Sumber keuangan Pusat Investasi
Pemerintah (PIP) sebagai Badan Layanan
Umum (BLU) adalah dari APBN, dan keuntungan PIP masuk kategori pendapatan
negara bukan pajak dan merupakan bagian dari penerimaan APBN. Kekayaan Badan
Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan bagian yang
tidak dipisahkan dari APBN.
Menurut pandangan DPR, proses pembelian saham
divestasi PT NNT oleh PIP merupakan bentuk penyertaan modal. Hal ini
sebagaimana pengertian Pasal 24 ayat (2) dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. “Proses pembelian saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara oleh Pusat Investasi Pemerintah sebesar
7%, DPR RI berpandangan, ini termasuk penyertaan modal, sehingga berdasarkan UU
Nomor 17 Tahun 2003, mutlak mendapatkan persetujuan DPR RI.” Demikian Pandangan
DPR yang disampaikan oleh anggota Komisi XI Arif Budimanta di persidangan
Mahkamah Konstitusi Rabu (4/4/2012).
Sidang pleno untuk perkara nomor 2/SKLN-X/2012
mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden Republik
Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) ini mengagendakan mendengarkan keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon,
Termohon I dan Termohon II (IV). Permohononan SKLN ini diajukan oleh Presiden
melalui Menteri Keuangan dan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan sebagai Termohon 1 yaitu DPR dan
BPK sebagai Termohon II. Sebagaimana dalam
persidangan sebelumnya, Pemerintah (Pemohon) dalam permohonannya menyatakan memiliki
hak konstitusional untuk melakukan investasi dengan membeli 7% (tujuh persen)
saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) tanpa melalui persetujuan DPR
(Termohon I). Di sisi lain, DPR berpendapat, Pemerintah harus mendapat
persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum melakukan penyertaan modal.
Pengawasan Mutlak
Siswo Sujanto ahli yang dihadirkan BPK dalam
keterangannya antara lain menyatakan keberadaan PIP di Kemenkeu saat ini sangat
janggal. Alasanya, PIP sebagai BLU seharusnya bercirikan sebagai institusi
pemerintah penyedia layanan publik yang tidak berorientasi pada profit.
“Kenyataannya, sebaga lembaga investasi, PIP merupakan institusi yang
berorientasi pada pemupukan keuntungan,” kata Siswo.
Menurutnya, pembelian saham divestasi PT NNT sebesar
7% oleh Pemerintah yang dilakukan oleh PIP, harus dituangkan dalam rencana
bisnis dan anggaran PIP selaku BLU. Selanjutnya, rencana bisnis dan anggaran
PIP selaku BLU sebagai bagian dari RKA-KL Kemenkeu harus dibahas dan disetujui
oleh DPR. “Dengan demikian, pembelian saham PT NNT sebesar 7% oleh pihak
Pemohon dalam hal ini dilakukan oleh PIP harus dibahas dan disetujui terlebih
dahulu oleh DPR sebelum dilaksanakan,” tandasnya.
Ahli BPK lainnya, Muchsan, dalam keterangannya
menyatakan, pemeriksaan BPK yang dituangkan dalam Laporan hasil pemeriksaan
(LHP) BPK yang menyatakan bahwa proses pembelian saham PT NNT tahun 2010 harus
disetujui oleh DPR sesuai dengan kewenangan BPK sebagaimana diatur dalam Pasal
23E ayat (3) UUD 1945. Pembelian saham PT NNT sebesar 7% yang tidak atau belum
ada persetujuan DPR, bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu, Frans Limahelu, ahli BPK, melihat perkara
ini bukan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. “Tapi hanya soal day
to day atau housekeeping regulations,” kata Frans.
Anggito Abimanyu, ahli yang dihadirkan Mahkamah,
dalam keterangannya, sebagai saksi sejarah sekaligus pelaku yang terlibat
langsung dari proses awal divestasi PT NNT, Anggito sangat menyayangkan
terjadinya SKLN divestasi PT NNT yang mengakibatkan terganggunya kepercayaan
para pelaku usaha dan ketidakpastian iklim investasi khususnya di sektor
pertambangan umum. “Saya juga sangat menyayangkan berlarutnya penyelesaian
divestasi NNT hingga lebih dari satu tahun, hingga Indonesia telah kehilangan
kesempatan untuk memperoleh pendapatan negara, mensejahterahkan provinsi NTB
dan kabupaten sekitar,” terang Anggito.
Menurutnya,
alokasi dana investasi divestasi 7% saham NNT belum terinci dalam rencana
kegiatan investasi, rencana bisnis dan anggaran PIP 2011. Kemudian, rincian
belanja satuan kerja sub program PIP pada 2011 telah tercantum angka 1 trilyun
rupiah. Sehingga dana tersebut belum mencukupi untuk pembelian 7% saham PT NNT.
Lebih lanjut anggito menyatakan, proses pembelian saham PT NNT memerlukan
persetujuan DPR. “Saya berpendapat bahwa proses pembelian 7% saham PT NNT oleh
PIP masih memerlukan persetujuan dari komisi terkait, yaitu Komisi XI DPR RI
sebagai bagian dari kelengkapan proses persetujuan APBN 2011,” tandas Anggito.
(Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar