Jakarta,
MKOnline - Pengujian konstitusional materi UU 12/1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan (UU PBB), kembali digelar di Mahkamah Konstitusi
(MK), Rabu (30/3/2011). Sidang Pleno untuk perkara 77/PUU-VIII/2010 ini
mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah dan Ahli Pemohon.
Permohonan ini diajukan oleh PT West Irian Fishing Industries, PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development, dan PT Alfa Kurnia. Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (1) UU PBB yang menyatakan: ““Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.”
Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan tersebut berdampak munculnya beban pungutan berganda yaitu PBB dan pungutan bukan pajak. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, sehingga menurut para Pemohon, Pasal 4 ayat (1) UU PBB bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Pemerintah melalui Dirjen Pajak dalam keterangannya menyatakan para Pemohon tidak dapat mengonstruksikan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma yang diujikan. ”Para Pemohon tidak secara tegas dan jelas menguraikan kerugian konstitusionalitas yang dialami, baik yang bersifat aktual maupun potensial atas berlakunya norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut,” tegas Dirjen Pajak Dr. Fuad Rahmany di hadapan Pleno Hakim MK.
Fuad mendalilkan Pasal 23A UUD 1945 mengamanatkan bahwa segala pengenaan beban pajak kepada rakyat harus dituangkan dalam UU. Penjabaran Pasal 23A UUD 1945 ini dibuktikan dengan terbitnya berbagai UU di bidang perpajakan yaitu, UU 6/1983, UU 7/1983, UU 8/1983, UU 19/1997, UU 13/1985, dan UU 12/1985. “Bahwa perundang-undangan di bidang perpajakan tersebut, termasuk Undang-Undang PBB, telah memuat ketentuan yang jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda, atau memberikan peluang atau ditafsirkan lain. Bahkan, dalam Undang-Undang PBB telah diatur secara jelas dan tegas mengenai objek, subjek, tarif, dan sanksi,” papar Fuad Rahmany.
Pemerintah melalui Dirjen Pajak lebih jauh menanggapi permohonan mengenai kerugian akibat pemberlakuan pajak berganda, yaitu pengenaan PBB Usaha Bidang Perikanan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UUD PBB dan Pasal 48 Ayat (1) UU 31/2004 tentang Perikanan (UU Perikanan). Para Pemohon berpendapat, pungutan atas hasil produksi usaha perikanan lebih tepat dikenakan berdasarkan UU perikanan, dan bukan berdasarkan UU PBB.
Menurut Pemerintah, para Pemohon secara tidak langsung mempertentangkan antara UU PBB dengan UU Perikanan. Sehingga Pemerintah berpendapat, pengujian UU terhadap UU bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan uji materiil di MK. “Seandainya pun benar (quad non), dalam penerapan ketentuan kedua undang-undang tersebut terdapat pertentangan, hendaknya para Pemohon mengajukan permohonan melalui mekanisme legislative review dan bukan constitutional review,” tegas Fuad Rahmany.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU PBB, kata Fuad, subjek PBB termasuk orang atau badan yang menguasai dan atau peroleh manfaat atas perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku bagi semua orang atau badan tanpa diskriminasi. “Sangatlah tepat apabila para Pemohon selaku perusahaan di bidang penangkapan ikan menjadi subjek PBB,” simpul Fuad.
“Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memutuskan untuk menyatakan permohonan para Pemohon dalam pengujian Pasal 4 ayat (1) UU PBB terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima,” pinta Fuad Rahmany di ujung paparannya.
Ketentuan Tak Jelas
Berbeda dengan keterangan Pemerintah, Dr. Dwi Andayani Budisetyowati, S.H.,M.H. yang didapuk Pemohon sebagai Ahli mengatakan ketentuan dalam UU PBB kurang jelas. Sebab peraturan pelaksanaannya mulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen dan Surat Edaran Dirjen Keuangan, sama sekali tidak menyebut Usaha Perikanan. “Tidak ada satu pun judul yang menyebut-nyebut soal areal laut, artinya, usaha perikanan”, papar Dwi Andayani.
Ahli Pemohon selanjutnya, Arif Satria, menyontohkan tiga model fishing right di yang berlaku di Jepang. Pertama common fishing right yaitu kegiatan perikanan berupa penangkapan dengan jaring. Kedua, set net fishing right, penangkapan menggunakan jaring tapi bersifat statis. Ketiga, demarcated fishing right yaitu kegiatan budidaya kelautan. “Jadi setiap nelayan memiliki titik-titik ordinat tertentu bahwa misalnya si A akan memiliki titik ordinat sekian untuk mengembangkan perikanan budidaya,” terang Arif.
Arif Satria yang juga Anggota Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan ini dalam paparannya menyatakan, perikanan tangkap memang dihadapkan pada kondisi bahwa laut adalah sebuah common goods, dimana ciri-ciri common goods adalah high revellery dan low excludability. “Jadi izin yang dilakukan oleh pemerintah adalah izin pada satuan wilayah tertentu pada WPOP, yang kemudian dengan WPOP yang seluas itu untuk sekian jumlah kapal dan sekian jumlah pelaku,” terang Arif. Kegiatan perikanan tangkap pada intinya bukanlah merupakan kegiatan yang para pelakunya mendapatkan exclusive right.
Arif juga membeberkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil perikanan. Tahun 2005, PNBP hasil perikanan Rp. 293 Miliar, tahun 2006 Rp. 215 Miliar, tahun 2007 Rp. 134 Miliar, tahun 2008 Rp. 104 Miliar, dan 2009 Rp. 90 Miliar. “Saya melihat makin lama makin menurun. Ini karena terkait dengan kondisi perikanan yang seperti itu, apalagi dengan kebijakan BBM yang luar biasa tingginya, maka banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar, dan kemudian menyebabkan sumbangan sektor perikanan terhadap PNBP menjadi menurun. Dan saya perkirakan 2010 dan 2011, semakin turun lagi,” beber Arif. (Nur Rosihin Ana/mh)
Permohonan ini diajukan oleh PT West Irian Fishing Industries, PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development, dan PT Alfa Kurnia. Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (1) UU PBB yang menyatakan: ““Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.”
Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan tersebut berdampak munculnya beban pungutan berganda yaitu PBB dan pungutan bukan pajak. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, sehingga menurut para Pemohon, Pasal 4 ayat (1) UU PBB bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Pemerintah melalui Dirjen Pajak dalam keterangannya menyatakan para Pemohon tidak dapat mengonstruksikan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma yang diujikan. ”Para Pemohon tidak secara tegas dan jelas menguraikan kerugian konstitusionalitas yang dialami, baik yang bersifat aktual maupun potensial atas berlakunya norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut,” tegas Dirjen Pajak Dr. Fuad Rahmany di hadapan Pleno Hakim MK.
Fuad mendalilkan Pasal 23A UUD 1945 mengamanatkan bahwa segala pengenaan beban pajak kepada rakyat harus dituangkan dalam UU. Penjabaran Pasal 23A UUD 1945 ini dibuktikan dengan terbitnya berbagai UU di bidang perpajakan yaitu, UU 6/1983, UU 7/1983, UU 8/1983, UU 19/1997, UU 13/1985, dan UU 12/1985. “Bahwa perundang-undangan di bidang perpajakan tersebut, termasuk Undang-Undang PBB, telah memuat ketentuan yang jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda, atau memberikan peluang atau ditafsirkan lain. Bahkan, dalam Undang-Undang PBB telah diatur secara jelas dan tegas mengenai objek, subjek, tarif, dan sanksi,” papar Fuad Rahmany.
Pemerintah melalui Dirjen Pajak lebih jauh menanggapi permohonan mengenai kerugian akibat pemberlakuan pajak berganda, yaitu pengenaan PBB Usaha Bidang Perikanan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UUD PBB dan Pasal 48 Ayat (1) UU 31/2004 tentang Perikanan (UU Perikanan). Para Pemohon berpendapat, pungutan atas hasil produksi usaha perikanan lebih tepat dikenakan berdasarkan UU perikanan, dan bukan berdasarkan UU PBB.
Menurut Pemerintah, para Pemohon secara tidak langsung mempertentangkan antara UU PBB dengan UU Perikanan. Sehingga Pemerintah berpendapat, pengujian UU terhadap UU bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan uji materiil di MK. “Seandainya pun benar (quad non), dalam penerapan ketentuan kedua undang-undang tersebut terdapat pertentangan, hendaknya para Pemohon mengajukan permohonan melalui mekanisme legislative review dan bukan constitutional review,” tegas Fuad Rahmany.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU PBB, kata Fuad, subjek PBB termasuk orang atau badan yang menguasai dan atau peroleh manfaat atas perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku bagi semua orang atau badan tanpa diskriminasi. “Sangatlah tepat apabila para Pemohon selaku perusahaan di bidang penangkapan ikan menjadi subjek PBB,” simpul Fuad.
“Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memutuskan untuk menyatakan permohonan para Pemohon dalam pengujian Pasal 4 ayat (1) UU PBB terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima,” pinta Fuad Rahmany di ujung paparannya.
Ketentuan Tak Jelas
Berbeda dengan keterangan Pemerintah, Dr. Dwi Andayani Budisetyowati, S.H.,M.H. yang didapuk Pemohon sebagai Ahli mengatakan ketentuan dalam UU PBB kurang jelas. Sebab peraturan pelaksanaannya mulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen dan Surat Edaran Dirjen Keuangan, sama sekali tidak menyebut Usaha Perikanan. “Tidak ada satu pun judul yang menyebut-nyebut soal areal laut, artinya, usaha perikanan”, papar Dwi Andayani.
Ahli Pemohon selanjutnya, Arif Satria, menyontohkan tiga model fishing right di yang berlaku di Jepang. Pertama common fishing right yaitu kegiatan perikanan berupa penangkapan dengan jaring. Kedua, set net fishing right, penangkapan menggunakan jaring tapi bersifat statis. Ketiga, demarcated fishing right yaitu kegiatan budidaya kelautan. “Jadi setiap nelayan memiliki titik-titik ordinat tertentu bahwa misalnya si A akan memiliki titik ordinat sekian untuk mengembangkan perikanan budidaya,” terang Arif.
Arif Satria yang juga Anggota Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan ini dalam paparannya menyatakan, perikanan tangkap memang dihadapkan pada kondisi bahwa laut adalah sebuah common goods, dimana ciri-ciri common goods adalah high revellery dan low excludability. “Jadi izin yang dilakukan oleh pemerintah adalah izin pada satuan wilayah tertentu pada WPOP, yang kemudian dengan WPOP yang seluas itu untuk sekian jumlah kapal dan sekian jumlah pelaku,” terang Arif. Kegiatan perikanan tangkap pada intinya bukanlah merupakan kegiatan yang para pelakunya mendapatkan exclusive right.
Arif juga membeberkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil perikanan. Tahun 2005, PNBP hasil perikanan Rp. 293 Miliar, tahun 2006 Rp. 215 Miliar, tahun 2007 Rp. 134 Miliar, tahun 2008 Rp. 104 Miliar, dan 2009 Rp. 90 Miliar. “Saya melihat makin lama makin menurun. Ini karena terkait dengan kondisi perikanan yang seperti itu, apalagi dengan kebijakan BBM yang luar biasa tingginya, maka banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar, dan kemudian menyebabkan sumbangan sektor perikanan terhadap PNBP menjadi menurun. Dan saya perkirakan 2010 dan 2011, semakin turun lagi,” beber Arif. (Nur Rosihin Ana/mh)