Senin, 20 Agustus 2012

POLRI dan KPK, Siapa Paling Berwenang Sidik Kasus Simulator SIM?


Catatan Perkara MK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) kembali berseteru dalam kewenangan penegakkan hukum, setelah sebelumnya kedua lembaga penegak hukum ini terlibat dalam kasus “cicak vs buaya”. Picu perseteruan kali ini bermula dari penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM) yang sedang ditangani oleh kedua lembaga ini.
Proses penyidikan terhadap perkara yang sama dalam kasus dugaan korupsi pengadaan SIM yang ditangani oleh KPK dan POLRI tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika KPK dan POLRI masing-masing terus menangani kasus tersebut, maka akan bermuara pada dua pengadilan yang berbeda. Semua kasus yang ditangani KPK berujung ke pengadilan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sedangkan kasus yang ditangani Kepoliisian biasanya diadili melalui peradilan umum. Dengan demikian, kasus yang sama dan diadili dua pengadilan dengan dua majelis hakim yang berbeda, maka akan melahirkan vonis yang berbeda pula.
M. Farhat Abbas, S.H., M.H. menilai adanya celah ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus tersebut. Hal ini mendorong Farhat untuk mengujikan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Farhat dengan nomor 81/PUU-X/2012 pada Jum’at, 10 Agustus 2012. Farhat yang berprofesi sebagai advokat merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena adanya ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus tersebut. Memperkuat kedudukan hukum (legal standing), Farhat mengusung  ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 8 UU KPK menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. (2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Pasal 50 UU KPK menyatakan: “(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. (2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Menurut Farhat, norma yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK merupakan norma yang diskriminatif karena bertentangan dengan hak-hak Farhat untuk mendapatkan kepastian hukum dan tegaknya prinsip negara hukum. Sehingga menurutnya norma tersebut harus dinyatakan inkonstitusional.
Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 secara tegas memberikan kewenangan penegakan hukum kepada POLRI. Di sisi lain, UUD 1945 secara tegas tidak memberikan wewenang campur tangan KPK dalam penegakan hukum terhadap instansi lain, sehingga Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK tidak memiliki dasar konstitusional.

Tumpang Tindih
Kewenangan KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK, menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan dan konflik antar lembaga penegak hukum. Perseteruan antara POLRI dengan KPK yang dikenal oleh publik sebagai perseteruan “cicak vs buaya” merupakan bukti bahwa KPK telah gagal dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perseteruan ihwal siapa yang berhak melakukan penyidikan dan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi pengadaan simulator SIM, menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara POLRI dan KPK. Hal ini antara lain disebabkan oleh tafsiran muatan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK.  Oleh karena itu, Farhat meminta MK menghadirkan POLRI dan KPK untuk didengar keterangannya sebagai pihak terkait. Selain itu, meminta MK untuk memberikan interpretasi terhadap muatan pasal-pasal yang diujikan, sehingga tidak menjadi masalah yang berkepanjangan yang mengakibatkan terhambatnya upaya pemberantasan korupsi.
Farhat dalam petitum permohonan meminta Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan. Yaitu menyatakan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Nur Rosihin Ana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More