Marten Boiliu, Pemohon uji materi
UU Ketenagakerjaan. (Foto: Dedy)
|
Tujuh tahun Marten Boiliu menjalani profesi sebagai petugas Satuan Pengaman (Satpam) pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui perusahaan penyedia jasa pengamanan. Marten mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika perusahaan jasa pengamanan tempat dia bernaung, tidak lagi menjalin hubungan kerja dengan BUMN tempat di mana dia ditugaskan. Marten kehilangan hak atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak karena tidak mengajukan tuntutan atas hak-hak tersebut dalam kurun waktu dua tahun. Artinya, setelah melampaui masa dua tahun, tuntutan pembayaran upah pekerja dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja mengalami daluwarsa. Begitulah ketentuan Pasal dalam UU Ketenagakerjaan.
Marten Boiliu
merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 96
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Selanjutnya, Marten mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji ketentuan dalam UU
Ketenagakerjaan tersebut. Permohonan Marten diregisterasi
oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 100/PUU-X/2012 pada 3 Oktober 2012.
Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.” Menurut
Marten, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Marten dalam permohonan berkisah ihwal profesi yang
digelutinya, yaitu sebagai petugas Satpam di PT Sandy Putra Makmur (PT SPM)
yang bergerak di bidang penyedia jasa pengamanan. Tujuh tahun lebih ia mengabdi
di PT SPM, yaitu sejak 15 Mei 2002. Pada 1 Juli 2009, Marten bersama 65 Satpam lainnya
di-PHK oleh PT SPM berdasarkan Surat Keterangan PHK Nomor:
760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009. Marten mengaku tidak menerima pembayaran apapun
terkait berakhirnya hubungan kerja tersebut.
Marten Boiliu dan Nur Rosihin Ana. (Foto: Dedy)
|
Syahdan, tiga
tahun pasca PHK berlalu, pada Juni 2012 Marten bersama 65 temannya melakukan
perundingan bipartit dengan PT SPM. Perundingan bipartit gagal, sehingga
perselisihan didaftarkan ke Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Jakarta Selatan untuk dimediasi. Namun, pihak PT SPM tidak pernah menghadiri
mediasi. Marten dkk berencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Gugatan Daluwarsa
Dedy, Marten Boiliu, Nur Rosihin Ana. (Foto: Mantox) |
Marten mendalilkan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan cenderung lebih
menguntungkan kepentingan pengusaha. Marten dkk merasa diperlakukan tidak adil
karena hak untuk mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak menjadi melayang hilang ditelan masa daluwarsa.
Oleh karena itu,
Marten dalam petitum meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan permohonan
pengujian Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Meminta Mahkamah menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala
akibat hukumnya.
(Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Oktober 2012 Hal. 47)
Download Majalah di sini
Update 19 September 2013
Permohonan Dikabulkan
Mahkamah menyatakan mengabulkan seluruh
permohonan Marten. Mahkamah menyatakan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
berkekuatan hukum mengikat.
Putusan Nomor 100/PUU-X/2012 dapat diunduh (downloading) di sini
Nur Rosihin Ana
(Catatan Perkara Majalah Konstitusi Edisi Oktober 2012 Hal. 47)
Download Majalah di sini
Update 19 September 2013
Permohonan Dikabulkan
Upaya Marten tak
sia-sia. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK)
mengabulkan permohonan uji materi UU
Ketenagakerjaan yang dimohonkan oleh Marten Boiliu, dalam sidang pengucapan
Putusan Nomor 100/PUU-X/2012 yang dibacakan pada Kamis (19/9/2013).
Putusan Nomor 100/PUU-X/2012 dapat diunduh (downloading) di sini
Nur Rosihin Ana
Segera secepatnya dan seharusnya semestinya dibuat pernyataan tidak berlaku dan dihapuskan karena pasal 30 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah, yang menyatakan bahwa: “Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun” dan pasal 96 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa: “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak” karena kepastian hukumnya sudah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPer), syarat/ ketentuan/ketetapan/peraturan/hukum/undang-undangnya tidak mengikat, khilaf/keliru, tidak tepat/benar dan sudah tidak sesuai/sebagaimana mestinya/pantas/patut/wajar lagi serta bertentangan dengan pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
BalasHapusBahwa dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah sebagai berikut:
1) Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah, mengingat: 1. pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
2) Pasal 19 ayat 1, yang menyatakan bahwa: “Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut ditambah dengan 5 % (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1 % (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50 % (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
3) Pasal 19 ayat 2, yang menyatakan bahwa: “Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha diwajibkan pula membayar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.”
4) Pasal 19 ayat 3, yang menyatakan bahwa: “Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal menurut hukum.”
Bersambung…
Lanjut…
BalasHapusBahwa mengingat, memperhatikan dan menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
1) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengingat: pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
3) Pasal 1, yang menyatakan bahwa: “Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: angka 16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
4) Pasal 2, yang menyatakan bahwa: “Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
5) Dalam I Umum Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa: “Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha dstnya…..”
Bahwa mengingat, memperhatikan dan menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai berikut:
1) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menimbang: a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
2) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengingat: pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Bersambung…
Lanjut…
BalasHapusBahwa mengingat, memperhatikan dan menimbang dalam Pasal 57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang menyatakan bahwa: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.” , yaitu sebagai berikut:
1) Pasal 1242 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak mana pun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu, karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.”
2) Pasal 1254 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: ”Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.”
3) Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.”
4) Pasal 1321 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Tiada suatu persetujuanpun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.”
5) Pasal 1322 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan.”
6) Pasal 1323 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.”
7) Pasal 1328 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.”
8) Pasal 1335 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.”
9) Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
10) Pasal 1339 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”
11) Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
12) Pasal 1366 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”
Bersambung…
Bahwa telah diperoleh dan diketahui bukti-bukti kadaluwarsa dalam peraturan hukum perlindungan upah ketenagakerjaan dan memberikan kesimpulan untuk dalam pasal 30 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah dan pasal 96 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
BalasHapus1) Telah banyak korban-korban kadaluwarsa dari peraturan hukum perlindungan upah ketenagakerjaan tersebut.
2) Kepastian kadaluwarsa dalam peraturan hukum perlindungan upah ketenagakerjaannya juga sudah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPdt).
3) Kepastian kadaluwarsa dalam peraturan hukum perlindungan upah ketenagakerjaannya tidak memiliki syarat/ ketentuan/ketetapan/peraturan/hukum/undang-undang mengikat, khilaf/keliru/menyesatkan, sudah tidak layak/tepat/benar/sesuai/ /pantas/patut/wajar/sebagaimana mestinya lagi dan tidak adil serta bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa dengan uraian alasan dasar pertimbangan sebagaimana disebutkan diatas telah diketahui cukup terang, jelas dan tegas maknanya, maka dengan demikian untuk segera secepatnya dan seharusnya semestinya dibuat pernyataan yang berkekuatan peraturan berupa hukum bahwa untuk pasal 30 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah dan pasal 96 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini dinyatakan dihapuskan dan tidak berlaku.
Sekarang ini memungkinkan bagi siapa saja untuk memulai sebuah kampanye dan segera menggalang ratusan orang lainnya secara lokal atau ratusan ribu di seluruh dunia, membuat pemerintah, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, parpol, perusahaan dan yang terkait lebih responsif, transparan dan akuntabel…
BalasHapusIkut memberdayakan masyarakat di mana pun untuk menciptakan perubahan yang ingin mereka lihat kedepan dan dengan menginspirasi semua orang untuk menemukan apa yang mungkin ketika mereka berdiri dan bersuara…
Tapi ketika di mana tak seorangpun tak berdaya karena dipersulit, ditunda-tunda, dicegah dan ataupun dhalang-halangi dan di mana menciptakan perubahan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari cepat ataupun lambat tidak ada kata terlambat...
Karena khilaf/keliru, perbuatan memaksa, perbuatan sewenang-wenang atau perbuatan membiarkan begitu saja, tidak cermat/teliti, lalai/ceroboh, lupa, tidak peduli, tidak diketahui umum dan karena tidak punya kuasa...
Kerjakan, tuntaskan dan jangan berhenti berharap karena Yang Maha Kuasa maha mengetahui saat dan putusan yang tepat dan benar untuk mengabulkan permohonanmu; apa yang ingin Anda ubah?...
Baca dan ikuti juga survey Kadaluwarsa Dalam Peraturan Hukum Perlindungan Upah, Ketenagakerjaan dan UUD 1945 >> http://apps.facebook.com/my-surveys/bgz1ys
Baca dan ikuti juga survey PERLINDUNGAN UPAH KETENAGAKERJAAN >> http://apps.facebook.com/my-surveys/pvjr1r
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan yang diajukan oleh Marten Boiliu, dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 100/PUU-X/2012 yang dibacakan pada Kamis, 19 September 2013.
BalasHapusMahkamah menyatakan mengabulkan seluruh permohonan Marten. Mahkamah menyatakan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Berikut putusan tersebut:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_100%20PUU%202012%20-%20telah%20ucap%2019%20September%202013.pdf