Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik berdasarkan sistem desentralisasi yang
diselenggarakan dengan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yg oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Konsep negara kesatuan
meliputi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, namun secara dikhotomis
membagi kewenangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pasal 10 ayat
(3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa, urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan
fiskal nasional; dan f. agama. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tidak menggolongkan urusan pemerintahan berkenaan dengan
pertambangan, mineral dan batubara sebagai urusan pemerintahan pusat.
Pasal 1 angka 29, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU Minerba)
sepanjang frasa “tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam
hal penentuan wilayah pertambangan (WP), pada nyatanya melintasi dua kewenangan
pemerintahan yang berbeda, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini
bertentangan dengan prinsip pemerintahan desentralisasi.
“Pembuat UU
Minerba bagai menyila dua jenis tanaman dari dua populasi yang berbeda,” kata
HM Laica Marzuki saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan uji
materi UU Minerba yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/4/2012), di ruang pleno
gedung MK. Sidang perkara
yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Bupati Kutai
Timur Ishan Noor. Materi UU Minerba
yang diujikan Ishan Noor yaitu Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31,
Pasal 6 ayat (1) huruf e, ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 huruf b dan huruf c,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Penjelasan Pasal 15, Pasal
16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19.
Selain
menghadirkan Prof. HM Laica Marzuki, Ishan Noor juga menghadirkan Ahli yaitu Prof.
Dr. Muchsan, Dr. Indra Prawira, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid. Muchsan dalam keterangannya
menyatakan, frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
berarti bahwa pengelolaan kekayaan alam tidak hanya wewenang pemerintah pusat
saja, tetapi pemerintah daerah juga berhak mengelolanya. Oleh karena itu,
penetapan yang menyatakan bahwa wilayah pertambangan tidak terikat dengan batasan
wilayah administrasi pemerintahan, itu tidak sesuai dengan sistem pembagian
wilayah NKRI sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam UU Minerba,
lanjutnya, pengelolaan minerba tetap di tangan pemerintah pusat. “Hal ini tidak
sesuai dengan sistem desentralisasi yang menghendaki pemberian kewenangan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,” lanjutnya.
Indra Prawira
dalam keterangannya menyatakan, istilah hukum dalam UUD 1945 tidak bersifat
statis, melainkan berkembang sesuai dengan zaman. Perubahan makna, istilah
konstitusi dapat terjadi karena penafsiran legislator pembentuk UU, lembaga
peradilan seperti MK, atau karena praktik ketatanegaraan. Indra menyontohkan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi dasar UU Minerba yang menyatakan “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Istilah “bumi” dalam pemakaian bahasa
sehari-hari, menunjuk pada nama sebuah planet yang berbentuk bulat seperti
bola. “Pertanyaannya, apakah founding fathers kita menggunakan istilah bumi
dengan makna seperti sekarang ini?” tanya Indra.
Menurutnya para
founding fathers tidak memaknai “bumi” seperti di atas. Sebab tidak mungkin
para founding fathers bermaksud menguasai seluruh bumi. “Meskipun menunjuk pada
“bumi” secara keseluruhan, tapi yang dimaksud tentulah menunjuk pada sebagain
wilayah di muka bumi ini yang dihuni oleh bangsa Indonesia,” terangnya.
Pengertian
“bumi”, lanjutnya, sekarang sudah berubah. Indra menyayangkan saat perubahan
UUD 1945 RI, istilah “bumi” tidak dikoreksi dan disesuaikan dengan makna bumi
yang dipahami saat ini. Menurutnya, makna “bumi” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yaitu “tanah dan kekayaan alam yang ada di dalamnya”. “Jadi, definisi
‘bumi dan air’ dalam UUD 1945 mengandung makna, baik sebagai wadah maupun
sumber daya alam,” paparnya.
Menurut Indra,
dari perspektif hukum tata ruang dan sumber daya alam, Frasa “dan tidak terikat
dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam UU Minerba bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bahkan, menurutnya, bukan hanya frasa tersbut yang
bertentangan dengan UUD 1945. “Tetapi seluruh pengertian Pasal 1 angka 29
bertentangan dengan UUD 1945,” pungkasnya.
Sementara itu,
Ryaas Rasyid dalam keterangannya menyatakan, kata “seluas-luasnya” dalam
ketentuan mengenai pemerintahan daerah dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dapat
dimaknai sebagai jaminan bahwa wewenang pemerintahan yang melekat pada daerah
otonom tidak syogianya dilucuti dengan dalih apapun melalui penarikan kembali
kewenangan dari daerah otonom ke pemerintahan pusat. “Kalau ada argumen yang
merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang otoritas negara dalam menguasai ‘Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’, sebagai alasan untuk membenarkan kebijakan
resentralisasi atas sektor tambang, mineral dan batubara, karena pemerintah
pusat dipandang sebagai satu-satunya institusi yang dapat bertindak atas nama
negara, maka jelaslah bahwa argumen itu salah kaprah,” tandas Ryaas. (Nur
Rosihin Ana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar