·
Penggantian varietas lokal yang telah beradaptasi dengan
varietas yang lebih seragam dan lebih tinggi produksinya;
·
Pergeseran dari sistem tradisional ke sistem produksi
yang intensif;
·
Benih menjadi eksternal input dalam pertanian;
·
Konsentrasi dalam industri benih global;
·
Perdagangan dalam pasar pertanian;
·
Persyaratan keseragaman dalam industri pangan dan
homogenisasi dalam budaya pangan.
Bahwa
Indonesia telah mengesahkan ITPGRFA (International
Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture), melalui Undang-Undang Nomor 4 tahun 2006 tentang tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For
Food And Agriculture (Perjanjian
Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian). Bahwa tanaman-tanaman pertanian secara esensi merupakan
‘kreasi manusia (man made), dibuat
oleh petani lebih dari berabad lamanya. Dan banyak tanaman tidak bisa bertahan
tanpa intervensi manusia. Sumberdaya genetic merupakan dasar
pembangun dari pemuliaan tanaman. Petani dan petani pemulia menseleksi dan
memuliakan tanaman untuk mendapatkan karakteristik yang diinginkan dan
menghilangkan sifat yang tidak diinginkan. Petani pemulia harus melakukan
penseleksian banyak varietas untuk mendapatkan varietas baru.
Bahwa Pasal 9 Bagian III dalam ITPGRFA secara khusus menuliskan
tentang Hak Petani.
Pasal 9.1 Para Pihak mengakui kontribusi yang sangat besar yang telah dan akan
terus diberikan oleh masyarakat lokal dan asli serta petani di semua bagian
dunia, khususnya mereka yang ada di pusat asal dan pusat keanekaragaman
tanaman, untuk memungkinkan konservasi dan pengembangan sumber daya genetik
tanaman yang menjadi basis produksi pangan dan pertanian di seluruh dunia.
Pasal 9.2 Para Pihak sepakat bahwa tanggung jawab untuk mewujudkan Hak
Petani, yang berkaitan dengan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan
pertanian, berada pada pemerintah nasionalnya. Sesuai kebutuhan dan
prioritasnya, setiap Pihak harus, apabila sesuai, dan tergantung pada
peraturan perudangan-undangan nasionalnya, mengambil langkah untuk melindungi
dan mendorong Hak Petani, termasuk:
a)
perlindungan pengetahuan
tradisional yang relevan dengan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan
pertanian;
b)
hak untuk berpartisipasi
secara berimbang dalam pembagian keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan
sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian; dan
c)
hak untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan, pada tingkat nasional, mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya
genetik tanaman untuk pangan dan pertanian.
9.3 Ketentuan dalam Pasal ini tidak boleh ditafsirkan membatasi hak petani
untuk menyimpan, menggunakan, mempertukarkan dan menjual benih/bahan
perbanyakan hasil tanaman sendiri.
Bahwa Undang-Undang Nomor 4 tahun
2006 tentang Pengesahan International Treaty On Plant
Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik
Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian) yang meletakan dasar-dasar terhadap petani pemulia tanaman
dan undang-undang a quo yang telah membatasi hak-hak petani pemulia tanaman
telah mengakibatkan hak-hak konstitusional petani yaitu jaminan kepastian hukum
menjadi terhalangi akibat pertentangan dua produk hukum tersebut.
Bahwa pasal 28D ayat
(1) undang-undang dasar 1945 mengamanatkan :
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.”
Bahwa dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 3/PUU-VII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang dalam pertimbangannya mahkamah
berpendapat:
”pemberian
HP-3 dapat menimbulkan diskriminasi secara tidak langsung (indirect discrimination). Bila suatu
ketentuan hukum yang nampaknya netral, baik kriteria maupun secara praktisnya,
tetapi hal itu akan menimbulkan kerugian bagi orang-orang tertentu yaitu
masyarakat nelayan dibandingkan pemilik modal kuat. Oleh karena kemampuan dan
keadaan para nelayan tradisional tidak seimbang dibandingkan dengan kemampuan
dan keadaan pemilik modal besar dalam persaingan memperoleh hak pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka akan terjadi indirect
discrimination yang berakibat merugikan para nelayan tradisional;”
Bahwa mempersamakan
antara petani dengan peneliti yang dibiayai oleh negara dan perusahaan adalah
tindakan memperlakukan hal yang sama terhadap pihak yang kekuatannya
berbeda yang membawa dampak pada diskriminasi secara tidak langsung karena kemampuan yang
berbeda antara petani dengan peneliti yang dibiayai oleh negara dan perusahaan.
Bahwa pelindungan terhadap praktik terhadap diskriminasi telah diatur dalam
Pasal 28I ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan:
”Setiap orang bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.”
IV. Bahwa Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Bertentangan
dengan Pasal 28 A, Pasal 28C, 28I (3) dan Pasal 33 (2) serta Pasal 33 (3)
Undang-undang Dasar 1945.
Pasal 12 undang-undang a quo menyatakan :
(1)
Varietas
hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih
dahulu dilepas oleh Pemerintah.
(2)
Varietas
hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilarang diedarkan.
Bahwa pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) sejauh
frasa “varietas hasil pemuliaan” yang
dilakukan oleh petani kecil bertentangan dengan pasal 28A, Pasal 28C, 28I ayat (3)
dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.
Bahwa dalam prakteknya
pengetahuan mengenai pertukaran benih, persilangan itu terjadi pada tataran
komunitas dan dilakukan secara komunal. Varietas hasil pemuliaan petani tidak
memerlukan persyaratan apapun dalam peredarannya di komunitas masing-masing.
Bahwa dalam faktanya
benih-benih bersertifikat dari pemerintah tidak memberikan jaminan mutu,
jaminan tidak diserang hama ,
penyakit dan rakus pupuk serta pemisahan petani dengan aktifitas pemulia tanaman akan menghilangkan
pengetahuan budidaya tanaman local dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
petani.
Bahwa agenda penelitian
untuk menemukan benih-benih baru tidak melibatkan petani sebagai subjek tanpa memperhitungkan
kepentingan petani. Penelitian tersebut hanya bersumber pada bisnis semata.
Benih-benih petani hanya digunakan sebagai sumber penelitian-penelitian tanpa
memperhitungkan sumbangan petani pada keragaman benih-benih pertanian yang sudah
ada. Pengetahuan petani dan kreatifitasnya dalam
pemuliaan tanaman akan mati akibat kegiatan pengembangan, pencarian dan
pengumpulan sumberdaya genetik pertanian harus mendapatkan izin. Sementara
petani sebagai individu disamakan dengan perusahaan benih dalam memperoleh
izin, dalam kenyataan hanya perusahaan yang bisa mendapatkan izin.
Berikut kutipan Pasal
28A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.”
Pasal 28C Pasal 28C:
”(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”
Pasal 28I Ayat (3):
“(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Pasal 33 Ayat (2) dan
Ayat (3):
“(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
V.
Bahwa
Pasal 60 ayat (1) huruf a dan Huruf b
dan ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang
No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Bertentangan Pasal 28G ayat
(1) Undang-undang Dasar 1945
Pasal
60 ayat (1) huruf a dan huruf b menyatakan:
(1) Barangsiapa
dengan sengaja:
a. mencari dan
mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3);
b. mengedarkan
hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2);
(2) Barang siapa
karena kelalaiannya :
a. mencari dan
mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3);
b. mengedarkan
hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2);
Bahwa pemuliaan tanaman
adalah hak asasi petani yang telah dipraktekan oleh petani secara turun temurun
semenjak pertanian itu ada. Oleh karenanya melakukan pemidanaan terhadap
pemuliaan tanaman oleh petani adalah pelanggaran dari Pasal 28G ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi. “
Bahwa dikarenakan Pasal
60 ayat (1) huruf a dan Huruf b dan ayat
(2) huruf a dan huruf b Undang-undang a quo adalah suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pasal 9 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (3) undang-undang a quo
yang menurut hemat PARA PEMOHON adalah inkonstitusional maka untuk kepastian
hukum Pasal 60 ayat (1) huruf a dan
Huruf b dan ayat (2) huruf a dan huruf b harus juga dinyatakan
inkonstitusional.
F.
KESIMPULAN
Bahwa berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :
Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6, Pasal 9
ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b
ayat (2) huruf a dan huruf b Undang Undang No. 12
Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman menimbulkan pelanggaran Hak Asasi
Petani, ketidakpastian
hukum dan tidak dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
G.
PETITUM
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
dengan ini PARA PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat
agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut :
1.
Menerima dan
mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;
2.
Menyatakan
Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6, Pasal 9 ayat (3) sepanjang kata
“perorangan”, Pasal 12 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b ayat (2) huruf a dan huruf b Undang
Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 46 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Menyatakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6,
Pasal 9 ayat (3) sepanjang kata “perorangan”,
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 60 ayat (1) huruf a dan huruf b ayat (2)
huruf a dan huruf b Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat
hukumnya;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
Hormat kami
Tim Advokasi Jaringan Petani Pemulia
Tanaman
Ecoline Situmorang, S.H.
B.P. Beni Dikty
Sinaga, S.H.
Riando
Tambunan, S.H,
Ridwan
Darmawan, S.H.
M.
Taufiqul Mujib, S.H.
Henry
David Oliver Sitorus, S.H.
Franditya Utomo, S.H.
|
Janses E. Sihaloho, S.H.
M.
Zaimul Umam, S.H. M.H.
Anton
Febrianto, S.H.
Priadi, S.H.
Arif Suherman, S.H.
Dhona El Furqon, S.Hi.
Rachmi Hartanti, S.H., M.H.
Nurmar Koto Sitorus., S.H.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar