Lembaga
perbankan memiliki posisi yang sangat strategis antara lain sebagai lembaga
intermediasi atau lembaga yang menerima simpanan dari masyarakat dan
menyalurkan kembali kepada masyarakat. Untuk itu, dana yang diterima dari masyarakat harus
dikelola secara hati-hati sehingga pemilik dana atau nasabah tidak khawatir
tentang keamanan dan ketersediaan dananya bila dibutuhkan. Kemudian agar fungsi
bank sebagai lembaga intermediasi dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan
adanya kepercayaan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan kepercayaan masyarakat
terhadap dunia perbankan, perlu diciptakan suatu perangkat ketentuan
perundang-undangan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi setiap pihak yang
terkait dengan kegiatan perbankan, baik itu pemilik, pengurus bank, maupun
masyarakat (nasabah) yang diatur dalam UU Perbankan. Dalam Pasal 40 ayat (1)
dan ayat (2) UU Perbankan telah diatur mengenai kewajiban bagi bank dan pihak
terafiliasi untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Ketentuan pasal tersebut memberikan perlindungan keamanan dana
nasabah yang dimilikinya sebagai harta benda hak milik pribadi yang disimpan di
bank dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
“Dengan demikian, telah sejalan dengan ketentuan
Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang memberikan jaminan,
perlindungan terhadap harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Pernyataan dia atas disampaikan oleh anggota Komisi
III DPR RI Nudirman Munir saat menyampaikan keterangan DPR RI terhadap pengujian
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan)
di hadapan persidangan pleno Mahkamah Konstitusi, Rabu (8/8/2012) siang. Sidang
kali ketiga untuk perkara 64/PUU-X/2012 ini beragendakan mendengarkan keterangan
Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah.
Nudirman lebih lanjut memaparkan, asas kerahasiaan
bank merupakan rezim UU Perbankan. Sedangkan soal harta bersama (gono-gini)
adalah termasuk rezim UU Perkawinan. Oleh karena itu, keduanya tidak dapat
dipertentangkan. Apabila pihak bank melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan
ayat (2) UU Perbankan mengenai wajib menjaga kerahasiaan bank, maka dapat
dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU Perbankan. Sedangkan
mengenai harta bersama (gono-gini) yang disimpan di bank dalam bentuk giro,
deposito, sertifikat deposito, dan/atau tabungan, baik atas nama suami maupun
atas nama istri, maka masing-masing pihak sudah sepatutnya mengetahui akibat
hukumnya yaitu masing-masing individu tidak dapat mengakses keterangan mengenai
simpanannya.
DPR beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah
persoalan konstitusional norma, melainkan persoalan penerapan norma, dimana
suami-istri dapat saja sepakat bahwa untuk harta bersama yang disimpan di bank,
dibuat dalam bentuk joint account, dimana masing-masing pihak dapat
mengakses simpanannya. Atau sebaliknya, dapat sepakat untuk menyimpan dana
dengan atas nama masing-masing yang tentu saja akibat hukumnya masing-masing
tidak dapat mengakses keterangan mengenai simpanannya. “Hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan mengenai harta bersama, suami-istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak,” jelas Nudirman.
Untuk diketahui, uji materi UU Perbankan ini dimohonkan
oleh Magda Safrina. Safrina yang mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya, dalam gugatannya mencantumkan sejumlah harta bersama (gono-gini). Harta yang
diamaksudkan Safrina berupa tabungan dan deposito yang disimpan
oleh dan atas nama suaminya di sejumlah bank di Kotamadya Banda Aceh dan Bank
di Kabupaten. Namun, suami Safrina tidak mengakui adanya
tabungan dan deposito yang diajukan Safrina. Bahkan Safrina tidak bisa
mengintip saldo tabungan dan deposito suaminya karena bank-Bank tersebut tidak
dapat mengeluarkan data nasabah dan simpanannya terkait rahasia bank.
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan
menyatakan: “(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi Pihak terafiliasi.”
Menurut Safrina, Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perbankan memberikan ruang bagi kepada salah satu pihak baik itu suami atau istri
yang namanya terdaftar sebagai nasabah bank untuk menguasai dan mengalihkan
sebagian dan atau sepenuhnya harta bersama yang diperoleh selama masa
pernikahan tanpa diketahui oleh pihak lainnya. Hal ini menyebabkan pihak lain dapat
kehilangan sebagian atau seluruh haknya atas harta bersama tersebut. Ketentuan
dalam UU Perbankan tersebut, menurut Safrina, bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2) Pasal 28H ayat (4), dan Pasal
28I UUD 1945. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar