Pengujian konstitusionalitas kewenangan rangkap
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan yang tersebar
dalam beberapa Undang-Undang, memasuki tahap pengucapan putusan. Mahkamah
Konstitusi (MK) pada Selasa (23/10/2012) siang, menggelar sidang pengucapan
putusan Nomor 16/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
KPK).
Mahkamah
dalam amar putusan menyatakan menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Iwan Budi Santoso, Muhamad Zainal Arifin, dan Ardion
Sitompul. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” Kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi
Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim,
Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi,
dan M. Akil Mochtar.
Hal
yang menjadi objek permohonan Iwan Budi Santoso, Muhamad
Zainal Arifin, dan Ardion Sitompul adalah uji
konstitusional pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangan rangkap penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan yang tersebar dalam
beberapa UU, antara lain Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan; Pasal 39 UU
Tipikor; dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) UU KPK khususnya frasa “atau kejaksaan”
serta frasa “dan/atau kejaksaan” dalam UU KPK. Menurut para pemohon, ketentuan
tersebut bertentangan dengan asas negara hukum [vide Pasal 1 ayat (3) UUD
1945], pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].
Mahkamah berpendapat, UUD 1945 tidak melarang adanya
fungsi ganda tersebut. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar” dan
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap rancangan Undang-Undang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
“Berdasarkan kedua pasal tersebut, maka Presiden
selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), juga berfungsi
sebagai pembentuk Undang-Undang (legislatif) bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Dengan demikian UUD 1945 tidak melarang fungsi ganda
tersebut,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan Pendapat
Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah juga mengutip beberapa
pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008
yang dalam paragraf [3.13.6] antara lain mempertimbangkan, “Dengan demikian
kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal bukan lahir dari UUD 1945 tetapi
dari Undang-Undang,”. Kata “sesuai” dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya memungkinkan alat penegak hukum lainnya seperti
kejaksaan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Sementara itu Pasal 24
ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang. Undang-Undang yang diturunkan
dari amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 itu antara lain adalah UU Kejaksaan.
Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan berbunyi, “Melakukan penyidikan terhadap
pidana tertentu berdasarkan undangundang”.
“Berdasarkan pertimbangan di
atas, permohonan para Pemohon supaya kewenangan penyidikan yang diberikan
kepada kejaksaan dalam beberapa ketentuan tindak pidana khusus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, tidak beralasan menurut hukum,” tandas Alim. (Nur
Rosihin Ana)
SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar