Rabu, 04 April 2012

HM Laica Marzuki: Pembuat UU Minerba Bagai Menyila Dua Jenis Tanaman Dari Populasi Berbeda

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik berdasarkan sistem desentralisasi yang diselenggarakan dengan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yg oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Konsep negara kesatuan meliputi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, namun secara dikhotomis membagi kewenangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak menggolongkan urusan pemerintahan berkenaan dengan pertambangan, mineral dan batubara sebagai urusan pemerintahan pusat.

Pasal 1 angka 29, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sepanjang frasa “tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam hal penentuan wilayah pertambangan (WP), pada nyatanya melintasi dua kewenangan pemerintahan yang berbeda, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan desentralisasi.

“Pembuat UU Minerba bagai menyila dua jenis tanaman dari dua populasi yang berbeda,” kata HM Laica Marzuki saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan uji materi UU Minerba yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/4/2012), di ruang pleno gedung MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Bupati Kutai Timur Ishan Noor. Materi UU Minerba yang diujikan Ishan Noor yaitu Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31, Pasal 6 ayat (1) huruf e, ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 huruf b dan huruf c, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Penjelasan Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19.

Selain menghadirkan Prof. HM Laica Marzuki, Ishan Noor juga menghadirkan Ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan, Dr. Indra Prawira, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid. Muchsan dalam keterangannya menyatakan, frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, berarti bahwa pengelolaan kekayaan alam tidak hanya wewenang pemerintah pusat saja, tetapi pemerintah daerah juga berhak mengelolanya. Oleh karena itu, penetapan yang menyatakan bahwa wilayah pertambangan tidak terikat dengan batasan wilayah administrasi pemerintahan, itu tidak sesuai dengan sistem pembagian wilayah NKRI sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam UU Minerba, lanjutnya, pengelolaan minerba tetap di tangan pemerintah pusat. “Hal ini tidak sesuai dengan sistem desentralisasi yang menghendaki pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,” lanjutnya.

Indra Prawira dalam keterangannya menyatakan, istilah hukum dalam UUD 1945 tidak bersifat statis, melainkan berkembang sesuai dengan zaman. Perubahan makna, istilah konstitusi dapat terjadi karena penafsiran legislator pembentuk UU, lembaga peradilan seperti MK, atau karena praktik ketatanegaraan. Indra menyontohkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi dasar UU Minerba yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Istilah “bumi” dalam pemakaian bahasa sehari-hari, menunjuk pada nama sebuah planet yang berbentuk bulat seperti bola. “Pertanyaannya, apakah founding fathers kita menggunakan istilah bumi dengan makna seperti sekarang ini?” tanya Indra.

Menurutnya para founding fathers tidak memaknai “bumi” seperti di atas. Sebab tidak mungkin para founding fathers bermaksud menguasai seluruh bumi. “Meskipun menunjuk pada “bumi” secara keseluruhan, tapi yang dimaksud tentulah menunjuk pada sebagain wilayah di muka bumi ini yang dihuni oleh bangsa Indonesia,” terangnya.

Pengertian “bumi”, lanjutnya, sekarang sudah berubah. Indra menyayangkan saat perubahan UUD 1945 RI, istilah “bumi” tidak dikoreksi dan disesuaikan dengan makna bumi yang dipahami saat ini. Menurutnya, makna “bumi” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu “tanah dan kekayaan alam yang ada di dalamnya”. “Jadi, definisi ‘bumi dan air’ dalam UUD 1945 mengandung makna, baik sebagai wadah maupun sumber daya alam,” paparnya.

Menurut Indra, dari perspektif hukum tata ruang dan sumber daya alam, Frasa “dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam UU Minerba bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bahkan, menurutnya, bukan hanya frasa tersbut yang bertentangan dengan UUD 1945. “Tetapi seluruh pengertian Pasal 1 angka 29 bertentangan dengan UUD 1945,” pungkasnya.    
          
Sementara itu, Ryaas Rasyid dalam keterangannya menyatakan, kata “seluas-luasnya” dalam ketentuan mengenai pemerintahan daerah dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dapat dimaknai sebagai jaminan bahwa wewenang pemerintahan yang melekat pada daerah otonom tidak syogianya dilucuti dengan dalih apapun melalui penarikan kembali kewenangan dari daerah otonom ke pemerintahan pusat. “Kalau ada argumen yang merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang otoritas negara dalam menguasai ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’, sebagai alasan untuk membenarkan kebijakan resentralisasi atas sektor tambang, mineral dan batubara, karena pemerintah pusat dipandang sebagai satu-satunya institusi yang dapat bertindak atas nama negara, maka jelaslah bahwa argumen itu salah kaprah,” tandas Ryaas. (Nur Rosihin Ana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More