Sanksi merupakan suatu perlengkapan untuk menjamin
agar suatu undang-undang (UU) atau hukum memiliki kekuatan efektif. Dalam teori
hukum, penetapan sanksi menjadi satu-satunya ciri suatu kaidah hukum. Hukum
harus ada sanksi. Demikian pendirian kaum positivisme. “Sanksi diperlukan pada
hukum atau undang-undang yang bersifat memaksa atau lazim disebut dwingen
recht,” kata Bagir Manan saat bertindak sebagai ahli Pemerintah dalam
persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (4/7/2012).
Sidang kali kelima untuk perkara nomor 30/PUU-X/2012
ihwal Pengujian Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP), beragendakan mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli.
Pihak Pemerintah dihadiri Direktur Jendral Pajak Fuad Rahmany, sejumlah ahli
Pemerintah: Bagir Manan, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Siti Ismiati Jenie, Supardji,
dan Edward Omar Sharif Hiariej.
Bagir Manan melanjutkan, hukum yang memaksa adalah
hukum atau UU yang berkaitan dengan ketertiban umum (public order), atau
demi kepentingan publik (public interest), seperti menyangkut kepentingan
nasional atau keamanan nasional. “Karena semua hukum memuat sedikit atau banyak
unsur ketertiban umum atau suatu kepentingan publik, maka hampir selalu
dijumpai unsur sebagai dwingen recht termasuk hukum keperdataan yang
lebih banyak sebagai regelend recht,” terang Bagir.
Pajak adalah pungutan negara yang bersifat memaksa
sebagai perwujudan kewajiban pembayar pajak terhadap negara. Pajak sebagai
pendapatan negara bertalian langsung dengan kewajiban negara untuk menjamin dan
menjalankan kepentingan umum maupun kepentingan negara sendiri, seperti
menjamin keamanan nasional dan lain-lain. Fungsi pajak tidak semata-mata untuk
menjamin keadilan, tapi tidak kalah pentingnya adalah fungsi ketertiban umum
atau public order. Berdasarkan pengertian, tujuan, dan fungsi tersebut,
sanksi sebagai instrumen menjalankan ketaatan membayar pajak, merupakan suatu
kemestian. “Tidak ada hukum pajak tanpa disertai suatu sanksi,” tandas Bagir.
Ahli lainnya yang dihadirkan Pemerintah yaitu Abdul
Hakim Garuda Nusantara. Menurutnya, kandungan pasal dalam UU yang diujikan
Pemohon, telah memenuhi asas-asas keseimbangan, kepastian hukum, keadilan dan
perlindungan hukum. “Dengan terang-benderang pasal-pasal a quo dalam
undang-undang a quo menyerasikan antara tuntutan kepastian hukum,
efisiensi, dan efektivitas dalam pemungutan pajak dengan cara menghindari
penundaan pembayaran pajak yang tidak patut,” kata Abdul Hakim
Selain itu, lanjut Abdul Hakim, memberikan keadilan
dan perlindungan hukum kepada wajib pajak dari kemungkinan kesewenangan,
ketidaktelitian, kealpaan aparat pajak dengan cara memberikan peluang kepada
wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas surat ketetapan pembayaran pajak
dan wewenang kepada Dirjen pajak untuk menghapuskan denda, bunga, kenaikan,
bahkan menghapuskan ketetapan pajak. Kepastian hukum, efisiensi, dan
efektifitas pemungutan pajak, sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 25 ayat (9)
dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP layak untuk dipertahankan karena tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat
(2) UUD 1945. Malahan dengan dipertahankannya kedua pasal tersebut memungkinkan
pelaksanaan kewajiban konstitusional negara yakni pemenuhan HAM baik sipil dan
politik maupun ekonomi, sosial, dan budaya. “Hilangnya kedua pasal tersebut,
hilangnya kekuatan konstitusional kedua pasal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
penundaan pembayaran pajak besar-besaran oleh wajib pajak,” tandas Abdul Hakim
Garuda Nusantara.
Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) UU
KUP diajukan oleh Harangan Wilmar Hutahaean, Direktur PT
Hutahaean. Pasal 25 ayat
(9) UU KUP menyatakan: “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian,
Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.” Kemudian Pasal 27 ayat (5) huruf d menyatakan:
“Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.”
PT Hutahaean adalah wajib pajak yang terperiksa oleh fiskus (petugas
pemeriksa pajak) dan telah menerima Surat Ketetapan Kurang Bayar Pajak
Penghasilan Badan. PT Hutahaean menyanggah temuan fiskus. Namun haknya untuk
mengajukan keberatan, terhalangi oleh ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27
ayat (5d) UU KUP. Ketentuan ini sangat merugikan karena telah membatasi wajib
pajak yang mempunyai sengketa pajak dikenakan sanksi sebelum mengajukan gugatan
keberatan, yaitu sanksi administrasi berupa denda sebanyak 50% dari jumlah
pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan, dan dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebanyak 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Pemohon menilai hal ini
terlalu berlebihan dan telah melanggar hak konstitusional Pemohon yang
dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2)
UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar