Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Suding menilai
keberatan yang dilayangkan oleh H. Parlin Riduansyah ke Mahkamah Konstitusi (MK) bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma, melainkan masalah
penerapan norma. Dengan demikian menurut DPR hal ini bukan kewenangan MK. Suding
juga menyatakan MK tidak berwenang menilai MK putusan Mahkamah Agung (MA) yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap.
“DPR berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang untuk memeriksa dan memutusnya,” kata Sarifuddin Suding di hadapan
pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Muhammad Alim, Ahmad
Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva dan Anwar Usman, Rabu
(5/9/2012) siang di ruang sidang pleno lt 2 gedung MK. Sidang kali ketiga untuk
perkara 69/PUU-X/2012 ihwal pengujian formil UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pengujian Materiil KUHAP Pasal 197 ayat (1)
huruf k dan ayat (2), beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan
Saksi/Ahli.
Selanjutnya terkait eksekusi putusan pidana yang
dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Banjarmasin terhadap Parlin,
berdasarkan Pasal 270 KUHAP merupakan kewenangan jaksa selaku eksekutor putusan.
“Dengan demikian, tindakan jaksa tersebut bukanlah suatu tindakan aparat penegak
hukum yang sewenang-wenang,” lanjut Suding.
Menurut DPR, suatu perkara pidana yang telah melalui
penyidikan, penuntutan, disidangkan di pengadilan sampai adanya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun pada tingkat Mahkamah
Agung tidak memuat ketentuan sebagaimana di atur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf
k KUHAP, tidak bertentangan dengan prinsip due process of law.
Suding kemudian mengungkapkan hasil notulensi rapat kerja
(Raker) Komisi III dengan Kejaksaan
Agung pada 11 Juni tahun 2012 lalu. Sebagian anggota Komisi III mempermasalahkan
adanya putusan-putusan MA yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1)
huruf k KUHAP. “Penjelasan Jaksa
Agung ketika itu bahwa selama ini memang didapati beberapa putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa
ditahan atau tetap dalam tahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1)
huruf k tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Karena tidak ada yang
mempermasalahkan tentang Pasal 197 ayat (1) itu maka pihak Kejaksaan Agung tidak
mengalami kesulitan untuk melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan tersebut,”
papar Suding.
Sementara itu, keterangan Pemerintah yang disampaikan
Mualimin Abdi, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham,
menyatakan norma yang terkandung di dalam Pasal 1997 ayat (1) huruf k sudah cukup
jelas yaitu bahwa terhadap putusan yang dimohonkan adalah dalam rangka
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Senada
dengan keterangan DPR, apa yang terjadi pada diri Pemohon menurut Pemerintah merupakan
hal yang terkait dengan masalah penerapan norma. ”Oleh karena itu menurut hemat
kami, hal demikian tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan
norma dari undang-undang yang dimohonkan untuk diuji tersebut,” kata Mualimin.
Pemerintah, lanjut Mualimin, dalam keterangan yang
disampaikan secara tertulis mengutip pendapat dari seorang hakim agung yang
mengatakan bahwa di dalam putusan MA seringkali tidak mencantumkan ketentuan Pasal
1997 ayat (1) huruf k. “Namun demikian, tidak berarti bahwa putusan tersebut
tidak dapat dieksekusi,” tandas Mualimin.
Batal Substansial
Pada kesempatan ini, Pemohon menghadirkan beberapa
ahli yaitu: Yahya Harahap, Muhammad Tahir Azhary, Romli Atmasasmita, Edward
Omar Sharif Hiariej dan Mudzakkir. Yahya antara lain memberikan pendapat
terkait Putusan Kasasi MA Nomor 1444 K/Pid.Sus/2010 yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Banjarmasin. Atas pembatalan itu, MA menjatuhkan pemidanaan
kepada H.
Parlin Riduansyah. Akan tetapi, putusan Kasasi itu tidak
mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.
Menurut Yahya, putusan Kasasi Nomor 1444
K/Pid.Sus/2010 tersebut batal demi hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 197
ayat (2) KUHAP. Sifat
dan tingkat kebatalan putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan Pasal 197 ayat
(1) KUHAP adalah kebatalan demi hukum. “Kualitas
kebatalannya merupakan kebatalan yang bersifat absolut, jadi mutlak, atau
disebut juga kebatalan substansial,” kata Yahya
Kemudian, lanjut Yahya, putusan Peninjauan Kembali
(PK) MA Nomor 157PK/Pid.Sus/2011 tanggal 16 September 2011 yang menolak
permohonan PK Parlin, sama sekali tidak merubah kebatalan demi hukum Putusan
Kasasi Nomor 1444 K/Pid.Sus/2010 menjadi putusan pemidanaan yang sah menurut hukum.
“Sebab Putusan PK Nomor 157 sama sekali tidak meluruskan dan tidak mengoreksi
kesalahan pelanggaran hukum yang melekat pada Putusan Kasasi Nomor 1444/2010,” papar
Yahya.
Seperti diketahui, pengujian formil UU Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pengujian Materiil KUHAP Pasal 197
ayat (1) huruf k dan ayat (2) diajukan oleh H. Parlin Riduansyah. Pasal
197 ayat (1) huruf k menyatakan, “Surat putusan pemidanaan
memuat:..k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.” Kemudian Pasal 197 ayat (2) menyatakan, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”
Menurut
Parlin Riduansyah, Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) KUHAP mengandung
ketidakjelasan dan bersifat multi tafsir khususnya pada kata “ditahan” dan “batal
demi hukum” sehingga tidak memberikan kepastian hukum, terdapat potensi
ketidakadilan terhadap diri Parlin. Ketidakjelasan dan sifat multi tafsir ini membawa
implikasi terhadap rumusan norma Pasal 270 KUHAP, yakni apakah jaksa sebagai
eksekutor wajib menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, meskipun mereka mengetahui bahwa putusan itu “batal demi hukum”. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar