Jakarta,
MKOnline - Ketentuan mengenai pengajuan peninjauan kembali (PK) untuk
kasus-kasus yang menyangkut nama baik dan nyawa orang yang akan dihukum
mati atau hukuman seumur hidup hanya boleh satu kali. Sementara mereka
harus kehilangan nyawa, keluarga dan keturunan mereka. Padahal hak
untuk hidup dijamin dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, maka upaya pengajuan PK yang kedua kali dan seterusnya adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran materil akan mengembalikan citra dan martabat dari Lembaga Mahkamah Agung RI sebagai benteng terakhir Peradilan di Tanah Air.
Demikian dikatakan Muh. Burhanuddin, kuasa Pemohon, dalam sidang gelar perkara 10/PUU-IX/2011 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/3/2011). Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, didampingi dua anggota Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Permohonan diajukan oleh Liem Marita alias Aling. Aling mengujikan konstitusionalitas Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 Jo UU 5/2004 Jo UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Di hadapan Panel Hakim MK, Burhan menyampaikan perubahan permohonan, yaitu mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Burhan menuturkan kedudukan hukum (legal standing) kilennya adalah perorangan warga negara Indonesia yang dijatuhi hukuman Seumur Hidup berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali RI nomor 160 PK/PID.SUS/2009 Jo Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 895 K/Pid/2007 tanggal 27 April 2007 Jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 299/Pid/2006/PT.DKI tanggal 15 Januari 2007 Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 1234/Pid/B/2006/PN.JKT.UT tanggal 2 Nopember 2006. “Ini penekanan kami pada legal standing,” kata Burhan.
Pemohon juga menambahkan pasal dalam UUD 1945 sebagai batu uji. Dalam perbaikan, batu uji yang digunakan Pemohon yaitu Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1) Pasal 28I Ayat (1) berbunyi UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga mempertajam dalil-dalil yang tertuang dalam permohonan. Menurut Pemohon, urgensi dari upaya hukum PK adalah upaya hukum luar biasa yang merupakan upaya hukum yang bersifat koreksi atau memperbaiki kekeliruan, sehingga dapat dilakukan upaya pemulihan dengan mengoreksi yang salah. “Upaya koreksi hanya dapat dilakukan oleh badan peradilan tertinggi yang menjalankan penguasaan tertinggi terhadap jalannya peradilan,” kata kuasa hukum Burhan mendalilkan.
Selanjutnya, Burhan memaparkan mengenai fungsi pemidanaan. Menurutnya, fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan (retributive), tetapi juga merupakan aspek usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana. “Konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 Jo UU 5/2004 Jo UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, harus diubah sepanjang untuk hukuman mati dan hukuman seumur hidup dengan memperbolehkan pengajuan permohonan PK lebih dari sekali demi keadilan dan kebenaran materil atau substansif.
Aling melalui kuasanya meminta agar Mahkamah menyatakan pasal-pasal dalam UU yang diujikannya, inkonstitusional bersyarat dengan membolehkan PK lebih dari sekali untuk hukuman mati dan hukuman seumur hidup karena bertentangan dengan UUD RI tahun 1945. Selanjutnya, menyatakan pasal-pasal dalam UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya dengan dikecualikan bagi pemohon PK yang dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup dapat mengajukan PK lebih dari satu kali dalam perkara Pidana.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim mengesahkan alat bukti. Pemohon mengajukan sepuluh alat bukti, yaitu bukti P-1 sampai P-10. (Nur Rosihin Ana/mh)
Oleh karena itu, maka upaya pengajuan PK yang kedua kali dan seterusnya adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran materil akan mengembalikan citra dan martabat dari Lembaga Mahkamah Agung RI sebagai benteng terakhir Peradilan di Tanah Air.
Demikian dikatakan Muh. Burhanuddin, kuasa Pemohon, dalam sidang gelar perkara 10/PUU-IX/2011 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/3/2011). Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, didampingi dua anggota Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Permohonan diajukan oleh Liem Marita alias Aling. Aling mengujikan konstitusionalitas Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 Jo UU 5/2004 Jo UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Di hadapan Panel Hakim MK, Burhan menyampaikan perubahan permohonan, yaitu mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Burhan menuturkan kedudukan hukum (legal standing) kilennya adalah perorangan warga negara Indonesia yang dijatuhi hukuman Seumur Hidup berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali RI nomor 160 PK/PID.SUS/2009 Jo Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 895 K/Pid/2007 tanggal 27 April 2007 Jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 299/Pid/2006/PT.DKI tanggal 15 Januari 2007 Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 1234/Pid/B/2006/PN.JKT.UT tanggal 2 Nopember 2006. “Ini penekanan kami pada legal standing,” kata Burhan.
Pemohon juga menambahkan pasal dalam UUD 1945 sebagai batu uji. Dalam perbaikan, batu uji yang digunakan Pemohon yaitu Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1) Pasal 28I Ayat (1) berbunyi UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga mempertajam dalil-dalil yang tertuang dalam permohonan. Menurut Pemohon, urgensi dari upaya hukum PK adalah upaya hukum luar biasa yang merupakan upaya hukum yang bersifat koreksi atau memperbaiki kekeliruan, sehingga dapat dilakukan upaya pemulihan dengan mengoreksi yang salah. “Upaya koreksi hanya dapat dilakukan oleh badan peradilan tertinggi yang menjalankan penguasaan tertinggi terhadap jalannya peradilan,” kata kuasa hukum Burhan mendalilkan.
Selanjutnya, Burhan memaparkan mengenai fungsi pemidanaan. Menurutnya, fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan (retributive), tetapi juga merupakan aspek usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana. “Konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 Jo UU 5/2004 Jo UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, harus diubah sepanjang untuk hukuman mati dan hukuman seumur hidup dengan memperbolehkan pengajuan permohonan PK lebih dari sekali demi keadilan dan kebenaran materil atau substansif.
Aling melalui kuasanya meminta agar Mahkamah menyatakan pasal-pasal dalam UU yang diujikannya, inkonstitusional bersyarat dengan membolehkan PK lebih dari sekali untuk hukuman mati dan hukuman seumur hidup karena bertentangan dengan UUD RI tahun 1945. Selanjutnya, menyatakan pasal-pasal dalam UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya dengan dikecualikan bagi pemohon PK yang dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup dapat mengajukan PK lebih dari satu kali dalam perkara Pidana.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim mengesahkan alat bukti. Pemohon mengajukan sepuluh alat bukti, yaitu bukti P-1 sampai P-10. (Nur Rosihin Ana/mh)
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar