Jakarta,
MKOnline - Kata ”daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 adalah
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Kata “daerah” dalam pasal
tersebut merupakan ketentuan yang bersifat umum yang menunjuk kepada
pengertian kedua daerah tersebut. Sebab, apabila kata ”daerah” menunjuk
kepada salah satu daerah, yaitu provinsi ataupun kabupaten/kota maka UU
tersebut akan menyebutkan dengan jelas mengenai maksud daerah.
Demikian
pendapat Mahkamah dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor
153/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 30/2007 tentang Energi, pada
Rabu (9/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan,
Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Permohonan
diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar)
yang dalam hal ini diwakili oleh Safrial (saat pengajuan permohonan
menjabat Bupati Tanjabbar). Pemohon menganggap hak konstitusionalnya
untuk menjamin kesejahteraan dan/atau kemakmuran rakyat di Kabupaten
Tanjabbar dirugikan oleh berlakunya Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat
(3) UU 30/2007. Menurutnya, pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon
mendalilkan Pasal 20 ayat (3) menyatakan, “Daerah penghasil sumber
energi mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi
setempat”, mengandung ketidakjelasan hukum. Kata "daerah” dalam pasal
tersebut tidak secara tegas menentukan apakah daerah yang dimaksud
adalah daerah kabupaten/kota ataukah daerah provinsi. Ketidakjelasan
pasal tersebut disebabkan karena Pasal 11 ayat (2) UU 32/2004 memberikan
landasan yuridis yang bersifat umum yang menyatakan, “Penyelenggaraan
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintah daerah yang saling
terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka Provinsi Jambi sebagai daerah atasan merasa
lebih berwenang mendapatkan prioritas energi dari Kab. Tanjabbar di mana
sumber energi tersebut berada. Selain itu, menurut Pemohon, rumusan
pasal tersebut sangat lentur, subjektif, dan sangat tergantung pada
interpretasi dari daerah provinsi maupun kab/kota sehingga daerah
provinsi berpotensi meminta jatah atau prioritas yang lebih besar atas
sumber energi yang ada dalam wilayah kabupaten/kota di mana sumber
energi tersebut berada.
Tak Beralasan Hukum
Mahkamah
dalam pendapatnya meyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”daerah” dalam
Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 sudah jelas, sehingga tidak menimbulkan
ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Oleh karena
itu, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Selanjutnya,
mengenai dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 23 ayat (3) UU30/2007
yang menyatakan, “Pengusahaan jasa energi hanya dapat dilakukan oleh
badan usaha dan perseorangan”, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Kata “badan usaha” dalam pasal ini, dalil Pemohon, mengandung
rumusan yang mengambang karena dapat diinterpretasikan BUMN, BUMD
provinsi atau BUMD kabupaten/kota ataupun badan usaha dalam bentuk
lainnya. Menurut Pemohon, kata "badan usaha" dalam pasal tersebut harus
dimaknai BUMD kabupaten/kota.
Mahkamah
berpendapat, pengertian badan usaha dengan tegas telah dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 12 UU 30/2007 yang menyatakan, “Badan usaha adalah
perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat
tetap, terus menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut Mahkamah, “badan usaha” yang
tercantum dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 adalah sama dengan “badan
usaha” yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007. Selain itu,
Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007 dengan tegas menyebutkan
macam-macam badan usaha, yaitu meliputi BUMN, BUMD, koperasi, dan badan
usaha swasta.
Mahkamah
sependapat dengan pemerintah bahwa perbedaan prinsip Pasal 23 ayat (2)
dan ayat (3) UU tersebut adalah terletak bentuk pengusahaannya, yaitu
mengenai “pengusahaan energi” dan “pengusahaan jasa energi”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah berpendapat, “badan usaha”
dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 tidak dapat dimaknai hanya terbatas
pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dengan demikian, dalil Pemohon
yang memohon agar badan usaha diartikan secara sempit hanya BUMD saja
adalah tidak beralasan hukum.
Sidang
Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh delapan hakim
konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku ketua merangkap anggota, Achmad
Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim,
Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai anggota.
Alhasil,
Mahkamah dalam amar putusan, menyatakan menolak seluruh permohonan.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya” kata Ketua
Pleno Moh. Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin Ana/mh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar