Catatan Perkara MK
Oleh:
Nur Rosihin Ana
Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU
SPPA) pada tanggal 30 Juli 2012. Sebelum UU ini terbentuk, peradilan anak
diatur oleh UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Seiring perkembangan
dan kebutuhan hukum masyarakat, perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum belum secara
komprehensif diatur oleh UU Nomor 3 Tahun 1997 sehingga perlu diganti dengan UU
baru. Maka dibentuklah UU 11/2012. Pasal 1 angka 1 UU 11/2012 menyatakan:
“Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara
Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.”
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) bertujuan untuk
menjaga harkat dan martabat anak. Anak berhak mendapatkan pelindungan khusus,
terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Oleh karena itu, SPPA tidak
hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana,
melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan
sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Hal
demikian sejalan dengan tujuan penyelenggaraan SPPA yang dikehendaki oleh dunia
internasional, sebagaimana terlihat dalam Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules, yang menyatakan: “The juvenile
justice system shall emphasize well-being of the juvenile and shall ensure that
any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the
circumstances of both the offenders an offence.”
UU SPPA memiliki tiga aspek penegakan hukum, yaitu
aspek hukum pidana materiel, aspek hukum pidana formal dan aspek hukum
pelaksanaan pidana. Aspek hukum pidana materiel dalam UU SPPA, terlihat dari
diaturnya ketentuan tentang Diversi, Batas Umur Pertanggungjawaban Pidana Anak,
Pidana dan Tindakan. Sedangkan aspek hukum pidana formalnya terlihat dari
diaturnya ketentuan tentang prosedur beracara pada tahap Penyidikan,
Penuntutan, Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Penjatuhan Putusan serta
Pemberian Petikan dan Salinan Putusan.
Pasal Kriminalisasi
Selain hal tersebut di atas, UU SPPA juga mengatur
ketentuan pidana bagi Polisi, Jaksa, Hakim, Pejabat Pengadilan dan Penyebar
Informasi, yang terdapat ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101. Pasal 96
UU SPPA menyatakan: “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).” Sedangkan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, menyatakan: “Pada tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib
diupayakan Diversi.”
Pasal 100 UU SPPA menyatakan: “Hakim yang
dengan sengaja tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3),
Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.” Sedangkan Pasal 35
ayat (3) menyatakan: “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi
hukum.” Pasal 37 ayat (3): “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir
dan Hakim Banding belum
memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.” Pasal 38
ayat (3): “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib
dikeluarkan demi hukum.”
Pasal 101 SPPA menyatakan: “Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.” Sedangkan Pasal
62 berbunyi: “(1) Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan
diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. (2) Pengadilan wajib memberikan
salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada Anak
atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Penuntut Umum.”
Ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA
tersebut mengurangi derajat independensi hakim
dalam melaksanakan tugas justicialnya. Ancaman sanksi
pidana dalam ketentuan pasa-pasal tersebut telah membuka penafsiran bahwa pelanggaran terhadap hukum
pidana formal anak (prosedur hukum acara) merupakan suatu tindak pidana dan
harus diancam dengan sanksi pidana. Padahal hukum pidana formal anak adalah
instrumen bagi hakim untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya
hukum pidana materiil anak. Konsekuensi dari pelanggaran hukum pidana formal
Anak (prosedur hukum acara) ini adalah sanksi administratif, karena
dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pengawasan terhadap pelanggaran ini pun telah dilakukan oleh lembaga yang masih
berada dalam cabang kekuasaan yang sama yaitu Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial.
Ancaman sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 96,
Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tersebut mengundang keberatan sembilan hakim, yaitu:
Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H., Dr. Drs. Habiburrahman
M.Hum, Dr. Imam Subechi, S.H., M.H.,
Imron Anwari, SH., Spn., M.H., Suhadi, SH., M.H., H. Kadar Slamet, SH., M.Hum,
I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., Drs. Abdul Goni, S.H., M.H., Mien
Trisnawati, S.H., M.H. Selanjutnya, mereka mengajukan pengujian Pasal 96, Pasal
100, dan Pasal 101 UU SPPA ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang kemudian
diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 110/PUU-X/2012.
Para Pemohon yang mengambil kedudukan hukum (legal
standing) sebagai perorangan warga negara Indonesia, ini juga menduduki jabatan sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI
dan Hakim pada Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung. Para Pemohon juga
menjadi Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). IKAHI adalah organisasi
profesi yang anggotanya terdiri atas warga negara yang memiliki profesi sebagai
Hakim pada Mahkamah Agung dan pada Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Menurut para Pemohon, kriminalisasi hakim, pejabat
pengadilan, dalam ketentuan Pasal 96, 100 dan 101 UU SPPA lebih ditekankan pada
penilaian emosional (the emosionally laden value judgment approach) para
pembentuk UU. Penilaian emosional ini tidak memiliki tujuan yang jelas dan
tidak disertai pertimbangan seimbang antara upaya kriminalisasi dengan tujuan
yang ingin dicapai. Kebijakan yang dibuat oleh para pembentuk UU lebih
berorientasi pada perlindungan pelaku (anak). Seharusnya para pembentuk UU
menganut ide keseimbangan, di mana perlindungan hukum tidak hanya diberikan
kepada pelaku (anak) saja, melainkan juga kepada hakim dan penegak hukum lainnya
(Penyidik dan Penuntut Umum) ketika menjalankan tugas dan wewenangnya, tanpa
harus ada intervensi berupa kriminalisasi ketika terjadi pelanggaran terhadap
hukum pidana formal saat ingin menegakkan hukum pidana materil.
Politik kriminalisasi dalam menetapkan perbuatan
sebagai suatu tindak pidana dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101
UU SPPA tidak lagi diorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach)
maupun pada nilai (value judgment approach). Ketentuan tersebut tidak
memuat asas-asas kriminalisasi, dan tujuan dari pemidanaan/keberadaan/fungsi
hukum pidana, sehingga rumusan dalam ketentuan tersebut tidak mencerminkan asas
keadilan secara proporsional bagi Hakim, oleh karenanya rumusan dalam ketentuan
tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Upaya kriminalisasi ketentuan Pasal 96, Pasal 100,
dan Pasal 101 UU SPPA pada prinsipnya tidak memenuhi syarat/kriteria
kriminalisasi, karena lebih bersifat administrasi. Penggunaan hukum pidana
dalam mengkriminalisasi hakim, pejabat pengadilan, merupakan kesesatan atau kekeliruan
para pembentuk UU, karena kriminalisasi tersebut digunakan secara sembarangan
tanpa tujuan yang jelas. Dalam kerangka yang lebih luas, keberadaan dari
pemidanaan itu akan menimbulkan dampak negatif SPPA.
Upaya kriminalisasi ketentuan Pasal 96, Pasal 100,
dan Pasal 101 UU SPPA merupakan bentuk kelampauan batas dari hukum pidana (the
crisis of overreach of the criminal law), karena penggunaan hukum pidana
dalam ketentuan tersebut sudah melewati batas kewenangannya. Hukum pidana
seharusnya digunakan untuk mengurusi perihal kejahatan atau pelanggaran yang
memang patut dipidana. Namun ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU
SPPA justru turut mengkriminalisasikan pula perihal pelanggaran terhadap
prosedur hukum acara.
Dalam praktek peradilan, pengawasan terhadap
pelanggaran prosedur hukum dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,
karena pelanggaran tersebut dikategorisasikan sebagai pelanggaran terhadap Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Konsekuensi logis dari pelanggaran ini adalah
Sanksi Administratif.
Kriminalisasi Hakim dapat dipandang sebagai upaya
untuk membatasi kekuasaan Hakim dalam menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana
yang ditentukan oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 1 angka (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, ketentuan pidana
bagi hakim pada dasarnya dapat berdampak pada pengurangan derajat independensi hakim
dalam melaksanakan tugas justicialnya. Dilihat dari konteks hubungan antar
lembaga negara berdasarkan sistem cheks and balances, keputusan pembentuk
UU tersebut bertentangan dengan konsep pembagian kekuasaan dalam Negara hukum
Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA
potensial dikualifikasi melanggar prinsip ”Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (di
bidang hukum pidana).” Pasal-pasal tersebut tidak proporsional dan berlebihan
dan dengan sendirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945.
Para Pemohon dalam petitium meminta Mahkamah
mengabulkan permohonan. Menyatakan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimuat dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5332, bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES