Jumat, 11 Maret 2011

Tak Miliki Legal Standing, Permohonan Uji KUHAP Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline - Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian yang dialami para Pemohon karena adanya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, tetapi karena para Pemohon merasa mendapatkan tindakan sewenang-wenang akibat berlarut-larutnya penahanan terhadap para Pemohon karena tidak segera diajukan ke sidang pengadilan.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gelar sidang pengucapan putusan perkara nomor 41/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP), pada Kamis (10/3/2011), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Permohonan diajukan oleh Chairulhadi, Afdal Azmi Jambak, Yanto Kurniawan, Carmadi, Sugeng Hari Santoro, Fransiskus Januarta, Dede Kusmanto, Ryan M, Andi W, Robby Sugiharto, Kamari, Oktavian, Riang Ayus A, Sigit P, Siperianto, Ely Irwan Harahap, Ahmad Zulpan Daulay, dan Tedung Siahaan. Para Pemohon mengujikan konstitusionalitas Pasal 21 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) UU 8/1981 tentang KUHAP.
Para Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal dalam UU KUHAP. Dengan pasal-pasal dalam UU tersebut, Bareskrim Polri selaku penyidik perkara pidana telah menangkap dan menahan para Pemohon secara sewenang-wenang selama 20 hari yang kemudian diperpanjang oleh Kejaksaan sebagai penuntut umum selama 40 hari, dilanjutkan penahanan oleh Kejaksaan dan selanjutnya oleh Pengadilan Negeri.
Menurut para Pemohon, Penyidik tidak melakukan optimalisasi penyidikan, tetapi hanya semata-mata melakukan penahanan tanpa tujuan yang jelas, sehingga para Pemohon hanya menunggu ketidakpastian pelimpahan berkas perkara untuk disidangkan oleh pengadilan. Tindakan penahanan telah merugikan hak konstitusional para Pemohon berdasarkan Pasal 28A UUD 1945, karena para Pemohon dihukum sebelum dibuktikan kesalahannya dalam proses persidangan di pengadilan dan ditahan dengan masa perpanjangan yang berulang-ulang tanpa dilakukan lagi proses penyidikan yang maksimal untuk segera melimpahkan berkas perkara ke tahap selanjutnya.
Di samping itu, tindakan penahanan dan perpanjangan penahanan mengakibatkan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas kepastian hukum yang adil sebagai prasyarat yang tidak dapat dipisahkan dari negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, tindakan penangkapan dan penahanan dalam perkara pidana terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah tindakan yang dimungkinkan untuk dilakukan oleh aparat penegak hukum demi kepentingan hukum. Tindakan demikian diperbolehkan oleh hukum negara di mana pun. Apalagi tindakan penahanan terhadap para Pemohon tidak melampaui waktu yang ditetapkan dalam UU.
Walaupun tindakan penangkapan dan penahanan adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan dan kemerdekaan individu, tetapi pembatasan yang demikian adalah pembatasan yang dimungkinkan berdasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
Lagi pula, menurut Mahkamah, apabila kewenangan penangkapan dan penahanan berdasarkan norma pasal-pasal dalam UU yang dimohonkan pengujian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka akan menyulitkan dan mengancam penegakan hukum dan keadilan untuk ketertiban masyarakat secara keseluruhan.
Tiada Kerugian Konstitusional
Hal yang dipersoalkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, adalah mengenai implementasi norma pasal-pasal dalam UU KUHAP, khususnya terhadap para Pemohon yang merasa mendapat perlakuan sewenang-wenang, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma pasal yang dimohonkan pengujian. Artinya, pasal-pasal tersebut secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, melainkan karena penerapan norma dalam praktik. Lagi pula, jika pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dikabulkan, kerugian para Pemohon tidak akan hilang, bahkan justru menimbulkan kesewenang-wenangan yang lebih besar karena tidak ada lagi pembatasan masa penahanan terhadap setiap tersangka oleh Penyidik atau Penuntut Umum di kemudian hari sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, sehingga Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan.
Sidang Pleno MK terbuka untuk umum ini dilaksnaakan oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota.
Alhasil, Mahkamah dalam amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Moh. Mahfud MD di ujung persidangan. (Nur Rosihin Ana/mh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More