Agenda sidang uji materi UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
yang digelar di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (03/07/2012), yakni mendengarkan
keterangan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Namun, hingga persidangan
dibuka pukul 11.00 WIB, baik Pemohon maupun Pemerintah tidak bisa menghadirkan
saksi/ahli yang akan memberikan keterangan untuk memperkuat argumentasi masing-masing.
Syahdan, pleno Hakim Konstitusi yang terdiri Achmad
Sodiki (Ketua Pleno), M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim,
Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman, memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk membuat kesimpulan akhir selambat-lambatnya pada 10
Juli 2012. “Majelis memberi kesempatan kepada Pemohon dan
Pemerintah untuk membuat kesimpulan sampai hari Selasa, tanggal 10 Juli Tahun
2012 jam 16.00 WIB,” kata Achmad Sodiki.
Untuk diketahui, persidangan kali keempat untuk
perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan nomor 41/PUU-X/2012, ini
diajukan oleh Muhammad
Fhatoni, Akmal Fuadi, dan Denni. Ketiganya mengujikan ketentuan Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara, serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan
Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara.
UU Keuangan Negara Pasal 8 huruf d menyatakan: “Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan
atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut : d. melakukan
perjanjian internasional di bidang keuangan.”
UU Perbendaharaan
Negara Pasal 7 ayat (2) huruf j menyatakan: (2) “Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara berwenang: j. melakukan pinjaman dan memberikan jaminan
atas nama pemerintah.”
UU Perbendaharaan Pasal
38 menyatakan: “(1) Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat yang diberi kuasa
atas nama Menteri Keuangan untuk mengadakan utang Negara atau menerima hibah
yang berasal dari dalam negeri ataupun dari luar negeri sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan dalam undang-undang APBN; (2) Utang/hibah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diterus pinjamkan kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD;
(3) Biaya berkenaan dengan proses pengadaan utang atau hibah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada Anggaran Belanja Negara; (4) Tata cara
pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang berasal dari dalam negeri
maupun dari luar negeri serta penerusan utang atau hibah luar negeri kepada Pemerintah
Daerah/BUMN/BUMD, diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Para Pemohon
mendalilkan, berlakunya ketentuan dalam materi kedua UU yang diujikan tersebut,
berdampak pada peningkatan utang negara. Hal ini terjadi karena Menteri
Keuangan (Menkeu) dan pejabat yang mendapat kuasa dari Menkeu Keuangan begitu
mudahnya melakukan penandatanganan naskah perjanjian utang luar negeri.
Hutang yang
ditandatangani sekarang, dihabiskan sekarang. Namun cicilan pembayarannya baru
lunas pada generasi anak cucu yang nota bene tidak menikmati manisnya, tapi
harus menanggung sepahnya. Hal inilah yang dianggap merugikan konstitusional
para Pemohon.
Menurut Pemohon, perjanjian
luar negeri terutama yang berhubungan hutang harus memenuhi prinsip
kehati-hatian. Dalam konteks ini, harus kembali kepada substansi Pasal 11 ayat
(2) UUD 1945 yaitu penandatanganan naskah perjanjian utang luar negeri hanya
dapat ditandatangani oleh Presiden dan mendapat persetujuan dari DPR. (Nur
Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar