Kamis, 09 Agustus 2012

Eksistensi Fraksi Diuji di Mahkamah Konstitusi

Catatan Perkara MK


Keberadaan fraksi di lembaga legislatif (MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) telah meniadakan atau mengabaikan kedaulatan Rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat yang memberi mandat selama 5 tahun kepada wakil rakyat yang terpilih, ternyata dieliminasi oleh keberadaan fraksi-fraksi pada lembaga legislatif. Demikian antara lain didalilkan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) saat mengujikan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Pasal 11, Pasal 80, Pasal 301 dan Pasal 352 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), ke Mahkamah Konstitusi.  Kepaniteraan MK meregistrasinya dengan nomor 72/PUU-X/2012.
Sebab jika memperhatikan konsideran Menimbang, Mengingat dari UU Parpol dan UU MD3, tak satu pun yang membahas tentang perlu dibentuknya fraksi-fraksi dari parpol atau gabungan parpol pada MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Berdasarkan Pasal 13, Pasal 81, Pasal 302, Pasal 353 UU MD3, fraksi-fraksi pada MPR, DPR, DPD dan DPRD bukan merupakan alat kelengkapan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 12 huruf e UU Partai Politik menyatakan: Partai Politik berhak: (e) membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11 UU MD3 menyatakan: “(1) Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. (2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. (3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. (4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. (5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing. (6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.”
Pembentukan fraksi menurut ketentuan Pasal 11 ayat (4), Pasal 80 ayat (1) dan (2), Pasal 301 ayat (1), dan Pasal 352 ayat (1) UU MD3 adalah untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun faktanya justru fungsi hal tersebut di atas tidak pernah dilaksanakan oleh fraksi-fraksi baik di MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Menurut GN-PK, pembentukan fraksi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22c ayat (1) UUD 1945.
Kebiri Kedaulatan Rakyat
Fakta menunjukkan, kedaulatan rakyat telah dikebiri oleh parpol melalui kepanjangan tangannya di lembaga legislatif tersebut yaitu fraksi-fraksi, baik di MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Apalagi bila dalam menyampaikan aspirasi konstituennya tersebut berbeda dengan aspirasi fraksi dari partai politiknya maka anggota legislatif tersebut akan diberikan sanksi baik yang teringan sampai yang terberat, yaitu melalui pergantian antar waktu (PAW) atau recall. Padahal anggota legislatif mempunyai hak imunitas dalam menyampaikan pernyataan dan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945.
Pengebirian hak dan PAW terhadap anggota legislatif karena berbeda pendapat dengan fraksi dari parpolnya, telah menciderai hak kedaulatan rakyat Indonesia yang merupakan hak konstitusional rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya kader-kader/anggota GN-PK yang tersebar di 26 Provinsi di Indonesia. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan berakibat tersumbatnya aspirasi rakyat Indonesia termasuk di dalamnya aspirasi kader-kader/anggota-anggota GN-PK karena ketakutan akan di-PAW jika menyampaikan aspirasi rakyat pemilihnya (konstituennya) apabila berbeda pendapat dengan fraksinya/partai politiknya.
Pemborosan Keuangan
Tugas dan fungsi fraksi di MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah terangkum oleh tugas dan fungsi alat kelengkapan MPR, DPR, DPRD Propisi dan DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, pada kenyataannya fraksi-fraksi di lembaga legislatif adalah kepanjangan tangan dan bagian dari struktur partai politik. Dengan kata lain, fraksi-fraksi tersebut bukan bagian dari lembaga/badan/instansi negara, provinsi, dan kabupaten/kota. Alat kelengkapan MPR RI berdasarkan Pasal 13 UU MD3 atas pimpinan dan panitia ad hoc MPR. Sedangkan alat kelengkapan DPR, Pasal 81 UU MD3 menyatakan alat kelengkapan DPR terdiri atas: pimpinan, Badan Musyawarah, komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, Badan Urusan Rumah Tangga, panitia khusus, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
Kendati demikian, keberadaan fraksi dibiayai oleh APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, sehingga hal ini telah merugikan dan pemborosan keuangan Negara, Provinsi, Kabupaten/Kota. Sebab keberadaan fraksi membutuhkan dana untuk kegiatan yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Padahal posisi fraksi berada dalam struktur partai dan merupakan kepanjangan tangan partai. Misalnya pendanaan kegiatan fraksi-fraksi DPR RI pada tahun 2012 sebesar Rp 12,5 milyar per fraksi. Sedangkan fraksi di DPR RI adalah sebanyak 9 fraksi, yaitu: Fraksi Demokrat, Fraksi Golongan Karya, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PKS, Fraksi PPP, Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi Gerindra, dan Fraksi Hanura.
GN-PK dalam petitum-nya meminta Mahkamah menyatakan Pasal 12 huruf e UU Partai Politik dan Pasal 11, Pasal 80, Pasal 301, dan Pasal 352 UU MD3 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian meminta Mahkamah menyatakan materi UU Partai Politik dan UU MD3 diujikan, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
(Nur Rosihin Ana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More