Pemerintah mempertanyakan kepentingan para pemohon sebagai
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas
berlakunya Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UU DKI Jakarta). “Apakah terdapat kerugian konstitusional para pemohon yang bersifat
spesifik atau khusus dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada
hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji?”
Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Dr. Ir.
Suhatmansyah IS, M.Si, saat menyampaikan keterangan pemerintah dalam sidang uji
materi UU DKI Jakarta yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa
(4/9/2012) siang. Sidang kali ketiga untuk perkara 70/PUU-X/2012 ihwal pengujian
Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta ini beragendakan Mendengarkan Keterangan
Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah.
Menurut pemerintah, lanjut Suhatmansyah, para pemohon
tidak dapat mengonstruksikan dengan jelas mengenai adanya kerugian
konstitusional yang dideritanya akibat berlakunya Pasal 11 ayat (2) UU DKI
Jakarta yang menyatakan: “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.”
Pemerintah berpendapat tidak ada hubungan
sebab-akibat secara langsung dengan kerugian konstitusional para pemohon karena
para pemohon bukan merupakan kandidat yang ikut bertarung dalam Pemilukada DKI 2012.
“Para pemohon tidak dalam posisi yang ditolak dan dihalang-halangi haknya
karena para pemohon bukanlah calon gubernur atau wakil gubernur yang mengikuti Pemilukada
DKI Jakarta,” terang Suhatmansyah, staf ahli Menteri Dalam Negeri bidang Hukum,
Politik dan Antar Lembaga.
Lebih jauh Suhatmansyah memaparkan, sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan yang menghormati yang bersifat khusus dan istimewa. Sebagai
perwujudan dari ketentuan tersebut, di Indonesia terdapat beberapa daerah yang
memiliki sifat kekhususan dan/atau sifat keistimewaan yang pelaksanaannya
diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri. Provinsi DKI Jakarta
sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai
ibukota NKRI dan sebagai daerah otonom, memiliki fungsi dan peran yang penting
dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan NKRI berdasarkan UUD 1945. Karena
itu perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab di
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,” papar Suhatmansyah.
Pemerintah dalam petitum meminta Mahkamah menolak
permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan
permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Kemudian, menerima keterangan
Pemerintah secara keseluruhan. Terakhir, menyatakan ketentuan Pasal 11 ayat (2)
UU DKI Jakarta tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara itu, Dr. H. Fauzi Bowo dan Mayjen (Purn)
Nachrowi Ramli selaku Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Periode
2012-2017 yang menjadi pihak terkait dalam perkara ini, melalui kuasanya, Widodo
Iswantoro, menyatakan, esensi Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta tidak mengandung
arti pembatasan terhadap kebebasaan seseorang untuk melakukan atau mewujudkan
hak-hak dasarnya. “Ketentuan a quo justru memberikan kesempatan kepada
seluruh warga masyarakat untuk mewujudkan hak-haknya dalam penentuan pilihannya
dalam Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada Putaran
Kedua, karena pada putaran pertama tidak dapat memenuhi ketentuan yang
disarankan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Undang-Undang DKI Jakarta,”
kata Widodo.
Pada persidangan kali ini, para pemohon menghadirkan
Irman Putra Sidin sebagai ahli. Irman dalam keterangannya menyatakan, ada dua
standar kebijakan hukum untuk penetapan pasangan calon terpilih gubernur dan
wakil gubernur dalam model pemilukada langsung. Untuk DKI Jakarta penetapan
pasangan terpilih harus memperoleh suara 50% lebih, sedangkan di luar daerah
khusus cukup dengan perolehan suara 30% lebih.
“Padahal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur
DKI menggunakan model yang sama dengan daerah lainnya yaitu pilkada alias
pemilihan langsung kepala daerah dengan penyelenggara yang sama yaitu Komisi
Pemilihan Umum dan pengawas yang sama serta prinsip-prinsip yang sama yaitu
menurut Pasal 22E UUD 1945,” kata Irman.
Seperti diketahui, uji materi UU DKI Jakarta ini
diajukan oleh Abdul Havid Permana, Muhammad Huda, dan Satrio Fauzia Damardjati.
Para
pemohon yang mengambil kedudukan hukum sebagai perorangan warga DKI Jakarta dan
mempunyai hak pilih dalam Pemilukada Gubernur DKI Jakarta ini merasa dirugikan dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 11 ayat (2) UU Pemerintah DKI Jakarta. Kerugian konstitusional dimaksud yaitu mengenai pelaksanaan
Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua menguras anggaran yang bersumber dari
pajak yang dibayarkan oleh para pemohon. Selain itu,
ketentuan tersebut tidak sinkron dengan Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah karena membedakan antar-Ibukota Jakarta dengan daerah lain. Sehingga
menurut pemohon, ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU DKI
Jakarta bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. (Nur
Rosihin Ana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar