DPR berpandangan ketentuan pemberhentian sementara hingga
pemberhentian tetap bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda, merupakan pengaturan yang
tepat dan proporsional. Pemberhentian dimaksud untuk menjaga citra yang positif
baik terhadap lembaga maupun jabatan publik, sehingga kinerja lembaga yang
bersangkutan tidak terganggu dengan status tersangka dan/atau terpidana seorang
kepala daerah atau wakil kepala daerah. “Hal tersebut telah sejalan dengan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.”
Demikian kata Anggota Komisi III DPR Yahdil Harahap saat
menyampaikan keterangan DPR di hadapan sidang pleno hakim konstitusi Moh.
Mahfud MD (ketua pleno), Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil
Sumadi, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman, Selasa (18/9/2012) bertempat di ruang
sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kali ketiga untuk perkara 75/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 30 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), beragendakan
mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.
Ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda
khususnya pemaknaan terhadap frasa “yang diancam pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun atau lebih” yang menurut para pemohon telah menimbulkan
ketidakpastian hukum dan menghambat para pemohon untuk berpartisipasi aktif
dalam menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, dalam pandangan DPR, hal
tersebut merupakan asumsi dan kekhawatiran para pemohon terhadap pelaksanaan
norma ketentuan Pasal 30 UU Pemda, dan bukan persoalan konstitusionalitas norma.
“Hal tersebut terbukti bahwa sampai saat ini Para Pemohon dapat dengan leluasa
tanpa halangan atau pun hambatan melaksanakan kegiatannya, termasuk di dalamnya
melakukan upaya uji materiil undang-undang di Mahkamah Konstitusi,” dalil
Yahdil.
Pada praktiknya, ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan
ayat (2) UU Pemda telah dilaksanakan dan dijadikan dasar hukum untuk
memberhentikan sementara maupun memberhentikan secara tetap kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih. Hal ini misalnya
menimpa kepala daerah atau wakil kepala daerah yang terbukti melakukan tindak
pidana korupsi.
“Due Process of Law”
Selain untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan
bersih, ketentuan pemberhentian sementara kepala daerah, wakil kepala daerah
berdasarkan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda juga merupakan realisasi
dari prinsip persamaan atau kesederajatan hukum. Memperkuat dalil, DPR mengutip
pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 024/PUU-III/2005 pada halaman
39 yang menyatakan, “Bahwa tindakan pemberhentian sementara terhadap pejabat
publik, khususnya pejabat tata usaha negara, yang didakwa melakukan tindak pidana
adalah penting untuk mendukung bekerjanya due process of law (proses
hukum yang adil) guna mencegah pejabat yang bersangkutan melalui jabatannya mempengaruhi
proses pemeriksaan atau tuntutan hukum yang didakwakan kepadanya. Atau
sebaliknya, mencegah penegak hukum terpengaruh oleh jabatan terdakwa sebagai
kepala daerah dalam budaya hukum yang bersifat ewuh pakewuh. Dengan
demikian, pemberhentian sementara justru merealisasikan prinsip persamaan atau
kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1)
maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”
“DPR RI berpandangan ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,”
tandas Yahdil.
Sementara itu, keterangan Pemerintah yang
disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Prof Dr Zudan Arif
Fakrulloh, SH, MH. menyatakan maksud pembentukan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2)
UU Pemda lebih ditujukan kepada tindak pidana umum. Sedangkan untuk tindak
pidana khusus seperti tindak pidana korupsi, makar, terorisme, dan/atau tindak
pidana terhadap keamanan negara, diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU
Pemda.
“Hal ini perlu kami sampaikan ke dalam sidang yang
mulia ini karena di dalam permohonan para pemohon seolah-olah pemberhentian
Agusrin Najamudin didasarkan pada Pasal 30 ini. Padahal di dalam praktik
pemerintahan, pemberhentian sementara kasus-kasus tindak pidana korupsi didasarkan
pada Pasal 31 Undang-Undang a quo dan Pasal 127 PP Nomor 6 Tahun 2005,” terang
Zudan.
Oleh karena itu, lanjutnya, menurut Pemerintah,
dalam memaknai Pasal-Pasal UU Pemda harus juga melihat kepada peraturan
pelaksanaannya yaitu PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, dan
pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Untuk diketahui, permohonan judicial review Pasal
30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda ini diajukan oleh Zainal Arifin Mochtar dan
Feri Amsari, serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Pasal 30 ayat (1)
menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara
oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak
pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih
berdasarkan putusan pengadilan.”
Pasal 30 Ayat (2) menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” (Nur Rosihin Ana).
SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar