Jakarta,
MK Online – Para Pemohon tidak dapat membuktikan adanya kerugian hak
konstitusional dengan berlakunya Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa
yang diujikan para Pemohon. Sehingga permohonan para Pemohon tidak
terbukti dan tidak beralasan menurut hukum.
Demikian
pendapat Mahkamah dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor
121/PUU-VII/2009 mengenai uji materi Pasal 172 UU 4/2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pada Rabu (9/3/2011), di
Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan
menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Pemohon
Perkara ini adalah Nunik Elizabeth, Yusuf Merukh, PT Pukuafu Indah, PT
Bintang Purna Manggala, PT Lebong Tandai, PT Merukh Ama Coal, dan PT
Merukh Lores Coal. Pemohon memberikan kuasa hukum kepada Hamdan Zoelva,
Januardi S. Hariwibowo, R.A. Made Damayanti Zoelva, Wisye Hendrarwati,
Abdullah, dan Erni Rasyid yang kesemuanya adalah advokat pada kantor
Hukum Zoelva & Januardi.
Pemohon
sebagai perseorangan dan badan hukum, mendalilkan Pasal 172 UU 4/2009
bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 22A, dan Pasal 28D Ayat (1)
UUD 1945. Pasal 172 UU 4/2009 menyatakan, "Permohonan kontrak karya
dan perjanjian karya pertambangan batubara yang telah diajukan kepada
menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-undang
ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin
penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya
tanpa melalui lelang berdasarkan undang-undang ini." Yang dipersoalkan
Pemohon yaitu sepanjang frasa “kepada menteri paling lambat 1 (satu)
tahun” dan “sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin
penyelidikkan pendahuluan”.
Menurut Mahkamah, adanya pergantian UU tidak boleh menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (3) juncto Pasal 22A UUD 1945, pembentuk UU dalam UU Minerba membuat ketentuan peralihan sebagai penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku.
Menurut Mahkamah, adanya pergantian UU tidak boleh menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (3) juncto Pasal 22A UUD 1945, pembentuk UU dalam UU Minerba membuat ketentuan peralihan sebagai penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku.
Dalam
kasus tersebut, lanjut Mahkamah, jika tidak ada ketentuan peralihan,
justru merugikan para Pemohon, karena terhadap para Pemohon diberlakukan
lelang. Padahal para Pemohon telah mengajukan permohonan kontrak karya
dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (KK/PKP2B)
sebelum UU Minerba dibentuk. Lagi pula, permohonan KK/PKP2B yang
diajukan oleh para Pemohon telah direspons oleh pemerintah. Dengan
demikian dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 172 UU Minerba
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tidak beralasan hukum.
Beda Pendapat
Sidang
Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh tujuh hakim
konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku ketua merangkap anggota,
Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim,
Harjono, dan M. Akil Mochtar masing-masing sebagai anggota.
Dari
delapan hakim konstitusi yang memutus perkara ini dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH), terdapat satu hakim mengambil posisi
berbeda pendapat (dissenting opinion) yaitu Hakim Konstitusi M. Akil
Mochtar.
Menurut
Akil, sebagai ketentuan peralihan, Pasal 172 UU Minerba tidak menjamin
kepastian hukum bagi kesinambungan hak para Pemohon yang telah
mengajukan permohonan. Lebih lanjut Akil menyatakan, Pasal 172 UU
Minerba sepanjang frasa ,”...paling lambat 1 (satu) tahun...”, telah
bersifat retroaktif. Padahal seyogianya pemberlakuan suatu ketentuan
hukum positif untuk mewujudkan prinsip negara yang berdasarkan hukum,
harus memuat asas tidak berlaku surut (non-retroaktif), sesuai dengan
Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
“Oleh
karenanya semua aturan hukum hanya berlaku ke depan (prospektif).
Dengan demikian, menurut saya, ketentuan Pasal 172 Undang-Undang a quo
harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tandas Akil. (Nur Rosihin Ana/mh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar