Jakarta,
MKOnline - Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian yang dialami para
Pemohon karena adanya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian,
tetapi karena para Pemohon merasa mendapatkan tindakan sewenang-wenang
akibat berlarut-larutnya penahanan terhadap para Pemohon karena tidak
segera diajukan ke sidang pengadilan.
Demikian
pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gelar sidang
pengucapan putusan perkara nomor 41/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU
8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP), pada
Kamis (10/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar
putusan, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat
diterima.
Permohonan
diajukan oleh Chairulhadi, Afdal Azmi Jambak, Yanto Kurniawan,
Carmadi, Sugeng Hari Santoro, Fransiskus Januarta, Dede Kusmanto, Ryan
M, Andi W, Robby Sugiharto, Kamari, Oktavian, Riang Ayus A, Sigit P,
Siperianto, Ely Irwan Harahap, Ahmad Zulpan Daulay, dan Tedung Siahaan.
Para Pemohon mengujikan konstitusionalitas Pasal 21 ayat (1), Pasal 24
ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) UU 8/1981 tentang KUHAP.
Para
Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian konstitusional dengan
berlakunya pasal-pasal dalam UU KUHAP. Dengan pasal-pasal dalam UU
tersebut, Bareskrim Polri selaku penyidik perkara pidana telah menangkap
dan menahan para Pemohon secara sewenang-wenang selama 20 hari yang
kemudian diperpanjang oleh Kejaksaan sebagai penuntut umum selama 40
hari, dilanjutkan penahanan oleh Kejaksaan dan selanjutnya oleh
Pengadilan Negeri.
Menurut
para Pemohon, Penyidik tidak melakukan optimalisasi penyidikan, tetapi
hanya semata-mata melakukan penahanan tanpa tujuan yang jelas,
sehingga para Pemohon hanya menunggu ketidakpastian pelimpahan berkas
perkara untuk disidangkan oleh pengadilan. Tindakan penahanan telah
merugikan hak konstitusional para Pemohon berdasarkan Pasal 28A UUD
1945, karena para Pemohon dihukum sebelum dibuktikan kesalahannya dalam
proses persidangan di pengadilan dan ditahan dengan masa perpanjangan
yang berulang-ulang tanpa dilakukan lagi proses penyidikan yang
maksimal untuk segera melimpahkan berkas perkara ke tahap selanjutnya.
Di
samping itu, tindakan penahanan dan perpanjangan penahanan
mengakibatkan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas kepastian
hukum yang adil sebagai prasyarat yang tidak dapat dipisahkan dari
negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Menurut
Mahkamah, tindakan penangkapan dan penahanan dalam perkara pidana
terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku adalah tindakan yang dimungkinkan untuk dilakukan oleh
aparat penegak hukum demi kepentingan hukum. Tindakan demikian
diperbolehkan oleh hukum negara di mana pun. Apalagi tindakan penahanan
terhadap para Pemohon tidak melampaui waktu yang ditetapkan dalam UU.
Walaupun
tindakan penangkapan dan penahanan adalah bentuk pembatasan terhadap
kebebasan dan kemerdekaan individu, tetapi pembatasan yang demikian
adalah pembatasan yang dimungkinkan berdasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD
1945, sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan UU dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam masyarakat demokratis.
Lagi
pula, menurut Mahkamah, apabila kewenangan penangkapan dan penahanan
berdasarkan norma pasal-pasal dalam UU yang dimohonkan pengujian
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat, maka akan menyulitkan dan mengancam penegakan hukum
dan keadilan untuk ketertiban masyarakat secara keseluruhan.
Tiada Kerugian Konstitusional
Hal
yang dipersoalkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, adalah mengenai
implementasi norma pasal-pasal dalam UU KUHAP, khususnya terhadap para
Pemohon yang merasa mendapat perlakuan sewenang-wenang, bukan
persoalan inkonstitusionalitas norma pasal yang dimohonkan pengujian.
Artinya, pasal-pasal tersebut secara normatif tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
Oleh
sebab itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mengalami kerugian
konstitusional akibat berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan
pengujian, melainkan karena penerapan norma dalam praktik. Lagi pula,
jika pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dikabulkan, kerugian para
Pemohon tidak akan hilang, bahkan justru menimbulkan kesewenang-wenangan
yang lebih besar karena tidak ada lagi pembatasan masa penahanan
terhadap setiap tersangka oleh Penyidik atau Penuntut Umum di kemudian
hari sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan,
sehingga Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan.
Sidang
Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksnaakan oleh delapan Hakim
Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad
Sodiki, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad
Fadlil Sumadi, Harjono, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai
Anggota.
Alhasil,
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat
diterima, “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,”
kata Ketua Pleno Moh. Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin
Ana/mh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar