Mahkamah menegaskan
bahwa ketentuan mengenai pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) putaran
kedua dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UU DKI Jakarta) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan
ketentuan mengenai “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), …” dalam
Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta yang ditentukan sebagai syarat untuk diadakannya
pemilihan putaran kedua, Mahkamah menemukan fakta bahwa ketentuan tersebut
memang berbeda dengan ketentuan Pasal 107 UU Pemda yang mengatur kondisi/prasyarat
dilaksanakannya pemilihan putaran kedua.
UU Pemda
(UU 32/2004 dan perubahannya) mengatur bahwa pasangan terpilih adalah pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari
50% (lima puluh persen); apabila tidak ada yang memperoleh lebih dari 50% maka
pasangan calon yang memperoleh suara terbesar di atas 30% (tiga puluh persen)
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih; jika terdapat lebih dari satu
pasangan calon yang menempati peringkat teratas perolehan suara di atas 30%,
maka penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan
suara yang lebih luas; apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara
lebih dari 30% maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti pemenang
pertama dan pemenang kedua; apabila pemenang pertama terdiri dari tiga pasangan
calon maka penentuan peringkat pertama dan kedua ditentukan berdasar wilayah
perolehan suara yang lebih luas; dan apabila pemenang kedua terdiri lebih dari
satu pasangan calon maka penentuannya berdasarkan wilayah perolehan suara yang
lebih luas.
Hal
tersebut menunjukkan perbedaan antara kedua undang-undang, yaitu UU DKI Jakarta
dengan UU Pemda, yang mengatur hal sama secara berbeda mengenai ketentuan
perolehan suara pasangan calon sebagai penentu dilaksanakannya pemilihan
putaran kedua. Perbedaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip perlakuan
yang sama yang dijamin oleh konstitusi yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
karena perbedaan tersebut dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (1)
UUD 1945, yaitu pengaturan terhadap daerah-daerah yang bersifat khusus dan
istimewa.
Menurut
Mahkamah permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 11 ayat (2) UU DKI tidak
beralasan menurut hukum. Sehingga dalam amar putusan Mahkamah menyatakan
menolak permohonan yang diajukan oleh Abdul Havid Permana, Muhammad Huda, dan
Satrio Fauzia Damardjati.
“Amar putusan,
mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” kata ketua pleno hakim
konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi anggota pleno Achmad Sodiki, Hamdan
Zoelva, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M. Akil
Mochtar, dan Muhammad Alim, saat membacakan putusan nomor 70/PUU-X/2012 ihwal
pengujian Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta, Kamis (13/9/2012) di ruang sidang
pleno lt. 2 gedung MK.
Pasal 11
ayat (2) UU DKI Jakarta menyatakan: “Dalam hal tidak ada pasangan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang
diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
pada putaran pertama.”
Kekhasan
DKI Jakarta
Mahkamah
perpendapat, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengakui sekaligus
menghormati daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang pengaturannya
bersifat khusus dan berbeda dengan daerah lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal
2 ayat (8), Pasal 225, Pasal 226 ayat (1) UU Pemda. “Ketentuan dalam UU Pemda
berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sepanjang tidak diatur
secara khusus dalam undang-undang tersendiri, dalam hal ini UU 29/2007,” kata
hakim konstitusi Anwar Usman membacakan poin Pendapat Mahkamah dalam putusan uji
materi UU DKI Jakarta.
Mengenai pemberian
status khusus dan istimewa terhadap suatu daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18B
ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mengutip Putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010 bertanggal
2 Maret 2011, yang antara lain mempertimbangkan penentuan kekhususan suatu
daerah didasarkan pada kriteria adanya kenyataan dan kebutuhan politik yang mengharuskan
suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah
lainnya. “Adapun jenis dan ruang lingkup kekhususan tersebut harus bersifat
fleksibel ditetapkan oleh pembentuk undang-undang sebagai pilihan politik hukum
terbuka, sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya kekhususan bagi daerah yang
bersangkutan,” lanjut Anwar Usman.
Mahkamah
juga mengutip Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU-VI/2008, bertanggal 5 Agustus 2008,
mengenai pengujian Pasal 5 UU 29/2007 yang menyatakan, “Provinsi DKI Jakarta
berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki
kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara
asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional”.
Selain
itu, kekhasan Provinsi DKI Jakarta juga diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU DKI
Jakarta yang menyatakan, “Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selanjutnya
disingkat Provinsi DKI Jakarta, adalah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia.”
Syarat
50% Lebih
Provinsi DKI Jakarta adalah daerah provinsi yang memiliki banyak sekali aspek dan kondisi
bersifat khusus yang berbeda dengan daerah lainnya, sehingga memerlukan pengaturan yang bersifat
khusus. Oleh karena itu,
menurut
Mahkamah kekhususan Provinsi DKI Jakarta mengenai syarat keterpilihan Gubernur yang
mengharuskan perolehan suara lebih dari 50% suara sah, dan apabila tidak ada yang mencapainya maka
dilaksanakan pemilihan putaran
kedua, adalah kekhususan yang masih dalam ruang lingkup dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Penentuan persyaratan demikian merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy atau
optionally constitutional) yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Menyandarkan
penentuan besaran prosentase perolehan suara tersebut hanya kepada argumen kondisi multikultural
dan tingkat legitimasi, sebagai
sebuah kekhususan, adalah dapat dipahami tetapi tidak sepenuhnya tepat. Artinya ada juga alasan-alasan
lain yang mendasari hal tersebut. Kondisi multikultural secara relatif terdapat pada semua
wilayah pemerintahan. Legitimasi juga dibutuhkan oleh pemerintahan dalam semua kondisi, baik
multikultural ataupun tidak, sehingga sebenarnya tidak ada korelasi secara langsung dengan
keharusan prosentase perolehan suara lebih dari 50%.
Apalagi sejauh ini menurut
Mahkamah belum dapat dijelaskan parameter
multikultural dalam kaitannya dengan besaran (perolehan)
suara yang dapat memberikan legitimasi kepada pasangan calon terpilih dalam Pemilukada. Menurut Mahkamah, penentuan
prosentase yang lebih besar untuk keterpilihan
kepala daerah Provinsi DKI Jakarta harus pula dilihat pada seluruh aspek yang terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang spesifik
(khusus) sebagaimana telah diuraikan di atas, antara lain tidak adanya DPRD kabupaten/kota di wilayah
pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, serta
Walikota/Wakil Walikota dan Bupati/Wakil Bupati yang ditetapkan tanpa melalui pemilihan umum. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar