Pemisahan pengusahaan kegiatan usaha hulu dan hilir
pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi (Migas) adalah bertujuan untuk
mengoptimalkan pengusahaan, baik pada kegiatan usaha hulu maupun hilir. Dengan
konsep ini, diharapkan pelaku usaha di bidang hulu dapat fokus pada tujuannya
untuk mencari migas serta mengoptimalkan kegiatan eksplorasi untuk mencari
cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan karakteristik kegiatan usaha hilir,
lebih kepada sifat bisnis dan tidak mengenal adanya mekanisme pengembalian
biaya operasi. Maka dalam kegiatan usaha hilir dimungkinkan untuk memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha baik besar, menengah, maupun
kecil, yaitu BUMN, BUMD, koperasi, dan usaha kecil lainnya untuk dapat
melakukan kegiatan usaha hilir.
BP Migas sebagai pelaksana dan pengendali kegiatan
usaha hulu migas memiliki hak manajemen dalam hal kontrak kerja sama (KKS) untuk
dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan berdasarkan KKS. “Sedangkan
pemerintah adalah pemegang kuasa pertambangan yang akan menetapkan kebijakan
dan penentu atas pemanfaatan minyak dan gas bumi yang diproduksi dari kegiatan
usaha hulu tersebut.”
Pernyataan tersebut disampaikan Dirjen Migas
Kementerian ESDM Evita H. Legowo saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam
persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/8/2012) siang. Sidang kali
ketiga untuk perkara 65/PUU-X/2012 ihwal pengujian Pasal 1 angka 19, angka 23,
angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63
huruf c UU Migas, beragendakan mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR dan
Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah.
Di hadapan pleno hakim konstitusi Achmad Sodiki
(ketua pleno), Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan
Anwar Usman, lebih lanjut Dirjen Migas menyatakan pihak yang ditunjuk sebagai
pelaksana dan pengendali kegiatan usaha hulu migas tidak berbentuk Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) namun berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). “Dengan
status tersebut, BP Migas dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiata
usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban mencari keuntungan
untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta
menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara,” lanjut Evita.
Menurut Pemerintah, pembentukkan BP Migas tidak
dimaksudkan untuk menerima pengalihan kuasa pertambangan, melainkan untuk
melaksanakan tugas yang diberikan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan dalam pengendalian kegiatan usaha hulu migas melalui KKS. Dengan
demikian, tujuan pembentukkan BP Migas dimaksudkan agar pemerintah sebagai
pemegang kuasa pertambangan tidak langsung berkontrak dengan badan usaha
dan/atau bentuk usaha tetap, sehingga tidak ada posisi yang setara antara
kontraktor dengan pemerintah. Selain itu dengan dibentuknya BP Migas
dimaksudkan agar pemerintah tidak terekspos dan tidak menjadi pihak secara
langsung dalam hal adanya sengketa yang timbul dari pelaksanaan KKS dengan
kontraktor. Sedangkan karakteristik kegiatan usaha hilir dalam rangka
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha baik besar,
menengah, maupun kecil, BUMN, BUMD, koperasi, dan usaha kecil lainnya untuk
melakukan kegiatan usaha hilir, maka perlu adanya peran pemerintah untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan melalui mekanisme pemberian izin usaha oleh
pemerintah.
Selain itu, pemerintah memiliki kewajiban menjamin
ketersediaan dan kelancaran pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat dilakukan oleh badan
usaha baik besar, menengah, maupun kecil. Pemerintah berkewajiban untuk
melakukan pengaturan dan pengawasan kegiatan
usaha hilir yang pelaksanaannya dalam hal-hal tertentu dilakukan oleh
badan pengatur hilir, di antaranya pendistribusian BBM, kegiatan usaha
pengangkutan gas bumi melalui pipa. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha hilir dapat berjalan lebih efektif dan
efisien.
“Sehingga anggapan para Pemohon yang menyatakan
bahwa telah terjadi sektoralisasi penguasaan negara atas minyak dan gas bumi
sehingga mengakibatkan hak menguasai negara tidak berlangusng secara efektif
adalah tidak benar dan bertentangan dengan fakta yang ada,” tandas Evita
menanggapi dalil Pemohon.
Pemerintah dalam petitum antara lain meminta
Mahkamah menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing). Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. Menyatakan Pasal 1
angka 19 dan angka 23 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf
c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak
bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” pinta Evita.
Sementara itu Revrisond Baswir dalam kapasitasnya
sebagai ahli pemohon menyatakan, penyelenggaraan sektor migas harus memberikan
prioritas kepada Pertamina sebagai badan usaha milik negara. “Tidak dapat
keberadaan Pertamina sebagai badan usaha milik negara itu disetarakan dengan
badan usaha milik swasta,” kata Revrisond.
Menyinggung perbedaan antara sektor hulu dan hilir, sektor
hulu dianggap mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hilir karena hilir dianggap
lebih menekankan sesuatu yang sifatnya bisnis. “Kalau hilir dianggap bisnis,
apakah hulu tidak bisnis? Di mana letak tidak bisnisnya hulu?” tanya Revrisond.
Menurutnya, baik hulu maupun hilir keduanya sifatnya
bisnis. Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2004 lalu, justru membatalkan sifat
bisnis dari hilir itu, yaitu dengan ditolaknya keinginan UU Migas untuk
menyerahkan harga eceran BBM kepada mekanisme pasar. “Mahkamah Konstitusi sudah
menetapkan bahwa harga BBM harus tetap dikendalikan oleh negara,” tandas
Revrisond.
Untuk diketahui, pengujian Pasal 1 angka 19, angka
23, angka 24, Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan
Pasal 63 huruf c UU Migas UU Migas, ini diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia
(KSPMI). Menurut FSPPB dan KSPMI, ketentuan dalam pasal yang diujikan tersebut
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Pasal 10 UU Migas menyatakan: “(1) Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan
Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak
dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.”
Menurut pemohon, berlakunya Pasal 10 UU Migas telah
memecah bentuk usaha sektor hulu dan hilir migas. Akibat berlakunya Pasal 10 UU
Migas, PT. Pertamina Persero selaku BUMN dalam kegiatan usahanya harus
membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi kerja berbeda untuk mengelola
industri hulu dan hilir. Ada sekitar 21 (dua puluh satu) anak perusahaan PT
Pertamina Persero yang bergerak di bidang hulu dan hilir. Pemisahan sektor hulu
dan hilir serta pembentukan anak-anak perusahaan Pertamina dalam praktek global
justru sangat bertentangan dengan fenomena
big is beautiful dalam menjalankan industri perminyakan yang notabene high capital, high technology dan high risk. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar