Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai hak subjektif
untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai representasi daerah. RUU
yang diajukan DPD layak menjadi acuan utama bagi Presiden dan DPR dalam
mengajukan usulan RUU yang sama.
Setelah perubahan konstitusi RI, pusat gravitasi,
denyut nadi kenegaraan yang dulu berada pada pusat, kini beralih pada daerah.
Dengan dasar ini maka wajar ketika DPD mengatakan bahwa keikutsertaan DPD membahas
sebuah RUU itu bukan berdasarkan kemurahan hati Presiden dan DPR, tapi ikut
membahas syarat formil sahnya sebuah RUU menjadi UU.
“Dengan kata lain, misalnya DPD tidak ikut membahas,
maka produk undang-undang tanpa dihadiri tiga pihak ini bisa dinyatakan sebagai
undang-undang yang cacat secara formil, batal secara keseluruhan meski syarat
persetujuan itu sudah terpenuhi oleh presiden bersama DPR.”
Demikian dikatakan Dr. Irman Putra Sidin saat
didaulat sebagai ahli yang dihadirkan oleh DPD dalam persidangan di Mahkamah
Konstitusi (MK) Kamis (22/11/2012). Sidang dilaksanakan oleh Pleno Hakim
Konstitusi Moh. Mahfud MD (ketua pleno), didampingi delapan Anggota Hakim
Konstitusi yaitu Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar,
Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman. Moh.
Mahfud MD menyatakan persidangan perkara 92/PUU-X/2012 dan 104/PUU-X/2012 yang
sebelumnya diperiksa terpisah, pada persidangan kali ini digabung. Mahfud
beralasan, objek dan dalil-dalil dalam dua perkara tersebut substansinya sama. “Karena objeknya sama, dalil-dalil yang diajukan juga substansinya sama,
maka perkara ini disatukan,” kata Mahfud
berargumen.
Irman Putra Sidin lebih lanjut menyatakan, dalam
konstitusi, wilayah atau daerah memiliki organ-organ hidup yang memiliki
kemandirian gerak, sehingga wilayah atau daerah harus menjadi aktor utama yang
tidak sekedar figuran dalam proses pengambilan kebijakan nasional. Sejarah
menunjukkan, daerah memiliki peran historisnya sendiri guna membentuk NKRI. Hal
ini menjadi dasar bahwa DPD mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Presiden
dan DPR meskipun kewenangannya berbeda.
“Dari uraian ini, wajar ketika DPD dikonstruksikan
bahwa kata ‘dapat’ dalam mengajukan RUU dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu
tidak semata dapat dalam arti semantik, tapi dimaknakan bahwa dapat mengajukan
rancangan undang-undang adalah sebuah hak subjektif DPD sebagai representasi
wilayah,” papar Irman.
Irman menilai permohonan judicial review ini
bukan dimaksudkan untuk mereduksi kewenangan DPR atau ingin mengurangi
kewenangan Presiden. “Tapi, permohonan ini sesungguhnya terbaca bahwa DPD ingin
menjadi kawan bagi DPR dan ingin menjadi kawan bagi Presiden dalam mengatur
negara ini, agar negara ini bisa terurus secara tepat dalam rangka
terakselerasinya pencapaian tujuan negara seperti termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” pungkas Irman.
Pada persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan
Saksi/Ahli ini, DPD selaku pemohon untuk Perkara Nomor 92/PUU-X/2012, sedianya
menghadirkan Forum Konstitusi (FK) sebagai ahli. Namun, FK dalam suratnya yang
ditandatangi oleh Harun Kamil dan Ahmad Zacky Siradj, menyatakan di internal FK
terjadi perbedaan pandangan dalam hal ini, sehingga FK tidak mengirimkan salah
satu anggotanya untuk menjadi ahli dengan mengatasnamakan forum (FK).
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU MD3 dan UU
P3 Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 diajukan DPD. Sedangkan untuk Perkara Nomor 104/PUU-X/2012 diajukan oleh Prof
Syamsuddin Haris (LIPI), Dr. Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute),
Sukardi Rinakit (Yayasan Soegeng Sarjadi), Titi Anggraini (Perludem) Toto
Sugiarto (Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan (FORMAPPI), sebagai
Pemohon VI, Dr. Hemawan Estu Bagijo, SH, MH (Ketua Asosiasi Pengajar HTN),
Refly Harun (CORRECT), Yuda Kusumaningsih (Pokja Keterwakilan Perempuan),
Sulastio, (IPC), Sulastio (KIPP), Pipit Apriani (KIPP), Yusfitriadi (JPPR),
Abdullah (ICW), Feri Amsari, SH, MH (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas
Andalas), dan King Faisal Sulaiman SH, LLM (Direktur LBH Imparsial).
Materi UU MD3 yang diujikan yaitu Pasal 71 huruf a,
huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7),
Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
Pasal 154 ayat (5).
Sedangan materi UU P3 yang diujikan yaitu Pasal 18
huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1),
Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48
ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c,
huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b,
Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2).
DPD mendalilkan, Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan
(e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan
legislasi DPD yang seharusnya setara dengan kewenangan legislasi Anggota,
Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21,
Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2)
UU P3 telah meniadakan kewenangan
DPD untuk dapat mengajukan RUU baik di dalam maupun di luar Program Legislasi
Nasional. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis tidak
mengikutsertakan DPD sejak awal proses pengajuan RUU. Pasal 147 ayat (1), ayat
(3), dan (4) UU MD3 telah mendistorsi RUU usul DPD menjadi RUU usul DPR. Pasal
43 ayat (1) dan (2)
serta Pasal 46 ayat (1) UU P3
telah merendahkan kedudukan DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di Bawah DPR.
Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU P3 tidak melibatkan DPD dalam seluruh proses
pembahasan RUU. (Nur Rosihin Ana)
SATISFY KARIMUN JAVA IN
YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar