Kamis, 13 September 2012

MK Tegaskan Pemilukada DKI Jakarta Putaran Kedua Konstitusional

Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan mengenai pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) putaran kedua dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI Jakarta) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan ketentuan mengenai “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), …” dalam Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta yang ditentukan sebagai syarat untuk diadakannya pemilihan putaran kedua, Mahkamah menemukan fakta bahwa ketentuan tersebut memang berbeda dengan ketentuan Pasal 107 UU Pemda yang mengatur kondisi/prasyarat dilaksanakannya pemilihan putaran kedua.
UU Pemda (UU 32/2004 dan perubahannya) mengatur bahwa pasangan terpilih adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen); apabila tidak ada yang memperoleh lebih dari 50% maka pasangan calon yang memperoleh suara terbesar di atas 30% (tiga puluh persen) dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih; jika terdapat lebih dari satu pasangan calon yang menempati peringkat teratas perolehan suara di atas 30%, maka penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas; apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30% maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti pemenang pertama dan pemenang kedua; apabila pemenang pertama terdiri dari tiga pasangan calon maka penentuan peringkat pertama dan kedua ditentukan berdasar wilayah perolehan suara yang lebih luas; dan apabila pemenang kedua terdiri lebih dari satu pasangan calon maka penentuannya berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
Hal tersebut menunjukkan perbedaan antara kedua undang-undang, yaitu UU DKI Jakarta dengan UU Pemda, yang mengatur hal sama secara berbeda mengenai ketentuan perolehan suara pasangan calon sebagai penentu dilaksanakannya pemilihan putaran kedua. Perbedaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama yang dijamin oleh konstitusi yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena perbedaan tersebut dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yaitu pengaturan terhadap daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa.
Menurut Mahkamah permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 11 ayat (2) UU DKI tidak beralasan menurut hukum. Sehingga dalam amar putusan Mahkamah menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh Abdul Havid Permana, Muhammad Huda, dan Satrio Fauzia Damardjati.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” kata ketua pleno hakim konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi anggota pleno Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, saat membacakan putusan nomor 70/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta, Kamis (13/9/2012) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung MK.
Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta menyatakan: “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.”
Kekhasan DKI Jakarta
Mahkamah perpendapat, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengakui sekaligus menghormati daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang pengaturannya bersifat khusus dan berbeda dengan daerah lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (8), Pasal 225, Pasal 226 ayat (1) UU Pemda. “Ketentuan dalam UU Pemda berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri, dalam hal ini UU 29/2007,” kata hakim konstitusi Anwar Usman membacakan poin Pendapat Mahkamah dalam putusan uji materi UU DKI Jakarta.
Mengenai pemberian status khusus dan istimewa terhadap suatu daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mengutip Putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010 bertanggal 2 Maret 2011, yang antara lain mempertimbangkan penentuan kekhususan suatu daerah didasarkan pada kriteria adanya kenyataan dan kebutuhan politik yang mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. “Adapun jenis dan ruang lingkup kekhususan tersebut harus bersifat fleksibel ditetapkan oleh pembentuk undang-undang sebagai pilihan politik hukum terbuka, sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya kekhususan bagi daerah yang bersangkutan,” lanjut Anwar Usman.
Mahkamah juga mengutip Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU-VI/2008, bertanggal 5 Agustus 2008, mengenai pengujian Pasal 5 UU 29/2007 yang menyatakan, “Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional”.
Selain itu, kekhasan Provinsi DKI Jakarta juga diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU DKI Jakarta yang menyatakan, “Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selanjutnya disingkat Provinsi DKI Jakarta, adalah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Syarat 50% Lebih
Provinsi DKI Jakarta adalah daerah provinsi yang memiliki banyak sekali aspek dan kondisi bersifat khusus yang berbeda dengan daerah lainnya, sehingga memerlukan pengaturan yang bersifat khusus. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kekhususan Provinsi DKI Jakarta mengenai syarat keterpilihan Gubernur yang mengharuskan perolehan suara lebih dari 50% suara sah, dan apabila tidak ada yang mencapainya maka dilaksanakan pemilihan putaran kedua, adalah kekhususan yang masih dalam ruang lingkup dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Penentuan persyaratan demikian merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy atau optionally constitutional) yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Menyandarkan penentuan besaran prosentase perolehan suara tersebut hanya kepada argumen kondisi multikultural dan tingkat legitimasi, sebagai sebuah kekhususan, adalah dapat dipahami tetapi tidak sepenuhnya tepat. Artinya ada juga alasan-alasan lain yang mendasari hal tersebut. Kondisi multikultural secara relatif terdapat pada semua wilayah pemerintahan. Legitimasi juga dibutuhkan oleh pemerintahan dalam semua kondisi, baik multikultural ataupun tidak, sehingga sebenarnya tidak ada korelasi secara langsung dengan keharusan prosentase perolehan suara lebih dari 50%.
Apalagi sejauh ini menurut Mahkamah belum dapat dijelaskan parameter multikultural dalam kaitannya dengan besaran (perolehan) suara yang dapat memberikan legitimasi kepada pasangan calon terpilih dalam Pemilukada. Menurut Mahkamah, penentuan prosentase yang lebih besar untuk keterpilihan kepala daerah Provinsi DKI Jakarta harus pula dilihat pada seluruh aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang spesifik (khusus) sebagaimana telah diuraikan di atas, antara lain tidak adanya DPRD kabupaten/kota di wilayah pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, serta Walikota/Wakil Walikota dan Bupati/Wakil Bupati yang ditetapkan tanpa melalui pemilihan umum. (Nur Rosihin Ana)
SIOS WISATA.com
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More