Catatan
Perkara MK
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI) kembali berseteru dalam kewenangan penegakkan hukum, setelah
sebelumnya kedua lembaga penegak hukum ini terlibat dalam kasus “cicak vs
buaya”. Picu perseteruan kali ini bermula dari penyidikan kasus dugaan korupsi
pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM) yang sedang ditangani oleh kedua
lembaga ini.
Proses penyidikan terhadap perkara yang sama dalam
kasus dugaan korupsi pengadaan SIM yang ditangani oleh KPK dan POLRI tentu akan
menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika KPK dan POLRI masing-masing terus
menangani kasus tersebut, maka akan bermuara pada dua pengadilan yang berbeda.
Semua kasus yang ditangani KPK berujung ke pengadilan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor). Sedangkan kasus yang
ditangani Kepoliisian biasanya diadili melalui peradilan umum. Dengan demikian,
kasus yang sama dan diadili dua pengadilan dengan dua majelis hakim yang
berbeda, maka akan melahirkan vonis yang berbeda pula.
M. Farhat Abbas, S.H., M.H. menilai adanya celah ketidakpastian hukum dalam penanganan kasus tersebut. Hal ini
mendorong Farhat untuk mengujikan Pasal 8 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Farhat dengan nomor
81/PUU-X/2012 pada Jum’at, 10 Agustus 2012. Farhat yang berprofesi sebagai
advokat merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena adanya ketidakpastian
hukum dalam penanganan kasus tersebut. Memperkuat kedudukan hukum (legal
standing), Farhat mengusung ketentuan Pasal
5 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: “Advokat berstatus
sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan.”
Pasal
8 UU KPK menyatakan: “(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. (2) Dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan
atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara
penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada
saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Pasal 50 UU KPK menyatakan: “(1) Dalam hal
suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum
melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan
oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal dimulainya penyidikan. (2) Penyidikan yang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Dalam
hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi
melakukan penyidikan. (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh
kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.”
Menurut Farhat, norma yang terkandung dalam Pasal 8
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4) UU KPK merupakan norma yang diskriminatif karena bertentangan
dengan hak-hak Farhat untuk mendapatkan kepastian hukum dan tegaknya prinsip
negara hukum. Sehingga menurutnya norma tersebut harus dinyatakan
inkonstitusional.
Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 secara tegas memberikan
kewenangan penegakan hukum kepada POLRI. Di sisi lain, UUD 1945 secara tegas tidak
memberikan wewenang campur tangan KPK dalam penegakan hukum terhadap instansi
lain, sehingga Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK tidak memiliki dasar konstitusional.
Tumpang Tindih
Kewenangan KPK untuk mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh
Kepolisian atau Kejaksaan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK, menyebabkan
adanya tumpang tindih kewenangan dan konflik antar lembaga penegak hukum.
Perseteruan antara POLRI dengan KPK yang dikenal oleh publik sebagai
perseteruan “cicak vs buaya” merupakan bukti bahwa KPK telah gagal dalam
menjalankan tugasnya untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perseteruan ihwal siapa yang berhak melakukan
penyidikan dan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi pengadaan simulator
SIM, menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara POLRI dan KPK. Hal ini
antara lain disebabkan oleh tafsiran muatan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK. Oleh karena itu, Farhat meminta MK
menghadirkan POLRI dan KPK untuk didengar keterangannya sebagai pihak terkait.
Selain itu, meminta MK untuk memberikan interpretasi terhadap muatan
pasal-pasal yang diujikan, sehingga tidak menjadi masalah yang berkepanjangan
yang mengakibatkan terhambatnya upaya pemberantasan korupsi.
Farhat dalam petitum permohonan meminta Mahkamah
mengabulkan seluruh permohonan. Yaitu menyatakan Pasal 8 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU KPK
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nur Rosihin Ana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar