Sabtu, 12 Maret 2011

Tiada Kerugian Konstitusional, Uji Soal PK Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline - Ada atau tidak adanya permohonan peninjauan kembali (PK), tidak menghalangi pelaksanaan putusan demi kepastian hukum yang adil. Asas tersebut justru mengimplementasikan prinsip negara hukum.
Demikian diantara pertimbangan hukum MK dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara Nomor 22/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Jum’at (11/3/2011), bertempat di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Permohonan diajukan oleh Yusri Ardisoma Bin Urdiman. Pria kelahiran Subang, Jawa Barat, ini menguji konstitusionalitas Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Yusri mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (5) UUD 1945 telah dilanggar dengan berlakunya Pasal 268 ayat (1) UU tersebut.
Yusri beralasan, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Subang Nomor 214/Pid/B/2006/PN.Sbg, bertanggal 28 Mei 2007, dia dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian, berdasarkan putusan tersebut, Yusri mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung yang putusannya menguatkan Putusan PN Subang. Setelah itu, Yusri mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Menurut Yusri, Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: ”Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari suatu putusan tersebut”, telah merugikan hak konstitusionalnya. Sebab, berdasarkan pasal tersebut, harus ada eksekusi terhadap dirinya. Di sisi lain, Yusri sedang melakukan upaya hukum kasasi. Jika kasasi dikabulkan, sementara dia sudah menjalani hukuman, hal tersebut hanya merehabilitasi hak-hak dan martabatnya. Sedangkan penderitaan lahir batin dan keluarga sudah tidak bisa dipulihkan lagi.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyatakan, pasal 268 ayat (1) KUHAP mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun terhadap putusan tersebut terdapat upaya hukum PK. Dengan kata lain bahwa pasal tersebut meneguhkan suatu asas bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan.
Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, pasal yang dimohonkan pengujian tidak menimbulkan kerugian konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) maupun yang bersifat aktual, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian. Apalagi secara fakta, Pemohon sedang melakukan upaya hukum kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi Bandung.
PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh terpidana atau ahli warisnya atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sesuai dengan syarat yang ditentukan di dalam UU dan tanpa dibatasi jangka waktunya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 264 ayat (3) KUHAP.
Oleh karena itu, apabila ketentuan Pasal 268 ayat (1) tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, baik terhadap terpidana dan ahli warisnya maupun bagi hukum itu sendiri. Kalau pun terdapat permasalahan, hal tersebut bukan masalah konstitusionalitas norma, tetapi masalah implementasi suatu norma.
Dalam konklusinya, Mahkamah menyatakan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Namun, karena Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan. (Nur Rosihin Ana/mh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More