Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) memberi pengakuan guru swasta sebagai pejabat fungsional negara dalam tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru swasta diakui dengan jabatan fungsional guru bukan PNS dan sama dengan jabatan fungsional guru PNS. Yang lebih spektakuler adalah kesejahteraan guru melebihi jabatan fungsional dokter. Dokter hanya mendapat gaji dan tunjangan fungsional. Sementara guru mendapat gaji, tunjangan fungsional, tunjangan profesi, dan maslahat tambahan. Hal ini mendorong calon mahasiswa lebih memilih profesi sebagai guru dengan menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
“Setelah Undang-Undang Guru diberlakukan, maka pilihan pertama (calon) mahasiswa tidak lagi mutlak kepada fakultas kedokteran atau teknik seperti dulu, tapi pilihan untuk calon mahasiswa yang memiliki prestasi tinggi di SMA bergeser pada pilihan pertamanya, yaitu di LPTK yakni untuk menjadi guru.”
Demikian dikatakan oleh H. Ahmad Fathoni Rodli saat menyampaikan keterangan sebagai saksi Pemerintah atas uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/1/2013) siang. Persidangan keempat untuk perkara Nomor 95/PUU-X/2012 beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dan Pemerintah.
H. Ahmad Fathoni Rodli yang merupakan tim penyusun UU Guru dan Dosen, lebih lanjut menyatakan, pembahasan tentang persiapan penerimaan dan pengadaan guru terkandung dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan mempunyai keterkaitan dengan pasal-pasal lainnya. Pasal 9 tidak bisa dipisahkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan multitafsir.
“Menurut pandangan saksi, Pasal 9 tidak menimbulkan penafsiran yang bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 9 merupakan salah satu rukun dalam profesi guru,” tandas pria yang akrab disapa Cak Thoni ini.
Persidangan pleno yang dilaksanakan oleh sembilan Hakim Konstitusi ini juga mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah yaitu Nurhasan Ismail dan Frieda Mangunsong. Nurhasan Ismail mengatakan, uji materi UUGD ini merupakan kerisauan para lulusan-lulusan sarjana (S1) atau diploma empat (D4) kependidikan karena tidak mendapatkan perlakuan khusus dalam UUGD. Mereka ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar dengan lulusan-lulusan S1 atau D4 non-kependidikan. Hal ini terkait dengan ketentuan dalam Pasal 9 UUGD.
Menurut Nurhasan, Pasal 9 hendaknya tidak dibaca secara parsial, tetapi harus dipahami secara komprehensif sebagai bagian dari persyaratan untuk menjadi guru. “Artinya, Pasal 9 itu harus dibaca secara utuh sebagai bagian dari Pasal 8 sampai Pasal 12 yang merupakan persyaratan untuk dapat menjadi guru,” terang Nurhasan.
Lebih lanjut Guru Besar Universitas Gadjah Mada ini memaparkan lima persyaratan yang tercantum Pasal 8 UUGD. Pertama, kualifikasi akademik yang merupakan persyaratan awal untuk menjadi guru. Persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi guru yaitu lulusan S1 atau D4 tanpa membedakan antara lulusan S1 dan D4 kependidikan dan non-kependidikan. Kedua, kompetensi yang di dalamnya ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian (integritas moralitas), dan kompetensi profesional. Ketiga, sertifikasi.
Menurutnya, lulusan S1 maupun D4 kependidikan maupun non-kependidikan sama-sama belum siap untuk menjadi guru. Sebab mereka belum sepenuhnya memiliki empat kompetensi yang diharuskan dimiliki oleh seorang guru. Lulusan S1 atau D4 kependidikan mungkin menguasai kompetensi pedagogik, tetapi belum mampu menguasai secara utuh kompetensi profesional yang menyangkut kedalaman dan keluasan keilmuan yang menjadi beban tugas seorang guru.
Nurhasan mengemukakan alasan pengangkatan guru lulusan S1 atau D4 non-kependidikan. Menurutnya, lulusan S1 atau D4 non-kependidikan diperlukan dalam rangka untuk pemerataan ketersediaan guru di seluruh pelosok tanah air. Selain itu adalah adanya kebutuhan guru dengan kompetensi yang profesional di bidang-bidang tertentu yang tidak mungkin dipenuhi oleh lulusan S1 atau D4 kependidikan, misalnya bidang seni-budaya, agama. “Lulusan S1, D4 kependidikan tidak mungkin mendalami mengenai ajaran-ajaran agama yang akan diberikan sebagai materi di sekolah-sekolah atau di lembaga-lembaga kependidikan itu,” jelas Nurhasan.
Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 9 UUGD ini dimohonkan oleh 7 orang mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yakni Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M. Khoirur Rosyid, dan Siswanto. Pasal 9 UUGD menyatakan: “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan sarjana atau program diploma empat.”
Para pemohon merasa hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 9 UUGD. Kerugian konstitusional yang dimaksud yaitu para pemohon harus bersaing dengan para sarjana non-kependidikan yang tidak menempuh kuliah di LPTK dimana terdapat beberapa mata kuliah belum pernah diajarkan di universitas non-kependidikan. Para pemohon mendalilkan profesi guru merupakan bidang khusus sehingga dibutuhkan keahlian khusus. Keahlian khusus ini tidak mungkin didapatkan di perkuliahan non-LPTK. Pasal 9 UUGD tidak memberikan perlindungan serta kepastian hukum kepada para pemohon sebab tidak memberikan jaminan bagi lulusan LPTK sebagai satu-satunya sarjana yang bisa masuk dalam pendidikan profesi guru. Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 9 UUGD bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar