Jakarta,
MKOnline - Sertifikasi veteriner tidak dilakukan terhadap daging
anjing. Sebab menurut ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia
(Office Internationale des Epizooties, OIE) dan Codex Alimentarius
Commission (CAC), daging anjing tidak termasuk hewan potong untuk
dikonsumsi manusia. Anjing termasuk kategori hewan kesayangan atau pet
animal. Apabila daging anjing dikonsumsi oleh manusia, menurut OIE dan
CAC dianggap melanggar prinsip kesejahteraan hewan atau animal welfare.
Begitu
juga sertifikasi veteriner tidak dilakukan terhadap penjualan eceran
daging babi tapi dilakukan pada unit usaha peternakan. “Sertifikasi
veteriner terhadap babi dilakukan terhadap sistem produksi di unit usaha
peternakannya yang harus memenuhi ketentuan kesehatan masyarakat
veteriner, syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan, tidak dilakukan
terhadap penjualan eceran daging babi.”
Demikian
simpulan keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Dirjen Peternakan
dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, drh. Prabowo Respatiyo
Caturroso,M.M.,Ph.D. di hadapan majelis Sidang Panel Khusus Mahkamah
Konstitusi (MK), Selasa (29/3/2011). Keterangan ini merupakan tanggapan
Pemerintah atas pengujian konstitusionalitas Pasal 58 Ayat (4) UU No.
18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang dimohonkan
oleh Deni Juhaeni, I. Griawan Wijaya, Netty Retta Herawaty Hutabarat,
dan Bagus Putu Mantra.
Para
pemohon yang berprofesi sebagai pedagang telur ayam, pedagang daging
babi, pedagang daging anjing, dan peternak babi ini menyatakan hak-hak
konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 58 ayat (4) UU
18/2009 yang menyatakan: "Produk hewan yang diproduksi di dan/atau
dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan
wajib disertai Sertifikat Veteriner dan Sertifikat Halal." Ketentuan
tersebut menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2),
Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Sidang
perkara Nomor 2/PUU-IX/2011 ini dilaksanakan oleh Panel Khusus Hakim
Konstitusi Maria Farida Indrati sebagai Ketua Panel Khusus, didampingi
Anggota Panel Khusus M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi
dan Hamdan Zoelva.
Menurut
Prabowo, usaha yang dijalani Pemohon 1, tidak termaksuk kategori jenis
usaha yang diatur dalam Pasal 58 ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Sehingga berlakunya ketentuan pasal dan ayat tersebut tidak
menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon 1. yang berprofesi
sebagai pedagang telur.
Sedangkan
untuk Pemohon 2, Pemohon 3, dan Pemohon 4, yang masing-masing sebagai
pedagang daging babi, pedagang daging anjing dan peternak babi, tidak
mungkin usahanya disertai sertifikat halal sebagaimana Pasal 58 Ayat (4)
UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal ini, lanjut Prabowo, sesuai
dengan kriteria General Guidelines for Use of the Term “Halal” CAC/GL
24-1997.
Pengertian
halal dalam ketentuan Pasal 58 Ayat (4) hanya ditujukan kepada hewan
dan produknya yang dipersyaratkan. “Para pemohon sendiri menyatakan
bahwa produk-produk yang dijualnya sebagai tidak halal,” tandas Prabowo.
Pemohon,
kata Prabowo, kurang jeli memahami ketentuan pasal. “Pemohon
seharusnya memperhatikan bahwa ketentuan Pasal 58 Ayat (4) UU
Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak berdiri sendiri, namun, berkaitan
dengan Ayat (6) yang menyatakan, ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan
Menteri Pertanian,” lanjutnya.
Implikasi Negatif
Pemerintah
menanggapi permohonan uji materi ini justru berfikir sebaliknya.
Sebab, jika ketentuan Pasal 58 Ayat (4) jika dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan mengikat, dikhawatirkan akan menimbulkan implikasi negatif
yaitu, tidak ada jaminan keamanan dan kesehatan pangan bagi produk hewan
yang diproduksi di/dan/atau dimasukkan ke wilayah RI untuk diedarkan.
Kemudian,
kekhawatiran terjadinya disharmoni hukum, implikasi benturan antar UU
karena penyusunan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan mempertimbangkan
semua produk UU yang telah diundangkan, antara lain UU 16/1992 tentang
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, UU 7/1994 tentang Pengesahan
Agreement Assembling the World Threat Organization, UU 7/1996 tentang
Pangan, dan UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan
implikasi negatif lainnya yaitu terjadinya konflik horisontal antar
pemeluk agama yang berbeda.
Berdasarkan
dalil-dalil yang disampaikan dalam paparan Prabowo, Pemerintah
berharap Mahkamah dalam putusannya berkenan menolak permohonan Para
Pemohon seluruhnya. (Nur Rosihin Ana/mh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar