Perumusan masa kedaluwarsa selama waktu 2 (dua) tahun
pada dasarnya merupakan kebutuhan hukum atas keadilan dan kepastian serta
dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jangka waktu 2 tahun adalah waktu yang
cukup bagi pekerja/buruh untuk menuntut pembayaran haknya. Namun jika pekerja/buruh
tidak memanfaatkan waktu tersebut, maka berarti pekerja/buruh sudah melepaskan
segala haknya. “Sangat tidak adil untuk dibebankan kepada pengusaha dan tidak
pula adil seorang pengusaha dibebani kewajiban-kewajiban tanpa ada batasan
waktu, tentu akan membebani pengusaha sepanjang masa. Hal ini tentu akan
menimbulkan hukum yang tidak berkeadilan dan menyampingkan kepastian.”
Ketua Umum Pengurus Harian Asosiasi Pengusaha
Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi mengatakan hal tersebut saat menjadi Pihak
Terkait dalam sidang pengujian Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UU Ketenagakerjaan) di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/1/2013). Sidang
kali keempat untuk perkara yang diregisterasi pada 3 Oktober 2012 oleh
Kepaniteraan MK dengan Nomor 100/PUU-X/2012 ini mengagendakan mendengarkan
keterangan APINDO.
Memperkuat pernyataan tersebut di atas, Sofjan
Wanandi menjelaskan tujuh alasan (dalil). Pertama, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh
harus ada kepastian hukum. Kedua, untuk memperoleh kepastian hukum perlu
ditetapkan hak dan kewajiban yang timbul akibat hubungan kerja. Ketiga,
ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan untuk memberikan kepastian hukum atas
segala keputusan atau penetapan, dan sampai kapan keputusan atau penetapan
tersebut dapat digugat di pengadilan. Keempat, pemberian kesempatan bagi
pekerja/buruh untuk menolak atau melakukan gugatan terhadap perlakuan yang
dirasakan tidak adil apabila terjadi PHK sebagaimana diatur oleh Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan, adalah jaminan bahwa hak-hak mendasar pekerja/buruh di tempat
bekerja dilindungi oleh negara. Kelima, bagi pekerja/buruh yang tidak
melakukan tuntutan melampaui batas waktu yang diberikan oleh UU, maka dengan
sendirinya dianggap telah melepaskan haknya, adalah suatu yang wajar demi
adanya kepastian hukum bagi para pihak. Keenam, berkaitan dengan
pembayaran upah dan hak-hak lain dalam hubungan kerja, selalu diatur adanya
ketentuan kedaluwarsa. Ketujuh, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan dalil tersebut, APINDO meminta Mahkamah
agar menolak permohonan uji Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Kemudian meminta
Mahkamah menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal
28D ayat (2) UUD 1945. “Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi
dapat memberikan keputusan, ini tentu pendapat kami daripada pengusaha, untuk
dapat menolak pengujian Pemohon seluruhnya, atau permohonan pengujian Pemohon
tidak dapat diterima,” pinta Sofjan.
Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki (ketua panel), Ahmad
Fadlil Sumadi, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, Muhammad
Alim, dan Anwar Usman, menyatakan proses persidangan uji materi UU
Ketenagakerjaan dianggap cukup. Panel Hakim meminta para pihak yaitu Pemohon,
Pemerintah, DPR, agar membuat kesimpulan dan diserahkan langsung ke
Kepaniteraan MK paling lambat pada Senin, 4 Februari 2013 pukul 16.00 WIB. “Baiklah,
kalau demikian, maka seluruh persidangan mengenai Perkara Nomor 100/PUU-X/2012
ini dianggap cukup,” kata Ketua Pleno Achmad Sodiki.
Untuk diketahui, permohonan uji Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan dimohonkan oleh Marten Boiliu. Marten adalah
petugas Satuan Pengaman (Satpam) pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) melalui perusahaan penyedia jasa pengamanan, yaitu di PT Sandy Putra Makmur (PT SPM). Marten mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika PT SPM tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan BUMN
tempat di mana dia ditugaskan. Marten kehilangan hak atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak karena tidak mengajukan tuntutan atas hak-hak tersebut dalam
kurun waktu 2 tahun. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.” Menurut Marten, ketentuan tersebut bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
(Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar