Ketentuan mengenai ambang batas perolehan suara sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), menurut
pendapat Pemerintah, peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik (parpol)
yang memenuhi nilai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 2,5%
pada pemilu 2009. Atau parpol yang sudah mempunyai kursi di DPR sebagai
representasi dari dukungan rakyat, dan parpol yang lulus verifikasi di KPU.
Persyaratan menjadi peserta Pemilu 2014 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu sinkron dengan UU Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Hal tersebut juga sesuai dengan putusan Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa parpol yang berbadan hukum tidak perlu
diverifikasi untuk menjadi badan hukum. “Dengan demikian, maka partai politik
yang sudah mempunyai kursi di DPR tidak perlu lagi diverifikasi untuk menjadi
peserta pemilu.”
Demikian dikatakan Bambang Kusumajadi saat
menyampaikan opening statement Pemerintah dalam sidang uji materiil dan formil
UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/7/2012). Sidang kali ketiga
untuk gabungan perkara 51/PUU-X/2012, 52/PUU-X/2012, 54/PUU-X/2012 dan 55/PUU-X/2012,
beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari
Pemohon serta Pemerintah. Permohonan uji materiil dan formil UU Pemilu ini
masing-masing diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)
dkk, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dkk, Partai Nasional Indonesia
(PNI) dkk, dan Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Lebih lanjut Pemerintah menyatakan, pembahasan
mengenai pembentukan UU Pemilu telah mempertimbangkan hal-hal yang mendasar
yaitu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD melalui pemilu sebagai sarana
perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif,
berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemilu
wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
Mengenai masalah besaran nilai ambang batas
mengikuti electoral threshold/ET maupun parliamentary threshold/PT,
menurut Pemerintah, hal itu merupakan kewenangan pembentuk UU. PT merupakan
tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh parpol untuk mendapatkan
perwakilan kursi di DPR.
Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu mempunyai arti bahwa partai
politik yang memenuhi PT pada pemilu terakhir, dijadikan sebagai ET untuk
pemilu berikutnya. Dengan demikian, maka UU Pemilu memberlakukan PT tahun 2009
sebagai ET tahun 2014 dengan melengkapi persyaratan sebagai diatur pada Pasal 8
ayat (2) UU Pemilu.
Pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat
menciptakan sinergitas program yang dicanangkan pemerintah pusat dan daerah. Fakta
yang terjadi sebelumnya, seringkali program yang dicanangkan pemerintah pusat
tidak sejalan dengan program yang ada di daerah. Hal ini disebabkan
masing-masing keterwakilan parpol di DPR dan DPRD berbeda latar belakangnya
dikarenakan dalam Pemilu 2009, parpol politik yang terwakili di DPR belum tentu
mempunyai keterwakilan di DPRD, begitu juga sebaliknya. “Hal ini sangat memengaruhi
sinergitas program pembangunan di pusat dan daerah, sehingga penyelenggaraan
pemerintah kurang efektif,” tambah Kusumajadi.
Kemudian terkait dengan suara sah secara nasional
yang harus diperoleh parpol politik untuk mendapatkan kursi di DPR, DPRD dalam
pemilu yang demokratis, luber dan jurdil, justru pencapaian partai atas syarat
tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan kepada rakyat
memilih yang berdaulat. “Hal demikian juga sebagai tolak ukur apakah partai
politik yang menjadi peserta pemilu 2014 mendapatkan dukungan dari rakyat,”
terang Kusmajadi.
Sementara itu, Eros Djarot saat didaulat sebagai
saksi pemohon menyatakan, revisi UU Pemilu setiap lima tahun sekali
menggambarkan adanya ketidakpastian sistem politik dan ketidakpastian hukum.
Legalitas parpol terombang ambing sehingga kaderisasi terabaikan. Demi
kepentingan sesaat, proses revisi pembentukan UU Pemilu dan Pilpres dipelintir
menjadi sebuah UU yang tidak memiliki asas-asas normatif dan jauh dari logika
hukum. “Proses pembentukan Undang-Undang Pemilu yang berpotensi melahirkan
konflik horizontal yang berkepanjangan harus dicegah dan dikoreksi total,”
tandas Eros. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar