Filosofi dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD)
adalah sebagai pelaksanaan amanat Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Kemudian pendidikan yang
dikehendaki Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dijabarkan dengan UU Sisdiknas yaitu
pendidikan yang bermutu dan tidak diskriminatif yang tercermin dalam Pasal 3
dan Pasal 4 ayat (1) UU Sisdiknas.
Ketentuan Pasal 8 UUGD merupakan ketentuan yang
mengatur persyaratan kualifikasi akademik yang harus dimiliki oleh semua guru
tanpa diskriminasi. Kemudian rumusan norma Pasal 9 UUGD sangat jelas dan tidak
menimbulkan penafsiran lain. Pasal 9 UUGD sama sekali tidak dimaksudkan untuk
mengatur mengenai jalur pengadaan guru dengan latar belakang sarjana (S1) atau diploma
empat (D4) kependidikan dan S1 atau D4 non-kependidikan, melainkan hanya
mengatur mengenai kualifikasi akademik yang harus dipenuhi oleh calon guru,
yaitu berpendidikan S1 atau D4.
“Norma ketentuan Pasal 9 a quo juga tidak
akan menghalang-halangi atau berpotensi menghalangi atau mengurangi hak para pemohon
yang saat ini berstatus mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
untuk berprofesi sebagai guru.”
Demikian dikatakan Anggota Komisi III DPR Sarifuddin
Sudding saat menyampaikan keterangan DPR atas uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen (UUGD) di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (29/11/2012)
siang. Persidangan kali ketiga untuk perkara Nomor 95/PUU-X/2012 beragendakan
mendengar keterangan DPR, Pemerintah, serta keterangan ahli.
Lebih lanjut Sarifuddin Sudding di hadapan pleno
hakim konstitusi Achmad Sodiki (ketua pleno), Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad
Alim, M. Akil Mochtar dan Anwar Usman, menyatakan, di samping wajib memenuhi
persyaratan kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUGD, guru
juga wajib memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi keprofesionalan yang diperoleh melalui pendidikan
profesi.
Menurut Sudding, pendidikan profesi guru dapat
diikuti oleh lulusan S1 atau D4 kependidikan maupun S1 atau D4 non-kependidikan.
Adapun alasan membuka kesempatan bagi S1 atau D4 non-kependidikan mengikuti
pendidikan profesi guru, yaitu memberikan kesempatan yang sama pada setiap
warga negara yang memiliki kualifikasi akademik untuk dapat mengikuti pendidikan
profesi guru dan memberika kesempatan yang sama untuk memilih profesi sebagai
guru.
Dengan demikian, terbukanya jalan bagi lulusan S1
atau D4 IV non-kependidikan untuk mengikuti pendidikan profesi guru, tidak
menutup atau menghambat peluang bagi lulusan S1 atau D4 kependidikan untuk
mengikuti pendidikan profesi guru. “Hal tersebut tentunya sejalan dengan nilai
konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1),
dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tandas Sudding.
Sementara itu, Pemerintah dalam keterangannya yang
disampaikan Lydia Freyani Hawadi menyatakan,
anggapan adanya kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 9 UUG, merupakan
kekhawatiran para pemohon yang berlebihan. Para Pemohon dapat mengikuti program
pendidikan profesi guru pada perguruan tinggi yang memiliki lembaga pendidikan
tenaga kependidikan tanpa hambatan setelah menyelesaikan pendidikan S1 atau D4.
“Tidak ada satu kata atau kalimat di
dalam Pasal 9 Undang-Undang Guru dan Dosen yang menghalangi, mengurangi, atau
meniadakan hak para pemohon untuk mengiktui pendidikan profesi guru,
sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2),
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,” tandas Direktur
Jenderal PAUDNI Kemdikbud, Freyani Hawadi.
Menurut Pemerintah, pendidikan profesi guru dapat
diikuti baik oleh lulusan S1 atau D4 kependidikan, lulusan lembaga pendidikan,
tenaga pendidikan, maupun S1 atau D4 non-kependidikan. Terdapat alasan kuat
untuk membuka kesempatan bagi S1 atau D4 non-kependidikan mengikuti pendidikan
profesi guru yaitu untuk memenuhi kebutuhan kurikulum satuan pendidikan yang
tidak mungkin dipenuhi hanya oleh sarjana lulusan LPTK. “Dengan demikian,
pemberian kesempatan bagi sarjana atau diploma IV non-kependidikan untuk
mengikuti pendidikan profesi guru, tidak menutup atau menghambat peluang bagi
sarjana atau diploma IV kependidikan untuk mengikuti pendidikan profesi guru,”
tandas Lydia.
Pada kesempatan ini, para pemohon menghadirkan Gempur
Santoso yang didaulat sebagai ahli. Gempur menyatakan, Guru dalam pengertian
sebagai pendidik, berbeda dengan tutor atau pelatih. Profesi guru sebagai
pendidik membutuhkan pendidikan dan latihan yang tidak sekadar berkaitan dengan
hard skill, tetapi lebih banyak berkaitan dengan soft skill atau
karakter. “Inilah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainnya,” kata
Gempur.
Sebagai seorang profesional, lanjutnya, profesi guru
sebagai pendidik harus menguasai berbagai metode dan model pembelajaran, dan
mampu melaksanakan pembelajaran yang aktif, efektif, inovatif, dan menyenangkan.
“Oleh karena itu, guru tidak cukup dengan lulusan sarjana S1 atau D4, tetapi
harus lulusan sarjana pendidikan S1 atau D4 pendidikan, dan setelah itu
mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG),” dalil Gempur.
Untuk diketahui, permohonan pengujian Pasal 9 UUGD
ini dimohonkan
oleh 7 orang mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK), yakni Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga
Damayanto, M. Khoirur Rosyid, dan Siswanto. Pasal 9 UUGD
menyatakan: “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh
melalui pendidikan sarjana atau program diploma empat.”
Para pemohon merasa hak konstitusional mereka
dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 9 UUGD. Kerugian konstitusional yang dimaksud
yaitu para pemohon harus bersaing dengan para sarjana non-kependidikan yang
tidak menempuh kuliah di LPTK dimana terdapat beberapa mata kuliah belum pernah
diajarkan di universitas non-kependidikan. Para pemohon mendalilkan profesi
guru merupakan bidang khusus sehingga dibutuhkan keahlian khusus. Keahlian
khusus ini tidak mungkin didapatkan di perkuliahan non-LPTK. Pasal 9 UUGD tidak
memberikan perlindungan serta kepastian hukum kepada para pemohon sebab tidak
memberikan jaminan bagi lulusan LPTK sebagai satu-satunya sarjana yang bisa
masuk dalam pendidikan profesi guru. Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 9
UUGD bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H
ayat (2) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar