Rabu, 17 Oktober 2012

Yusuf Wibisono: Proses Amandemen UU Pengelolaan Zakat Alami Cacat


Lembaga Amil Zakat (LAZ) bentukan masyarakat sipil adalah pelopor sekaligus merupakan tulang punggung (back bone) dari zakat nasional modern Indonesia. Fakta historis menunjukkan, dalam tiga dekade terakhir kebangkitan zakat nasional dipelopori oleh masyarakat sipil.
UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat secara umum berdampak positif terhadap pengelolaan zakat yang pada saat itu didominasi oleh masyarakat sipil yaitu LAZ. Dalam Pasal 8 UU 38/1999 peran BAZ bentukan pemerintah dan LAZ bentukan masyarakat sipil mendapatkan posisi yang sejajar, setara. Tata kelola zakat yang baik sudah diperkenalkan dalam UU 38/1999.
Kelemahan UU Nomor 38 Tahun 1999 adalah tidak mengamanatkan pembentukan regulator yang akan mengeksekusi hal-hal yang sudah positif di dalam UU tersebut. Jadi ketika UU 38/1999 diamandemen melalui UU Nomor 23 Tahun 2011 niatnya adalah baik. Namun ada beberapa hal yang kurang tepat terkait dengan proses amandemen. ”Kami memandang proses amandemen Undang-Undang 38 Tahun 1999 ini dalam tanda petik kami sebut ‘cacat secara proses’.”
Pernyataan tersebut disampaikan Yusuf Wibisono dalam kapasitasnya sebagai ahli pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (17/10/2012). Sidang kali keempat untuk perkara Nomor 86/PUU-X/2012 ihwal uji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) ini beragendakan mendengar keterangan DPR, Pemerintah, ahli dan saksi.
“Cacat secara proses” yang dimaksud Yusuf Wibisono yaitu amandemen UU 38/1999 sudah dimulai di DPR pada periode 2004-2009. Pada tahun 1999 UU 38/1999 sudah masuk di RUU Prioritas Tahun 1999 tapi gagal diselesaikan. Sejak awal proses amandemen, ada dua draft yang secara umum bertolak belakang, yaitu draft RUU dari masyarakat sipil dan draft RUU dari pemerintah. “Karena itu pembahasannya alot, panjang, dan gagal diselesaikan oleh DPR 2004-2009 dan kemudian undang-undang ini di-takeover oleh DPR 2009-2014 menjadi RUU Inisiatif DPR,” terang Yusuf. 
Pada awal Maret 2010 DPR menyelesaikan RUU Pengelolaan Zakat. RUU yang dibuat oleh DPR cenderung mengakomodir masyarakat sipil. Kemudian RUU diajukan ke pemerintah untuk dimintakan DIM (Daftar Isian Masalah). DIM dari pemerintah baru muncul di awal tahun 2011. “DIM Pemerintah ini ternyata isinya sangat berbeda sekali dengan draft dari DPR. Bisa dikatakan itu bukan DIM sebenarnya, tapi draft tandingan karena kalau DIM pada umumnya mengomentari atau memperbaiki draft yang sudah ada. jadi sangat bertolak belakang,” lanjutnya.
Dua draft yang bertolak belakang inilah yang kemudian dibahas di DPR pada pertengahan 2011. Masa sidang keempat DPR pada pertengahan 2011 berlangsung singkat, yakni tiga bulan, dan diketok palu pada Oktober 2011. “Itu sepenuhnya 100% adalah draf dari pemerintah, draf dari DPR sepenuhnya hilang. Jadi, kami bisa katakan ini ada sesuatu yang janggal. Kami melihat ada sesuatu yang janggal dalam proses pembentukan, dalam proses Amandemen Undang-Undang Nomor 38 ini. Itulah kenapa kemudian saya bisa sangat bisa memahami, kenapa kemudian ada upaya untuk mengajukan judicial review ini. Jadi, bisa saya katakan judicial review ini seharusnya tidak hanya uji materiil, tapi juga bisa uji formal,” beber Yusuf.
Rezim baru pengelolaan zakat nasional berdasarkan UU 23/2011 mengalami lemah bawaan karena tidak adanya perbaikan kelemahan pada UU 38/1999, yaitu tidak adanya regulator yang kuat dan kredibel sehingga tata kelola zakat menjadi tetap tidak jelas. Operator zakat yang terdiri dari BAZ (bentukan pemerintah) dan LAZ (bentukan masyarakat sipil) seharusnya dikelola, diregulasi, dan diberikan pengawasan sehingga tidak ada penyalahgunaan dana umat. Sebaliknya, BAZ dan LAZ justru tidak mendapatkan posisi yang tepat dalam UU 23/2011Dalam UU 23/2011 Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mempunyai kewenangan sebagai regulator sekaligus menjadi operator. BAZNAS  tetap menjalankan fungsi sebagai operator sebagaimana halnya LAZ, yaitu mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan dana zakat. Tetapi dia juga diberikan kewenangan menjadi regulator, yaitu membuat perencanaan, kemudian membuat regulasi, dan sekaligus mengawasi LAZ dan BAZNAS di bawahnya. “Ini menurut kami hal yang kurang tepat,” kritik Yusuf.

Sentralisasi Pengelolaan Zakat

Salah satu ketentuan dalam UU 23/2011 merupakan upaya penggiringan ke arah sentralisasi. Hal ini secara eksplisit disebutkan oleh Pasal 6 UU 23/2011 yang menyatakan: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.” Ketentuan ini secara mendasar mengubah ketentuan Pasal 8 UU 38/1999 yang menyatakan: “Badan amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.” Ketentuan Pasal UU 38/1999 memberi wewenang pengelolaan zakat nasional kepada BAZ dan LAZ. Namun Pada Pasal 6 UU 23/2011, wewenang LAZ dihapus sehingga hanya BAZNAS yang berwenang melakukan pengelolaan zakat. Itu jelas-jelas merupakan sentralisasi,” dalil Yusuf.
Terjadi perbedaan yang sangat signifikan bahwa yang berwenang adalah BAZNAS dan masyarakat sipil hanya sekadar membantu. Dengan paradigma ini maka UU 23/2011 memperlakukan LAZ sangat diskriminatif karena untuk menjadi LAZ memerlukan perizinan yang sangat ketat. Pasal 18 UU 23/2011 berisi ketentuan yang potensial mematikan eksistensi LAZ, karena LAZ harus berbentuk organisasi massa (ormas)Padahal seluruh LAZ saat ini berbentuk yayasan dan tidak ada yang berbentuk ormas. Jadi, dalam konteks zakat nasional kontemporer, ketentuan ini ahistoris. Ketentuan pasal ini jelas bertujuan mematikan LAZSangat sulit membayangkan bagaimana nanti LAZ yang berbentuk yayasan harus bertransformasi menjadi ormas. Mengapa harus berbentuk ormasapa rasionalisasi ekonominya? Padahal pengelolaan zakat yang terpenting adalah trustTrust dari masyarakat dan kemudian mereka memiliki kapasitas untuk mengelola zakat secara baik, memiliki manajemen yang modern.
UU ini secara umum menghalangi hak dari LAZ yang dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya da­lam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk memba­ngun masyarakat, bangsa, dan negaranya.­­” UU ini mensterilisasi kewenangan zakat nasional sepenuhnya di tangan BAZNAS dan memarginalisasi LAZ.
Kemudian LAZ-LAZ yang sekarang sudah berdiri tetap diakui oleh UU. Tetapi di pasal transisi disebutkan setelah lima tahun harus menyesuaikan diri dengan UU yang baru. Artinya mereka harus mengikuti ketentuan yang sangat ketat dalam Pasal 18, sehingga seluruh LAZ yang ada sekarang berpotensi untuk dilemahkan oleh UU ini. Terlebih lagi LAZ-LAZ yang sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebelum UU ini berlaku karena secara informal Kementerian Agama tidak melakukan pengurusan dan pengukuhan LAZ-LAZ baru itu sejak proses amandemen UU 38/1999Jadi, banyak sekali LAZ-LAZ yang tidak memiliki izin operasional sampai sekarang, ungkap Yusuf.
UU 23/2011 potensial bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dengan logika sentralisasi bahwa yang berwenang adalah BAZNAS dan masyarakat sipil tidak berwenang, maka kemudian BAZNAS mendapatkan perlakuan yang istimewa dalam UU ini. Pendirian BAZNAS tidak ada persyaratan, sementara syarat pendirian LAZ sangat ketat luar biasa sebagaimana ketentuan Pasal 18 UU 23/2011Bahkan pendirian BAZNAS merupakan amanat UU. Walaupun dalam UU ini disebutkan secara eksplisit BAZNAS adalah lembaga nonstruktural, tapi dalam UU disebutkan BAZNAS mengikuti struktur pemerintahan di pusat, provinsi, kabupaten/kota.
Menurut Yusuf Wibisono, hal terpenting dalam zakat nasional saat ini adalahpertama,  perbaikan tata kelola yaitu dengan mendirikan regulator yang kuat dan kredibel. BAZNAS sebagai regulator melepaskan posisinya sebagai operator sehingga tidak ada lagi conflict of interest. Seharusnya posisi BAZ dan LAZ tetap sejajar, tidak ada hegemoni dari salah satu pihak.
Kedua, jumlah BAZNAS dan LAZ saat ini itu sangat besar, sehingga diperlukan penaturan termasuk persayaratan pendiriannya. Seharusnya persyaratan dalam Pasal 18 UU 23/2011 diterapkan sama, baik untuk BAZ maupun untuk LAZ.
Ketiga, yang tak juga kalah pentingnya dalam reformasi zakat ke depan yaitu pemerintah mengikutsertakan lembaga-lembaga zakat yang kredibel dalam proses penanggulangan kemiskinan. Saat ini pemerintah dan gerakan masyarakat sipil berjalan sendiri-sendiri dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Untuk diketahui, pengujian materi UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) ini diajukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa; Yayasan Rumah Zakat Indonesia; Yayasan Yatim Mandiri; Yayasan Portal Infaq; Yayasan Dana Sosial Al Falah Malang; Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Waqaf Harapan Ummat (LPP-ZISWAF HARUM); Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infaq (LMI), YPI Bina Madani Mojokerto; Rudi Dwi Setiyanto (Amil Zakat); Arif Rahmadi Haryono (Muzakki); Fadlullah (Muzakki); dan terakhir, Sylviani Abdul Hamid (Muzakki). Materi UUPZ yang diujikan yaitu Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UUPZ.
Pasal 5 UUPZ menyatakan: “(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS. (2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara. (3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.”
Pasal 6 UUPZ menyatakan: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.”
Pasal 7 UUPZ menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.”
Pasal 17 UUPZ menyatakan: “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
Pasal 18 UUPZ menyatakan: “(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b) berbentuk lembaga berbadan hukum; c) mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d) memiliki pengawas syariat; e) memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f) bersifat nirlaba; g) memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h) bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.”
Pasal 19 UUPZ menyatakan: “LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.”
Pasal 38 UUPZ menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang”
Pasal 41 UUPZ menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Para pemohon mendalilkan Pasal 38 jo Pasal 41 UUPZ telah memberikan dasar hukum untuk mengriminalisasi para amil zakat yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang walaupun amil zakat tersebut mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat. Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 UUPZ secara eksplisit mengsubordinasikan kedudukan LAZ bentukan masyarakat sipil dengan adanya persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 18 UUPZ. Ketentuan ini melahirkan ketidakpastian hukum bagi LAZ atau calon LAZ yang akan mengajukan izin ke Menteri. Pasal 18 ayat (2) huruf a bersifat diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang telah ada saat ini. Sebab hampir seluruh LAZ tersebut berbentuk badan hukum yayasan. Padahal dalam ketentuan Pasal 18 UUPZ mengharuskan LAZ terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas). Sedangkan menurut UU Nomor 8 Tahun 1985, yang disebut sebagai ormas adalah entitas yang berbasis keanggotaan. Padahal yayasan tidak memiliki anggota.
UUPZ menetapkan BAZNAS sebagai operator zakat nasional dan status tersebut juga sama dengan LAZ, sehingga ketentuan tersebut jelas menimbulkan conflict of interest dan tidak memberikan kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UUPZ telah mensentralisasikan pengelolaan zakat nasional berada di tangan pemerintah. Hal ini menghambat peran serta LAZ yang telah memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Pasal 5 dan Pasal 15 UUPZ menyatakan pendirian BAZNAS di tingkat pusat, provinsi serta kabupaten/kota tanpa memberikan persyaratan pendirian. Selain itu, BAZNAS berhak mendapatkan pembiayaan dari APBN serta dapat menggunakan sebagian dana zakat yang dihimpun. Sementara LAZ mendapatkan restriksi yang sangat ketat, tidak mendapat pembiayaan dari APBN dan hanya berhak mendapatkan pembiayaan dari hak amil saja.

Berlakunya UUPZ tidak hanya merugikan para pemohon tetapi juga seluruh warga Negara Indonesia yang selama ini telah banyak terbantu oleh berbagai program yang dilaksanakan oleh LAZ. UUPZ semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat, menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan social dan member insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Tetapi kenyataannya, UUPZ ini justru mematahkannya. (Nur Rosihin Ana)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More