Catatan Perkara Uji Materi UU Sistem Budidaya Tanaman
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) sengaja memisahkan antara petani
dengan aktivitasnya sebagai pemulia tanaman. Semangat UU SBT lebih
memfasilitasi industri benih untuk memonopoli perbenihan. Selain itu, UU SBT telah
mengabaikan tradisi turun-temurun petani sebagai pemulia tanaman. Bahkan lebih
lanjut negara membuat peraturan lain yang bersifat khusus tentang hak
intelektual di bidang teknologi perbenihan, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT), yang bersemangat sama
dengan UU SBT yaitu mendiskriminasikan petani. Bukan hanya diskriminasi,
seorang petani di Indramayu bernama Karsinah (pemohon), mendapat intimidasi
dari aparat dinas pertanian setempat karena mempertahankan benih lokal dan
melakukan persilangan tanaman dimana hal tesebut bertentangan dengan program
pemerintah yang mengharuskan penggunaan benih bersertifikat atau benih yang
diproduksi perusahaan benih. Bahkan petani pemulia tanaman bernama Kunoto
(pemohon) menjadi korban kriminlisasi sejak UU SBT diberlakukan.
Demikian antara lain dalil permohonan uji materi perkara
yang diregisterasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor
99/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6,
Pasal 9 ayat (3), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 60 ayat (1) huruf a dan
huruf b ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBT. Permohonan uji
materiil UU SBT ini diajukan oleh Indonesian Human Rights Committee
For Social Justice (IHCS), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods
and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa
Sadajiwa (Bina Desa), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan
(KRKP), Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu
Indonesia (IPPHTI), Serikat Petani Kelapa Sawit
(SPKS), Perkumpulan Sawit watch, Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi
Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Kunoto, Karsinah.
Menurut para Pemohon, UU SBT telah mempersempit dan
menghalangi kesempatan bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya
tanaman. Penerapan UU ini berpotensi menjadi penghalang bagi akses masyarakat
khususnya petani dalam pemenuhan terhadap hak atas pangan, hak atas pekerjaan,
hak atas pengetahuan, dan hak untuk hidup yang layak.
Saat UU SBT disahkan, Pemerintahan Orde Baru sedang
gencar melaksanakan revolusi hijau yaitu intensifikasi pertanian melalui pupuk
kimiawi dan benih hasil industri yang meminggirkan pertanian ramah lingkungan
yang menjamin keseimbangan ekosistem. UU SBT telah dipergunakan
untuk mengkriminalkan petani pemulia tanaman di Jawa Timur dan
mendiskriminasikan petani pemulia tanaman Jawa Barat dan berpotensi terjadi
kriminalisasi dan diskriminalisasi terdahap petani pemulia tanaman dibeberapa
wilayah di Indonesia.
Padahal petani telah melakukan pemuliaan tanaman termasuk
mengedarkannya secara turun temurun hingga kini dan tidak menimbulkan problem
ekologi maupun hukum. Problem hukum justru terjadi sejak lahirnya UU SBT. Para
petani telah melakukan proses pemuliaan tanaman dengan prosesnya antara lain
pengumpulan, penyimpanan, penyilangan, seleksi, perbanyakan dan
penyebaran benih serta mempertahankan kemurnian jenis dan menghasilkan jenis
varietas baru yang lebih baik seperti yang dibuat oleh petani di Indramayu
yaitu jenis padi galur bongong, galur gading surya yang tahan terhadap wereng
coklat.
Punahnya Varietas Lokal
Kini ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang
petani. Hal ini akibat dari pemaksaan kepada petani untuk menanam padi varietas
“unggul” nasional dan hibrida. Padahal Indonesia kaya akan ribuan plasma nutfah
padi lokal seperti Kappor dari Madura, Anak Daro dari Sumatera
Barat, Rojolele, Mentik Wangi, dan lain-lain yang berpotensi untuk
dikembangkan.
Ratusan varietas jagung lokal (Jagung Kretek Madura,
Jagung Metro Lampung, Jagung Pulut Sulawesi Selatan, Jagung Kodok Indramayu,
dll) telah terancam hilang digantikan dengan jagung produksi perusahaan. Sampai
saat ini produksi benih jagung perusahaan menguasai 90% pasaran. Akibat lainnya
yaitu semakin tingginya kerusakan lingkungan pertanian (iklim, serangga, air,
tanah) dan terjadinya degradasi lingkungan pertanian serta meningkatnya tekanan
biotik maupun abiotik yang disebabkan oleh semakin maraknya benih-benih
perusahaan yang dilegitimasi oleh UU SBT.
Pasal 5 ayat (1) UU SBT menyatakan, “Untuk mencapai
tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah: a) Menyusun rencana
pengembangan budidaya tanaman sesuai dengan tahapan rencana pembangunan
nasional; b) Menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman; c) Mengatur
produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan Kepentingan nasional; d)
Menciptakan kondisi yang menunjang peran serta masyarakat.” Kemudian Pasal 5
ayat (2) menyatakan, “Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat.”
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, dan c menurut
pemohon telah mengakibatkan pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan
perencanaan, penetapan wilayah, dan pengaturan produksi. Jika dihubungkan
dengan Pasal 6 ayat (2) UU SBT maka apa yang menjadi wewenang pemerintah
tersebut menjadi kewajiban bagi petani. Akibatnya petani tidak bisa berkreasi
dalam budidaya tanaman berdasarkan kebutuhannya. Padahal bagi petani, budidaya
tanaman adalah persoalan hidup dan kehidupan yang dijamin oleh Pasal 28A UUD
1945. Akibat lainnya yaitu terjadi pertentangan antara kewenangan pemerintah
dengan hak petani. Petani harus tunduk kepada perencanaan pemerintah, sehingga
mengakibatkan ketidakpastian hukum antara hak dan kewajiban petani. Jaminan
kepastian hukum yang adil merupakan hak konstitusional sebagai mana telah
diatur pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya mengenai
penetapan wilayah dan pengaturan produksi oleh pemerintah yang kemudian
menjadikan kewajiban petani, mengakibatkan petani tidak bisa menentukan jenis
dan pola budidaya tanaman di tanahnya sendiri, yang merupakan hak milik pribadi
yang dijamin perlindungannya oleh pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pasal 5 ayat (1) huruf d bertentangan dengan Pasal 28A,
28C ayat (2), 28F, 28I ayat (2) serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945. Apa yang terjadi selama ini petani tidak pernah dilibatkan dalam
proses perencanaan, pengembangan, dan pengaturan produksi dan penetapan
wilayah. Yang ada hanyalah forum sosialisasi yang berisi himbauan pemerintah.
Bagi petani yang tidak menjalankan himbauan pemerintah tersebut dapat
dikriminalisasi, didiskriminasi dan diintimidasi. Penelitian demi penelitian
yang dilakukan pun dibiayai oleh negara dan pengusaha serta perencanaan yang
dibuat oleh pemerintah tidak didasarkan kebutuhan petani, dan tidak melibatkan
petani secara aktif serta ketangguhan ekosistem. Pemerintah hanya mengejar
kepentingan produksi yang tinggi, sehingga mengabaikan tujuan-tujuan lain di
bidang kelestarian lingkungan, ketangguhan ekosistem, dan kesejahteraan petani.
Pasal 6 menyatakan, “(1) Petani memiliki kebebasan untuk
menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. (2) Dalam menerapkan
kebebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petani berkewajiban
berperanserta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya
tanaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (3) Apabila pilihan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka
Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan
memperoleh jaminan penghasilan tertentu. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Para pemohon berpendapat Pasal 6 UU SBT bertentangan
dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4) dan 28I ayat (3) UUD
1945. Bahkan terjadi pertentangan antarayat dalam Pasal UU SBT, yaitu ayat (1)
dan (2). Pada ayat (1), petani mempunyai kebebasan tapi kebebasan tersebut
dibatasi oleh ayat (2), bahkan lebih tepat dihalangi karena rencana pemerintah
tersebut tidak melibatkan masyarakat dan tidak ada mekanisme pengajuan
keberatan, sehingga potensial melanggar hak hidup rakyat
tani yang berbudidaya tanaman sesuai dengan kebutuhannya. Hal tersebut juga di
satu sisi berpotensi menghilangkan kepemilikan pribadi petani atas lahan dan
tanaman karena penggunaan dan pemanfaatannya ditentukan sepihak oleh
pemerintah.
Pasal 9 menyatakan, “(1) Penemuan varietas unggul
dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman. (2) Pencarian dan pengumpulan
plasma nutfah dalam rangka pemuliaan tanaman dilakukan oleh Pemerintah. (3)
Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin.
(4) Pemerintah melakukan pelestarian plasma nutfah bersama masyarakat.” Pasal 9
ayat (3) UU SBT sepanjang kata “Perorangan” menurut para pemohon bertentangan
dengan Pasal 28A, Pasal 28C, 28D ayat (1), 28I ayat (2), (3) dan Pasal 33 ayat
(2) serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sebab ketentuan di dalamnya membedakan
antara pemulia tanaman dengan petani. Padahal sesungguhnya bagi petani kegiatan
pemuliaan tanaman merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya.
Identitas pemulia tanaman menyatu dengan identitas sebagai petani. Ketidakkenalan
UU SBT terhadap petani pemulia tanaman mengakibatkan petani pemulia tanaman
harus dapat ijin untuk pencarian, pengumpulan plasma nutfah dan mengedarkan
benih.
Pasal 12 menyatakan, “(1) Varietas hasil pemuliaan atau
introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh
Pemerintah. (2) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang diedarkan.” Pasal 12 ayat (1) dan
ayat (2) UU SBT bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C, 28I (3) dan Pasal 33
(2) serta Pasal 33 (3) UUD 1945. Sebab dalam prakteknya pengetahuan mengenai
pertukaran benih, persilangan, itu terjadi pada tataran komunitas dan dilakukan
secara komunal. Varietas hasil pemuliaan petani tidak memerlukan persyaratan
apapun dalam peredarannya di komunitas masing-masing. Fakta menunjukkan
benih-benih bersertifikat dari pemerintah tidak memberikan jaminan mutu,
jaminan tidak diserang hama, penyakit dan rakus pupuk serta pemisahan petani
dengan aktifitas pemulia tanaman akan menghilangkan pengetahuan budidaya
tanaman lokal dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak petani. Kemudian,
agenda penelitian untuk menemukan benih-benih baru, tidak melibatkan petani
sebagai subjek tanpa memperhitungkan kepentingan petani. Penelitian tersebut
hanya bersumber pada bisnis semata.
Pasal 60 ayat (1) menyatakan, “Barangasiapa dengan
sengaja: a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3); b. mengedarkan hasil pemuliaan
atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2);” Pasal 60 ayat (2) menyatakan, “Barang siapa karena kelalaiannya: a.
mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3); b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi
yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);”
Pasal 60 ayat (1) huruf a dan Huruf b dan ayat
(2) huruf a dan huruf b UU SBT bertentangan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sebab,
pemuliaan tanaman adalah hak asasi petani yang telah dipraktekan oleh petani
secara turun temurun semenjak pertanian itu ada. Oleh karenanya melakukan
pemidanaan terhadap pemuliaan tanaman oleh petani adalah pelanggaran Pasal 28G
ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itulah para pemohon dalam petitum meminta
Mahkamah menyatakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 6, Pasal 9 ayat
(3) sepanjang kata “perorangan”, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 60 ayat
(1) huruf a dan huruf b ayat (2) huruf a dan huruf b UU
SBT bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Nur Rosihin Ana)
SATISFY
KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar