Pendidikan
merupakan kebutuhan setiap orang untuk meningkatkan kapasitas dirinya dan juga
menjadi bagian dari indikator kemajuan suatu bangsa sehingga Negara harus
berperan dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Pengelolaan perguruan tinggi secara otonom berarti pengelolaan oleh
lembaga yang bersangkutan secara mandiri, dan bukan oleh pemerintah. “Dapat diartikan
pula sebagai bibit awal dari liberalisasi pendidikan.”
Demikian dikatakan Presiden Keluarga Mahasiswa
Universitas Andalas, Azmy Uzandy, dalam persidangan uji materi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), Selasa (21/11/2012) siang. Persidangan dengan
agenda pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 111/PUU-X/2012
dilaksanakan di dua tempat yang berbeda dengan menggunakan teknologi video
conference yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Panel Hakim Konstitusi Hamdan
Zoelva (ketua panel), Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi yang berada di ruang
sidang pleno lt. 2 gedung MK memeriksa para pemohon yang berada di Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Permohonan uji
materi UU Dikti diajukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa
Universitas Andalas (BEM KM UNAND). Sedangkan materi UU Dikti yang diujikan
yaitu Pasal 50, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, dan Pasal 90.
Azmy melanjutkan, liberalisasi pendidikan merupakan
akar masalah dari UU DIkti. Liberalisasi pendidikan berimplikasi pada biaya
yang ditanggung oleh mahasiswa selama proses pembelajaran di universitas dan
juga status kepegawaian dari para pekerja yang ada di lingkungan universitas
yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 65 UU Dikti menyatakan bahwa penyelenggaraan
otonomi perguruan tinggi diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja
oleh menteri kepada PTN dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan
Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum. Pada Pasal 65 ayat (3)
dinyatakan, perguruan tinggi diberi wewenang mendirikan badan usaha dan
mengembangkan dana abadi.
“Apa parameter untuk menyeleksi perguruan tinggi
tersebut dan bagaimana sistem pengawasan setelah menjadi Badan Layanan Umum
atau berbadan hukum?” tanya Azmy.
Menurut Azmy yang tercatat sebagai mahasiswa semester
VII Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Pasal 74
dan Pasal 76 UU Dikti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 31 ayat
(134) UUD 1945. Pasal 76 ayat (1), menjelaskan tentang pemenuhan hak mahasiswa
yang kurang mampu secara ekonomi. Pemenuhan dimaksud dilaksanakan oleh Pemerintah
dengan memberikan pinjaman dana pendidikan tanpa bunga.
Sistem pinjaman seperti ini merupakan bentuk lepas
tangan, lepas tanggung jawab negara atau pemerintah untuk menjamin akses
terhadap pendidikan tinggi. Sistem ini merupakan adopsi sistem pembiayaan
pendidikan yang digunakan oleh negara seperti Amerika Serikat atau negara
liberal yang terbukti telah gagal untuk menegakkan hak atas pendidikan warga
negaranya.
“Kredit bagi mahasiswa seharusnya hanyalah digunakan
untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa, tapi tidak untuk membiayai
operasional pendidikan,” dalil Azmy.
Kemudian, Pasal 90 UU Dikti bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Sebab, Pasal 90 UU Dikti mengizinkan
perguruan tinggi asing atas persetujuan menteri, membuka cabangnya di
Indonesia. Hal yang dikritisi BEM KM Unand adalah motif yang ada di baliknya.
Jika hanya pelaksanaan kerja sama dengan pihak luar, maka tidak mengharuskan adanya
entitas perguruan tinggi asing yang dibangun dalam negeri, mengingat kondisi
pendidikan dalam negeri masih jauh dari kata setara dan tanpa ada visi nasional
yang jelas. “Hal ini dapat menyebabkan pendidikan tinggi terseret mekanisme
pasar dan hanya menghasilkan kuli-kuli terdidik,” papar Azmy.
Selain itu, pembukaan perguruan tinggi asing di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari akulturasi ideologi tertentu. Upaya kerja
sama perguruan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang
penelitian tercantum dalam Pasal 47 dan kerja sama internasional dalam Pasal 50
juga menjadi hal yang harus mendapatkan perhatian. “Kerja sama yang dibangun
haruslah kerja sama yang sesuai dengan
kepentingan nasional,” tambanya.
Dampak UU Dikti, terang Azmy, yaitu pertama,
kenaikan biaya pendidikan karena otonomi
tanpa pengawasan dana regulasi yang
jelas. Kedua, terancamnya nilai-nilai luhur Indonesia akibat pencampuran budaya
asing yang masuk ke Indonesia oleh perguruan tinggi asing. Ketiga, Indonesia
akan menjadi tamu di wilayah sendiri karena kalah bersaing dengan perguruan
tinggi asing. Keempat, berubahnya fokus perguruan tinggi dari mencerdaskan
bangsa menjadi perguruan tinggi yang fokus mencari profit untuk pemenuhan biaya
operasional semata.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, BEM KM Unand dalam
petitum meminta Mahkamah menyatakan Pasal 50, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, dan
Pasal 90 UU Dikti bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
dan Pasal 31 ayat (1), (3), (4). “Oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat,” pinta Azmi.
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Harjono menyarankan
pemohon memperjelas argumentasi pasal-pasal yang diujikan. Hakim Konstitusi
Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan pemohon memperjelas kedudukan hukum (legal
standing). Sebab, uji materi UU Dikti dimohonkan oleh perorangan WNI yaitu: Azmy
Uzandy, Khairizvan Edwar, Ilham Kasuma, Mida Yulia Murni, Ramzanjani, dan Ari
Wirya Dinata. Tapi belakangan muncul BEM KM Unand sebagai pemohon. “Saudara
mengajukan ini sebagai perorangan? Kalau sebagai perorangan warga negara
Indonesia, mengapa BEM KM (Unand) ditulis? Apa kaitannya perorangan dengan BEM
itu?” tanya Fadlil.
Oleh karena itu, Ketua Panel Hakim Konstitusi Hamdan
Zoelva menasihati pemohon agar menyusun ulang permohonan. “Ini permohonannya
bisa merupakan permohonan yang kabur. Kalau permohonan kabur, di Mahkamah
Konstitusi tidak akan diperiksa dan dinyatakan permohonannya kabur,” terang
Hamdan. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar