Pemberantasan tindak pidana korupsi terganggu dengan
adanya penafsiran lain dari makna Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Jika pemaknaan ini dibiarkan, maka akan mengambat
penegakan hukum khususnya di bidang korupsi.
Pasal 30 Ayat (1) menyatakan: “Kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana yang diancam
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan
pengadilan.”
Pasal
30 Ayat (2) menyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan
oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Demikian
permohonan dengan registrasi perkara Nomor 75/PUU-X/2012 ihwal uji materi UU
Pemda yang diajukan oleh Zainal Arifin Mochtar dan Feri
Amsari, serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Feri dkk mendalilkan, meskipun
seorang kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah dijatuhi hukuman kurang dari 5 tahun,
tetapi tindak pidana yang dilakukannya diancam dengan pidana penjara 5 tahun
atau lebih, yang bersangkutan tetap diberhentikan sementara (bila belum
berkekuatan hukum tetap) dan diberhentikan secara permanen (bila sudah
berkekuatan hukum tetap)”.
Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda merupakan
hal yang sama berlaku dalam berbagai ketentuan UU. Di antaranya Pasal 51 ayat
(1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Pasal 5 UU
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pasal 58
huruf f ayat UU Pemda, yang kesemuanya tercermin dalam frasa “....melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Pemaknaan keliru yang
berkembang menurut para pemohon yaitu: “hanya kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah yang diancam dengan ancaman pidana paling singkat
5 (lima) tahun saja yang dapat diberhentikan. Sedangkan bila kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah tersebut diancam dengan hukuman paling singkat
selain 5 (lima) tahun, yang bersangkutan tidak dapat diberhentikan, meskipun
hukuman maksimal bagi tindak pidana yang dilakukannya lebih dari 5 (lima)
tahun.” Para Pemohon menyontohkan kasus Agusrin M. Najamuddin, Gubernur
Bengkulu yang telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung karena melakukan
tindak pidana korupsi.
Oleh
karena itu menurut para Pemohon, ketentuan dalam UU Pemda tersebut bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Para
Pemohon melalui kuasanya, Donal Fariz dkk, kembali hadir di
Mahkamah Konstitusi, Jum’at (31/8/2012) pagi untuk menjalani sidang dengan
agenda perbaikan permohonan. Pada kesempatan ini, Donal menyampaikan perbaikan
pada petitum permohonan sebagaimana nasihat hakim pada persidangan
sebelumnya.
Adapun
perbaikan petitum yaitu meminta Mahkamah agar menerima dan mengabulkan
permohonan untuk seluruhnya. Kemudian menyatakan Pasal 30
ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda adalah konstitusional sepanjang dimaknai
”berlaku untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap”. Sebelum
perbaikan, redaksi kalimat terakhir berbunyi “baik berdasarkan putusan
pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap maupun putusan pengadilan yang
sudah berkekuatan hukum tetap”. Terakhir, apabila Majelis Hakim pada Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia mempunyai putusan lain, mohon putusan yang
seadil-seadilnya (ex aequo et bono).
Sebelum mengakhiri persidangan, ketua panel hakim
konstitusi Achmad Sodiki mengesahkan alat bukti pemohon. Para Pemohon
mengajukan alat bukti P-1 sampai P-5 yang salah satunya berupa gugatan Agusrin M.
Najamuddin kepada Presiden RI. (Nur Rosihin Ana).