Kontroversi
yang berkembang di masyarakat mengenai penyebab bencana lumpur Sidoarjo, yaitu akibat
kesalahan operasi pemboran dan bencana alam. Menurut Prof.
R.P. Koesoemadinata, terjadinya gunung lumpur Sidoarjo adalah bukan gejala
alam. “Jawabannya jelas bahwa ini adalah bukan gejala alam,” kata Koesoemadinata
dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan oleh pemohon dalam persidangan
di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (7/8/2012) siang. Sidang kali keempat untuk
perkara nomor 53/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU
APBN 2012) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN-P 2012), ini beragendakan mendengar
keterangan ahli pemohon.
Terjadinya gunung api lumpur Sidoarjo, terang Koesoemadinata,
memang mirip dengan gejala alamiah, tetapi sulit menjelaskan sebab alamiahnya. Semburan
lumpur pada Sidoarjo erat hubungannya dengan kesulitan yang dialami pembuangan
sumur Banjar Panji. “Dengan demikian, sumur semburan lumpur panas Sidoarjo secara
jelas dan gamblang disebabkan karena kesalahan penanganan pembuangan sumur
Banjar Panji,” tandas Prof. R.P. Koesoemadinata.
Selain Prof. R.P. Koesoemadinata, para pemohon juga
menghadirkan ahli Ir. Kersam Sumanta dan Aidul Fitriciada. Menurut Kersam, bencana lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh
kesalahan operasi pemboran eksplorasi migas di Sumur Banjar Banji 1.
Kersam menyebutkan kesalahan utama yang dilakukan
oleh operator (perusahaan Lapindo Berantas Inc) yaitu tidak melaksanakan pemasangan
selubung (casing) 95/8” yang tertera dalam program pemboran yang telah
disepakati oleh para stakeholder dan disetujui BP Migas.
“Di dalam hubungan antara KKS (Kontrak Kerja Sama)
dengan pemerintah, BP Migas menjadi pengawas operasi, pelaksana operasi dari
para KKS. Semua program baru bisa dilaksanakan jika program itu disepakati oleh
partner-partner perusahaan tersebut dan yang terakhir harus ada persetujuan BP Migas.
Yang tidak jelas di dalam hal ini, apakah perubahan yang mereka lakukan artinya
tidak mematuhi program, sudah mendapat persetujuan BP Migas atau tidak? Jika
tidak maka segala risikonya akan menjadi tanggung jawabnya sendiri,” paparnya.
Untuk diketahui, pengujian Pasal 19 UU APBN 2012 dan
Pasal 18 UU APBN-P 2012, diajukan oleh Letnan Jendral Mar. (Purn) Suharto, DR.
H. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Azhar Akbar. Para pemohon keberatan dengan
penanggulangan lumpur Sidoarjo yang dibebankan kepada APBN. Pasal 18
menyatakan: “Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi
dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012, dapat
digunakan untuk; (a) Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan diluar
peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa
Pajarakan); (b) Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan biaya hidup, biaya
evakuasi serta pelunasan kekurangan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di
luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan
Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi); (c) Bantuan
kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran pembelian
tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang
ditetapkan melalui Peraturan Presiden.” (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar