Jakarta,
MKOnline - Ada atau tidak adanya permohonan peninjauan kembali (PK),
tidak menghalangi pelaksanaan putusan demi kepastian hukum yang adil.
Asas tersebut justru mengimplementasikan prinsip negara hukum.
Demikian
diantara pertimbangan hukum MK dalam gelar sidang pengucapan putusan
perkara Nomor 22/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 8/1981 tentang
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Jum’at (11/3/2011),
bertempat di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah
menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Permohonan
diajukan oleh Yusri Ardisoma Bin Urdiman. Pria kelahiran Subang, Jawa
Barat, ini menguji konstitusionalitas Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Yusri
mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1),
Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (5) UUD 1945 telah dilanggar
dengan berlakunya Pasal 268 ayat (1) UU tersebut.
Yusri
beralasan, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Subang Nomor
214/Pid/B/2006/PN.Sbg, bertanggal 28 Mei 2007, dia dinyatakan bersalah
karena melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian, berdasarkan putusan
tersebut, Yusri mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung yang
putusannya menguatkan Putusan PN Subang. Setelah itu, Yusri mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung.
Menurut
Yusri, Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: ”Permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan dari suatu putusan tersebut”, telah merugikan
hak konstitusionalnya. Sebab, berdasarkan pasal tersebut, harus ada
eksekusi terhadap dirinya. Di sisi lain, Yusri sedang melakukan upaya
hukum kasasi. Jika kasasi dikabulkan, sementara dia sudah menjalani
hukuman, hal tersebut hanya merehabilitasi hak-hak dan martabatnya.
Sedangkan penderitaan lahir batin dan keluarga sudah tidak bisa
dipulihkan lagi.
Mahkamah
dalam pertimbangan hukum menyatakan, pasal 268 ayat (1) KUHAP mengatur
tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, meskipun terhadap putusan tersebut terdapat upaya hukum
PK. Dengan kata lain bahwa pasal tersebut meneguhkan suatu asas bahwa
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harus
dilaksanakan.
Oleh
sebab itu, menurut Mahkamah, pasal yang dimohonkan pengujian tidak
menimbulkan kerugian konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus)
maupun yang bersifat aktual, serta tidak ada hubungan sebab-akibat
(causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya pasal yang
dimohonkan pengujian. Apalagi secara fakta, Pemohon sedang melakukan
upaya hukum kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi Bandung.
PK
merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh terpidana
atau ahli warisnya atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, sesuai dengan syarat yang ditentukan di dalam UU dan
tanpa dibatasi jangka waktunya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 264
ayat (3) KUHAP.
Oleh
karena itu, apabila ketentuan Pasal 268 ayat (1) tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, justru akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan, baik terhadap terpidana dan ahli warisnya
maupun bagi hukum itu sendiri. Kalau pun terdapat permasalahan, hal
tersebut bukan masalah konstitusionalitas norma, tetapi masalah
implementasi suatu norma.
Dalam
konklusinya, Mahkamah menyatakan berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tersebut. Namun, karena Pemohon tidak memenuhi syarat
kedudukan hukum (legal standing), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan
pokok permohonan. (Nur Rosihin Ana/mh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar