Penggunaan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa
pengantar dalam rangka rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) secara
filosofis ilmu pendidikan, tidak akan berpotensi menghilangkan jati diri bangsa.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara tetap menjadi bahasa pengantar
pendidikan. Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya hanya digunakan sebagai
komunikasi keilmuan yang bersifat universal dalam komunikasi sosial dan dalam
kontek pergaulan antar bangsa. Bung Karno pernah berpesan, “Internasionalisme
tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasional.”
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Udin
S. Winataputra saat bertindak sebagai ahli Pemerintah dalam persidangan yang
digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (24/4/2012) siang. Sidang kali keenam
untuk perkara 5/PUU-X/2012 uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), dimohonkan oleh Andi Akbar Fitriyadi, Nadya
Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo dan Febri
Hendri Antoni Arif. Para Pemohon yang terdiri dari orangtua murid, dosen,
aktivis pendidikan serta aktivis ICW, merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas.
Menurut mereka, Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan: “Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional,” bertentangan dengan Pembukaan, Pasal
28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat
(1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945.
Ahli Pemerintah selanjutnya, Prof. Johannes dalam
paparannya menyatakan, Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam ketentuan Pasal
35 ayat (1) UU Sisdiknas adalah berlaku sama, baik bagi satuan pendidikan
bertaraf nasional maupun internasional. Begitu pula peningkatan standar
nasional secara berencana dan berkala adalah sama bagi sekolah nasional dan
sekolah internasional. Kecerdasan bangsa dan peningkatannya pada peserta didik
satuan pendidikan bertaraf nasional dan internasional adalah sama karena
semuanya harus memenuhi SNP. “Jadi, tidak benar kalau dikatakan bahwa yang
bertaraf nasional, maka tingkat kecerdasannya itu kemudian lebih rendah
daripada yang bertaraf internasional. Karena standarnya minimalnya semuanya
sama,” tegas Johannes.
Dampak Negatif
Abdul Chaer dalam kapasitasnya sebagai ahli Pemohon,
menyatakan penggunaan bahasa Inggris pada RSBI berdampak kurang baik bagi
pembinaan bahasa. Sedangkan mengenai bahasa Inggris sebagai mata pelajaran, menurutnya,
bahasa Inggris harus dikuasai oleh anak didik dengan lebih baik. Alasannya
bukan karena gengsi, tapi karena kebutuhan keilmuan yang menggunakan pengantar bahasa
Inggris. “Yang harus dikejar bukanlah bahasa asingnya, tetapi ilmunya. Mengapa
begitu? Jepang, Korea, Cina adalah negara-negara yang sekarang sudah menjadi
raksasa. Mereka maju bukan karena bahasa asing, tapi karena mereka menguasai
ilmunya,” terangnya.
Menurut Abdul Chaer, penggunaan bahasa Inggris
sebagai salah satu bahasa pengantar di RSBI, melanggar UUD 1945. “Penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI juga memberi
dampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk membina Bahasa Indonesia,”
tandasnya.
Ahli Pemohon lainnya, Darmaningtyas, dalam paparannya
di persidangan menyatakan, tujuan RSBI atau SBI yang hanya diarahkan untuk
meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas,
perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya. “Ini sungguh
mereduksi makna konstitusi negara yang mengamanatkan pencerdasan bangsa karena
tugas pencerdasan jauh lebih tinggi daripada sekedar mengumpulkan piala atau
medali. Bila sekedar untuk mendapatkan medali tidak perlu membentuk RSBI atau
SBI,” terang Darmaningtyas.
Menurutnya, legal policy
yang mengatur pemberian hak bagi SBI untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai
pendidik sebanyak 30% dari keseluruhan jumlah pendidik, bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab guru RSBI atau SBI dari warga asing jelas
akan dibayar 10 kali lipat dari guru warga negara Indonesia. “Dengan demikian,
jelas bahwa RSBI dan/atau SBI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.,” tandas
Darmaningtyas. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar