Selasa, 18 September 2012

DPR: Pemberhentian Kepala Daerah untuk Menjaga Citra

DPR berpandangan ketentuan pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda, merupakan pengaturan yang tepat dan proporsional. Pemberhentian dimaksud untuk menjaga citra yang positif baik terhadap lembaga maupun jabatan publik, sehingga kinerja lembaga yang bersangkutan tidak terganggu dengan status tersangka dan/atau terpidana seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah. “Hal tersebut telah sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.”
Demikian kata Anggota Komisi III DPR Yahdil Harahap saat menyampaikan keterangan DPR di hadapan sidang pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman, Selasa (18/9/2012) bertempat di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kali ketiga untuk perkara 75/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.
Ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda khususnya pemaknaan terhadap frasa “yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih” yang menurut para pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat para pemohon untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, dalam pandangan DPR, hal tersebut merupakan asumsi dan kekhawatiran para pemohon terhadap pelaksanaan norma ketentuan Pasal 30 UU Pemda, dan bukan persoalan konstitusionalitas norma. “Hal tersebut terbukti bahwa sampai saat ini Para Pemohon dapat dengan leluasa tanpa halangan atau pun hambatan melaksanakan kegiatannya, termasuk di dalamnya melakukan upaya uji materiil undang-undang di Mahkamah Konstitusi,” dalil Yahdil.
Pada praktiknya, ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda telah dilaksanakan dan dijadikan dasar hukum untuk memberhentikan sementara maupun memberhentikan secara tetap kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih. Hal ini misalnya menimpa kepala daerah atau wakil kepala daerah yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

“Due Process of Law”
Selain untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, ketentuan pemberhentian sementara kepala daerah, wakil kepala daerah berdasarkan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda juga merupakan realisasi dari prinsip persamaan atau kesederajatan hukum. Memperkuat dalil, DPR mengutip pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 024/PUU-III/2005 pada halaman 39 yang menyatakan, “Bahwa tindakan pemberhentian sementara terhadap pejabat publik, khususnya pejabat tata usaha negara, yang didakwa melakukan tindak pidana adalah penting untuk mendukung bekerjanya due process of law (proses hukum yang adil) guna mencegah pejabat yang bersangkutan melalui jabatannya mempengaruhi proses pemeriksaan atau tuntutan hukum yang didakwakan kepadanya. Atau sebaliknya, mencegah penegak hukum terpengaruh oleh jabatan terdakwa sebagai kepala daerah dalam budaya hukum yang bersifat ewuh pakewuh. Dengan demikian, pemberhentian sementara justru merealisasikan prinsip persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”
“DPR RI berpandangan ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tandas Yahdil.
Sementara itu, keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh, SH, MH. menyatakan maksud pembentukan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda lebih ditujukan kepada tindak pidana umum. Sedangkan untuk tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi, makar, terorisme, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda.
“Hal ini perlu kami sampaikan ke dalam sidang yang mulia ini karena di dalam permohonan para pemohon seolah-olah pemberhentian Agusrin Najamudin didasarkan pada Pasal 30 ini. Padahal di dalam praktik pemerintahan, pemberhentian sementara kasus-kasus tindak pidana korupsi didasarkan pada Pasal 31 Undang-Undang a quo dan Pasal 127 PP Nomor 6 Tahun 2005,” terang Zudan.
Oleh karena itu, lanjutnya, menurut Pemerintah, dalam memaknai Pasal-Pasal UU Pemda harus juga melihat kepada peraturan pelaksanaannya yaitu PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, dan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Untuk diketahui, permohonan judicial review Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda ini diajukan oleh Zainal Arifin Mochtar dan Feri Amsari, serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Pasal 30 ayat (1) menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.”
Pasal 30 Ayat (2) menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” (Nur Rosihin Ana).

Pesona Wisata Karimun Jawa Jepara
SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More