Tajul Muluk Alias H. Ali Murtadha, pemimpin Syi’ah
di Sampang, Madura, melalui kuasa hukumnya, Iqbal Tawakkal Pasaribu memaparkan
perbaikan permohonan tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (28/9/2012). Persidangan
untuk perkara yang diregistrasi dengan Nomor 84/PUU-X/2012 ihwal Pengujian
Pasal 156a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juncto
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama, semula diajukan oleh Tajul Muluk, Hassan Alaydrus,
Ahmad Hidayat, dan Umar Shahab. Pada persidangan kali ini, Tajul Muluk dkk melalui
kuasanya menambahkan satu orang pemohon yaitu, Sebastian Joe. Sehingga jumlah
pemohon menjadi 5 orang.
Iqbal Tawakkal Pasaribu menuturkan Sebastian Joe saat
ini sedang menjalani proses pidana dengan tuduhan penodaan agama melalui
posting tulisan di situs jejaring sosial facebook. “Pemohon 5 (Sebastian Joe) menyampaikan
pendapatnya dalam situs facebook yang telah dituduh dan didakwa melakukan
perbuatan pidana sebagaimana dalam Pasal 156a KUHP dan sedang menjalani proses
hukum pidana,” kata Iqbal.
Pasal 156a KUHP menyatakan, “Dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Iqbal, unsur-unsur yang terkandung dalam
Pasal 156a KUHP tersebut tidak memiliki kejelasan maksud yang pasti. Selain itu,
tidak ada tolok ukur yang jelas dan baku mengenai apa yang dimaksud permusuhan,
penyalahgunaan, dan penodaan. “Sehingga siapa saja yang mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan di muka umum, terlebih-lebih manakala perspektif
berfikirnya berbeda dengan perspektif berfikir mayoritas masyarakat di mana dia
tinggal, sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran, dan
penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan pasal tersebut,” dalil Iqbal.
Di sisi yang lain, lanjut Iqbal, UUD 1945 menjamin
kebebasan beragama dan beribadah menurut agamanya, berserikan dan berkumpul,
serta mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan. Sehingga menurutnya Pasal
156a KUHP mengandung ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak
konstitusional para Pemohon yang dijamin dan dilingungi oleh Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 156a KUHP tersebut mengandung muatan
norma secara luas dan multitafsir, sehingga tidak memiliki kepastian hukum pada
unsur-unsur pasal tersebut. Unsur-unsur tentang “di muka umum” dalam Pasal 156a
KUHP dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memiliki penjelasan
mengenai pengertian “di muka umum”. Sehingga suatu perbuatan di muka umum
sangat bersifat objektif dan tidak dapat diukur. Dampaknya, ketika sekelompok
kerabat keluarga melakukan kajian dan diskusi di mushalla terkait masalah agama
yang sama dengan pandangan berbeda dengan kelompok mayoritas, dapat dikatakan
dan ditafsirkan sebagai “di muka umum”. “Padahal penyampaian pikiran dapat saja
dalam lingkungan pribadinya sebagaimana yang dialami Pemohon I dan Pemohon V.
Hal tersebut terjadi karena tidak ada pengertian yang jelas dan yang memberikan
kepastian hukum terhadap unsur ‘di muka umum’,” lanjut Iqbal.
Selain itu, unsur-unsur Pasal 156a KUHP tersebut tidak
memiliki kepastian hukum dalam hal siapa yang memiliki kewenangan dan bagaimana
cara menilai tentang ajaran, perasaan atau perbuatan seseorang, kelompok orang,
organisasi sesat, atau menyimpang, atau dianggap melencengkan dari suatu agama.
Sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang bersifat permusuhan,
penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
atau perasaan atau perbuatan yang bermaksud agar supaya orang tidak menganut
apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementera dalam
realitasnya, terdapat berbagai paham, mazhab, aliran pikiran dalam satu agama
yang dianut di Indonesia.
“Perbedaan Paham, mazhab, dalam satu agama tidak
semata-mata hanya terdapat dalam agama Islam. Agama-agama lain selain Islam
juga terdapat aliran, paham, mazhab yang kesemuanya adalah sebuah keniscayaan
sebagai akibat terbatasnya pemahaman umat manusia terhadap wahyu, doktrin dan
ajaran agama yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian seorang
atau kelompok orang, organisasi kapan saja dapat dikenakan tuduhan melanggar
Pasal 156a KUHP,” papar Iqbal. (Nur Rosihin Ana)
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES