Catatan Perkara MK
Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi
massa (ormas) dan tokoh nasional, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) ke Mahkamah Konstitusi
(MK), kamis (29/3/2012) siang. Ormas-ormas dimaksud yaitu: Lajnah Siyasiyah
Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat
Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan
Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah,
Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, dan
Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK).
Sedangkan Pemohon perorangan yaitu: K.H. Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan,
Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal
Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi M, HM. Ali
Karim OEI, Adhi Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode
Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Masgehun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis,
Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, BA, Mohammad Hatta, M.
Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M
Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah.
Para Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 19 dan 23,
Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat
(2), Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas. Menurut para Pemohon, Pasal 1 angka 19 dan
23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 dan
Pasal 44 UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Kemudian Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal
11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan, pembentukan UU Migas
adalah desakan internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas.
Reformasi sektor energi antara lain menyangkut (1) reformasi harga energi dan
(2) reformasi kelembagaan pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya
berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi
dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk
merambah bisnis migas di Indonesia. Sehingga monopoli pengelolaan Migas melalui
Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU No. 8 Tahun
1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi berpindah ke
konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas.
Pengelolaan Migas sejak berlakunya UU Migas
menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) atau disebut juga sebagai Kontrak
Karya. Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut
sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq. Menteri ESDM
sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 6 UU Migas.
Pasal 1 angka 19 UU Migas mengatur bahwa ”Kontrak
Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam
kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Frasa ”bentuk kontrak
kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas telah menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya tersebut. Hal ini jelas
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu frasa “dikendalikan
melalui Kontrak Kerja Sama” menunjukan adanya penggunaan sistem kontrak dalam
pengendalian pengelolaan migas yang multitafsir tersebut. Keadaan yang demikian
ini maka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat umum yang berlaku
dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan asas proporsionalitas kepada negara.
BP Migas Bukan Operator
Lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas) adalah atas perintah Pasal 4 ayat (3) UU
Migas yang menyatakan ”Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk
Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23” menjadikan konsep Kuasa
Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini dikarenakan BP Migas yang
bertugas mewakili negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas
sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 44 UU Migas.
BP Migas bukan operator (badan usaha) namun hanya
berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga kedudukannya tidak dapat
melibatkan secara langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. BP
Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak
bisa menjual minyak bagian negara sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan
BBM/BBG dalam negeri. Ini membuktikan bahwa kehadiran BP Migas menbonsai Pasal
33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan
menjadikan makna ”dikuasai negara” yang telah ditafsirkan dan diputuskan oleh
Mahkamah menjadi kabur dikarenakan tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara
yakni mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara
keseluruhan, hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional.
Kedudukan BP Migas yang mewakili pemerintah dalam
kuasa pertambangan tidak memiliki Komisaris/pengawas. Padahal BP Migas adalah
BHMN, jelas ini berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas
dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak
kepada cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas. Kekuasaan
yang sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008 potensi
kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tidak
tepat mencapai Rp 345,996 Triliun rupiah per tahun atau 1,7 milliar tiap hari.
Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan17 kasus ketidaktepatan
pembebanan cost recovery yang pasti akan merugikan negara yang tidak
sedikit.
Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas dan Gas
Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha
dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yang
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan
transparan”. Pasal ini menunjukan bahwa walaupun Mahkamah telah memutus Pasal
28 ayat (2) tentang penetapan ”Harga Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi
diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal
3 huruf b yang merupakan jantung dari UU tersebut belum dibatalkan secara
bersamaan dengan putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003. Oleh sebab itu para
Pemohon merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal tersebut.
Pasal 9 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kegiatan
Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2
dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik
Daerah; c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha
Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat” didalam
Pasal 9 jelas telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3),
dikarenakan Pasal ini menunjukan bahwa Badan Usaha Milik Negara (Pertamina)
hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan migas. Jadi, BUMN harus
bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola migas. Konstruksi demikian
dapat melemahkan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang
menguasai hajat hidup orang banyak.
Pasal 10 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan
Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat
melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kepada setiap
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2)
dalam hal badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah
kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.”
Norma-norma ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya
alam (dalam hal ini Migas) dikarenakan Pertamina harus melakukan pemecahan
organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga
menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan cost
dan profitnya masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya persaingan
terbuka dan bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yang
menguntungkan, namun merugikan bagi rakyat.
Pengaturan yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (2)
UU Migas telah mengingkari Pasal 1 ayat (2), Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945. Sebab memosisikan DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam
setiap KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia. Selain
itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya KKS dalam
Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani, tampaknya hal itu telah
mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam,
dalam fungsi toezichthoudensdaad yang ditujukan dalam rangka mengawasi
dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas sumber-sumber
kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat.
Kedaulatan Migas
Kesimpulannya, UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara,
kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga
menjadikan suatu UU yang dzalim terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas yang
merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk dapat
memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’. Negara
seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata
harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh
Pemerintah dengan korporasi-korporasi internasional tak ubahnya seperti
membentuk konstitusi di atas UUD 1945 yang merupakan konstitusi bagi
seluruh bangsa Indonesia.
Para Pemohon menuntut kepada Mahkamah agar mengabulkan
seluruh permohonan, yaitu menyatakan Pasal 1 angka 19 dikarenakan frasa ”Bentuk
Kerja Sama lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang diselenggarakan
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”, Pasal 6
dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” UU Migas
bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan
(3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal 4
ayat (3), Pasal 9 dikarenakan frasa ”dapat”, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 UU
Migas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Selain itu, menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan (3)
UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terakhir, menyatakan UU Migas
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.
Nur Rosihin Ana