Pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) pada dasarnya diawali niat yang baik untuk memperbaiki praktek pengelolaan zakat di Indonesia yang sebelumnya diatur oleh UU Nomor 38 Tahun 1999. Niat baik UUPZ yakni untuk memodernisasi dan memaksimalisasi kemanfaatan zakat serta mengontrol lembaga yang tidak akuntabel.
Namun, niat baik ini dilakukan dengan cara yang kurang tepat. UUPZ mengatur terlalu ketat dan hampir tidak menyisakan ruang untuk masyarakat sipil memberdayakan dirinya sendiri. Padahal praktek zakat sudah menjadi tradisi bagi masyarakat. Zakat dan dana kedermawanan ini telah mendorong penguatan masyarakat sipil di Indonesia menjadi lebih independent. Pemberlakuan UUPZ ini akan menurunkan praktek zakat dan memperlemah civil society.
UUPZ berdampak signifikan bagi Lembaga Amil Zakat (LAZ), amil perorangan, takmir masjid yang berjumlah sekitar 710.000 masjid di Indonesia, pesantren dan madrasah. Sulit bagi mereka untuk tidak mengelola zakat atau menolak mengelola zakat, apalagi zakat fitrah walaupun ada ancaman kriminalisasi. Tidak mudah bagi pengelola zakat tradisional untuk masuk pada pengelolaan zakat modern menjadi LAZ.
Bagi pengelola zakat tradisional, opsi menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sangat tidak tepat. Sebab pengelolaan zakat tidak hanya terbatas mengumpulkan tapi juga harus mendistribusikan. Takmir masjid, amil, mendapat amanah dari masyarakat untuk mengelola yang artinya sampai pada pendistribusian. Justru keberhasilan pada pendistribusian inilah yang menjadi tolak ukur kepercayaan masyarakat.
Dalam UUPZ disebutkan masyarakat dapat membantu dan berperan serta melaksanakan kegiatan pengelolaan zakat dengan membentuk LAZ. Namun substansinya akan sulit karena persyaratan yang begitu berat dan belum tentu pihak pemerintah siap dengan infrastrukturnya. Selain itu, LAZ memiliki subkultur sendiri yang berbeda dengan Badan Amil Zakat (BAZ). LAZ juga akan sulit untuk bertransformasi menjadi ormas.
Hak individu Muslim untuk berkumpul dan berorganisasi khususnya untuk menjalankan amanah dan kepercayaan masyarakat dalam hal mengelola zakat menjadi terhalangi. Begitu pula hak individu Muslim untuk melaksanakan kepercayaan agamanya untuk memberikan zakat kepada lembaga yang dipercayainya menjadi terbatasi.
“Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 mempersempit dan menghalangi hak individu untuk menunaikan zakat. Dalam prakteknya zakat mal, zakat fitrah, sedekah dan wakaf itu sulit dipisahkan. BAZ, LAZ selain mengelola dana zakat juga mengelola dana sedekah dan undang-undang zakat juga di dalamnya juga menyebutkan dana sosial lain selain zakat dan kepercayaan itu tidak mudah didapatkan begitu saja untuk mengelola zakat. Seyogianya undang-undang ini bisa diperbaiki untuk dapat memberi ruang bagi praktisi zakat civil society untuk tetap eksis.”
Pernyataan tersebut disampaikan pakar sejarah filantropi, Dr. Amelia Fauzia, di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (17/10/2012). Amelia dihadirkan sebagai ahli oleh pemohon perkara Nomor 86/PUU-X/2012 ihwal uji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ). Sidang kali keempat yang digelar di ruang pleno lt 2 gedung MK ini beragendakan mendengar keterangan DPR, Pemerintah, dan saksi.
Amelia dalam paparannya di hadapan hakim konstitusi menyatakan, aspek normatif kewajiban berzakat dalam Islam tidak berubah sejak abad 7 sampai saat ini. Kendati demikian, mekanisme pelaksanaan zakat terkait erat dengan fenomena sosial, ekonomi, dan politik umat Islam. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa secara umum telah terjadi transformasi atau pergeseran praktik pengelolaan zakat dari kewajiban agama yang ditunaikan kepada penguasa, dalam hal ini negara, menjadi kewajiban individu.
Hasil ijtihad Utsman ibn Affan menyatakan harta yang dizakatkan dibagi menjadi harta yang terlihat (al-amwâl al-zhâhiriyyah) dan harta yang tidak terlihat (al-amwâl al-bâthiniyyah). Saat itu hanya al-amwâl al-zhâhiriyyah seperti hasil pertanian yang zakatnya diserahkan kepada negara. Kebijakan ini antara lain untuk membatasi perilaku tidak amanah kolektor zakat. Khalifah Utsman ibn Affan mempersilakan kaum muslimin untuk menunaikan zakatnya melalui lembaga pemerintah (ulil amri) atau secara langsung kepada mustahik. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab “Al-Amwâl”. “Kitab ‘Al-Amwâl menunjukkan bahwa pandangan dan praktik-praktik pemberian zakat kepada individu, selain penguasa itu sudah ada,” terang Amelia.
Lebih lanjut Amelia Fauzia menyatakan, empat Imam Mazhab yaitu Malik ibn Anas (Imam Malik), Ahmad ibn Hambal (Imam Hambali), Abu Hanifah an-Nu’man (Imam Hanafi) dan Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i) membolehkan pengumpulan zakat oleh penguasa dengan syarat bahwa penguasa tersebut bersikap adil. Imam Malik membolehkan pengumpulan zakat oleh negara, tetapi menolak adanya pemaksaan oleh negara. Menurut Malik, pembayaran zakat harus diserahkan kepada individu-individu untuk memutuskan apa yang mereka ingin bayar. Imam Syafi’i juga mendukung pendapat ini dan menambahkan bahwa individu bisa membayar seluruh atau sebagian dari zakat mereka kepada negara. Pendapat ini terutama didasari pada keraguan atas legitimasi penguasa dan ketidakpercayaan terhadap pengelolaan zakat yang baik pada masa itu,” lanjut Amelia.
Pada Abad ke-10, zakat merupakan salah satu pemasukan untuk negara meskipun tidak signifikan karena di sisi lain, pelaksanaan pajak dan zakat diwarnai praktik korupsi. Abu Yusuf dalam kitabnya, “Al-Kharaj”, mengritik sekaligus memberikan masukan kepada Khalifah Harun Al-Rasyid tentang bagaimana mereformasi administrasi pajak dan zakat untuk melindungi rakyat. Pada masa Dinasti Fathimiyah, kolektor zakat hampir tidak ada. Imam Al-Ghazali menceritakan hanya sejumlah kecil muslim Sunni membayar zakat mâl dan mereka tidak membayar kepada negara.
Praktik zakat kemudian bergeser kepada distribusi zakat oleh masyarakat. Praktik pembayaran zakat dilakukan oleh individu ke beberapa pemimpin lokal, seperti ulama, imam, syaikh, yang berperan sebagai distributor (amil) dan sekaligus penerima manfaat zakat. “Praktik inilah juga yang terdapat di Indonesia,” terang Amelia.
Pengumpulan dan distribusi zakat oleh individu maupun kelompok semakin berkembang dan memunculkan organisasi atau lembaga keislaman yang mengelola zakat. Hal ini terjadi pada abad ke-18 dan abad ke-19 di mana banyak masyarakat muslim yang hidup di bawah pemerintah non-muslim. Para ulama melarang pembayaran zakat kepada penguasa yang tidak adil atau penguasa muslim yang berada di bawah otoritas orang-orang kafir.
Setelah periode kolonialisme, banyak negara muslim yang merdeka dan mengatur zakat sebagai praktik swasta oleh umat Islam tanpa keterlibatan manajemen negara. Saat ini ada 6 negara Islam, yaitu Saudi Arabia, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan, dan Sudan yang menerapkan pembayaran zakat mâl tertentu. Negara-negara ini juga mengatur sanksi terhadap orang-orang yang tidak patuh membayar zakat, tetapi pelaksanaannya tidak dijalankan sungguh-sungguh. “Pengelolaan zakat ini juga tidak maksimal dan tidak dapat dijadikan model yang tepat untuk fenomenal zakat di Indonesia,” saran Amelia.
Ruang partisipasi publik dalam praktik zakat sangat besar. Sejarah pengelolaan zakat di atas memperlihatkan pada masa di mana masyarakat menyerahkan zakat kepada negara tidak berarti bahwa tidak ada yang membayarkan zakatnya secara langsung. Perlu digarisbawahi bahwa zakat yang diserahkan oleh mayoritas muslim adalah zakat untuk harta yang terlihat (al-amwâl al-zhâhiriyyah).
Zakat yang dikelola oleh negara adalah zakat mâl (zakat harta), dan bukan zakat fitrah yang dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan. Zakat fitrah di banyak komunitas muslim menjadi tradisi yang lepas dari pengelolaan negara dan lebih bersifat kultural. Namun justru tradisi zakat fitrah ini yang dilakukan secara masif oleh hampir semua muslim di seluruh dunia. Survei yang dilakukan tahun 1991 oleh Tempo dan tahun 2003 oleh Center for the Study of Religion and Culture/CSRC (Pusat Kajian Agama dan Budaya) UIN Jakarta memperlihatkan hal demikian. “Bahkan survei CSRC UIN Jakarta tahun 2010 memperlihatkan angka 95% muslim yang menunaikan zakat fitrah,” lanjut Amelia.
Sejarah kedermawanan Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa zakat, sedekah, dan wakaf menjadi pendorong gerakan sosial kemasyarakatan dan telah membiayai pendidikan Islam sejak Abad 16 dan terus berkembang hingga saat ini. Tidak hanya itu, zakat, sedekah, dan wakaf menjadi sumber pendanaan organisasi masyarakat sipil yang berkembang cukup masif pada masa kolonial Belanda. Pada masa ini pemerintah tidak campur tangan dalam urusan agama dan urusan kedermawanan Islam. Karena uang kedermawanan Islam adalah hak dan uang pribadi masyarakat. Akibat kebijakan ini, organisasi masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berkembang. Muhammadiyah merupakan pionir gerakan kedermawanan Islam modern di Indonesia. Muhammadiyah memiliki ribuan aset masjid, sekolah, rumah sakit, dan lainnya dari gerakan derma ini.
Keterlibatan negara dalam mengelola filantropi Islam khususnya zakat di Indonesia dimulai sejak masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintah tidak menghendaki formalisasi agama atau adanya aturan legal terkait zakat di tingkat nasional. Namun, pemerintah Orde Baru, khususnya Presiden Soeharto berusaha memodernisasi zakat dan mensentralisasi pengelolaan zakat mâl pada tahun 1968. Namun upaya ini tidak berhasil dan berakhir dengan sendirinya pada tahun 1972 karena hanya sedikit sekali yang mau membayar zakat melalui Soeharto. Setelah kegagalan itu, upaya modernisasi dan penggalangan zakat di sponsori oleh pemerintah provinsi seperti BAZIS DKI Jakarta, namun wilayahnya hanya terbatas pada kalangan pegawai negeri sipil. Pada masa Orde Baru, praktik kedermawanan termasuk zakat fitrah dan zakat mal di masyarakat juga menguat. Banyak berdiri panitia zakat di RT/RW, masjid, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa ini LAS professional mulai muncul.
reformasi mendorong adanya percepatan gerakan zakat berupa pendirian LAZ non-pemerintah. Reformasi memberi ruang kepada kemunculan legislasi zakat dalam bentuk UU yaitu UU Nomor 38 Tahun 1999. UU ini cukup akomodatif dalam hal menfasilitasi organisasi zakat yang ada, baik organisasi pemerintah yaitu BAZ dan organisasi zakat masyarakat yaitu LAZ. Riset CSRC UIN Jakarta menunjukkan pada Tahun 2004 dana zakat dan sedekah yang disumbangkan masyarakat adalah sebesar Rp19,3 triliun. Jumlah ini belum termasuk dana wakaf yang tersebar di masyarakat.
Pada perkembangannya terjadi penguatan BAZ dan LAZ. Penguatan paling besar terjadi pada LAZ yang memiliki program kreatif menjalankan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Sayangnya dari 5.669 BAZ yang harusnya bisa beroperasi di Indonesia, setidaknya sejak UU No. 38 1999 berlaku, hanya 1.001 BAZ saja yang terbentuk dan 300 saja yang aktif pada tahun 2007. Sedangkan dari 30 LAZ dan BAZ nasional pada tahun 2006 sampai 2010, lima besar didominasi oleh LAZ milik masyarakat yang perform lebih baik. Hal ini karena praktek zakat sangat tergantung pada kepercayaan atau trust. Organisasi yang memiliki manajeman profesional, akuntabel dan transparan cenderung mendapat kepercayaan.
Selain praktek zakat melalui organisasi modern, ada pula praktek zakat yang dikelola oleh masyarakat dalam bentuk yang tradisional, dan praktek ini justru sangat besar. Survey CSRC UIN Jakarta tahun 2003 memperlihatkan bahwa 95% masyarakat memberikan zakatnya tidak ke organisasi zakat modern (BAZ atau LAZ), tapi secara langsung. Hal ini karena zakat adalah kewajiban agama yang sudah menjadi kultur. Pemaksaan pengelolaan zakat melalui organisasai modern pada saat ini sulit akan berhasil. Terdapat hidden resistant terhadap pengelolaan zakat yang tidak amanah dan dengan cara pemaksaan. Kasus open resistant yang cukup mengemuka misalnya terjadi di NTB pada Tahun 2007-2008 dimana ribuan guru menolak pemotongan pajak oleh BAZ setempat. Mereka tidak menolak membayar zakat, tapi yang mereka tolak adalah pengelolaan zakat yang tidak amanah. “Perlu pendidikan jangka panjang untuk mengubah tradisi ini. Sejarah Islam Indonesia memperlihatkan adanya kontestasi antara negara dan masyarakat sipil dalam pengelolaan filantropi Islam yang terjadi sejak abad 16 sampai saat ini,” tandas Amelia.
Untuk diketahui, pengujian materi UUPZ ini diajukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa; Yayasan Rumah Zakat Indonesia; Yayasan Yatim Mandiri; Yayasan Portal Infaq; Yayasan Dana Sosial Al Falah Malang; Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Waqaf Harapan Ummat (LPP-ZISWAF HARUM); Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infaq (LMI), YPI Bina Madani Mojokerto; Rudi Dwi Setiyanto (Amil Zakat); Arif Rahmadi Haryono (Muzakki); Fadlullah (Muzakki); dan terakhir, Sylviani Abdul Hamid (Muzakki). Materi UUPZ yang diujikan yaitu Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UUPZ.
Pasal 5 UUPZ menyatakan: “(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS. (2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara. (3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.”
Pasal 6 UUPZ menyatakan: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.”
Pasal 7 UUPZ menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.”
Pasal 17 UUPZ menyatakan: “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
Pasal 18 UUPZ menyatakan: “(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b) berbentuk lembaga berbadan hukum; c) mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d) memiliki pengawas syariat; e) memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f) bersifat nirlaba; g) memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h) bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.”
Pasal 19 UUPZ menyatakan: “LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.”
Pasal 38 UUPZ menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang”
Pasal 41 UUPZ menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Para pemohon mendalilkan Pasal 38 jo Pasal 41 UUPZ telah memberikan dasar hukum untuk mengriminalisasi para amil zakat yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang walaupun amil zakat tersebut mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat. Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 UUPZ secara eksplisit mengsubordinasikan kedudukan LAZ bentukan masyarakat sipil dengan adanya persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 18 UUPZ. Ketentuan ini melahirkan ketidakpastian hukum bagi LAZ atau calon LAZ yang akan mengajukan izin ke Menteri.
Kemudian Pasal 18 ayat (2) huruf a bersifat diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang telah ada saat ini. Sebab hampir seluruh LAZ tersebut berbentuk badan hukum yayasan. Padahal dalam ketentuan Pasal 18 UUPZ mengharuskan LAZ terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas). Sedangkan menurut UU Nomor 8 Tahun 1985, yang disebut sebagai Ormas adalah entitas yang berbasis keanggotaan. Padahal yayasan tidak memiliki anggota.
UUPZ menetapkan bahwa BAZNAS sebagai operator zakat nasional dan status tersebut juga sama dengan LAZ, sehingga ketentuan tersebut jelas menimbulkan conflict of interest dan tidak memberikan kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UUPZ telah mensentralisasikan pengelolaan zakat nasional berada di tangan pemerintah. Hal ini menghambat peran serta LAZ yang telah memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Pasal 5 dan Pasal 15 UUPZ menyatakan pendirian BAZNAS di tingkat pusat, provinsi serta kabupaten/kota tanpa memberikan persyaratan pendirian. Selain itu, BAZNAS berhak mendapatkan pembiayaan dari APBN serta dapat menggunakan sebagian dana zakat yang dihimpun. Sementara LAZ mendapatkan restriksi yang sangat ketat, tidak mendapat pembiayaan dari APBN dan hanya berhak mendapatkan pembiayaan dari hak amil saja.
Berlakunya UUPZ tidak hanya merugikan para pemohon tetapi juga seluruh warga Negara Indonesia yang selama ini telah banyak terbantu oleh berbagai program yang dilaksanakan oleh LAZ. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, UUPZ semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga Negara yang membayar zakat, menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan social dan member insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Tetapi kenyataannya, UUPZ ini justru mematahkannya. (Nur Rosihin Ana)