Bangunan
perumahan dengan ukuran minimal 36 meter persegi (m2) sebagaimana dalam
ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2011, mengundang keberatan tiga orang warga
dan pengusaha. Tiga orang warga, Aditya Rahman GS, Jefri Rusadi, dan
Erlan Basuki mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)
yang kemudian diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan nomor
12/PUU-X/2012. Sedangkan dari pengusaha yang mengajukan keberatan ke MK
yaitu Eddy Ganefo, Ketua Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang
Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) dengan
registrasi perkara nomor 14/PUU-X/2012.
Mereka
mengujikan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman yang menyatakan: “Luas lantai rumah tunggal dan
rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter
persegi.” Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal
28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Menurut
Aditya Rahman dkk yang berprofesi sebagai pekerja yang memiliki
penghasilan di bawah 2 juta, ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1
Tahun 2011 menyebabkan mereka tidak dapat membeli atau membangun rumah. Sebab untuk membeli rumah dengan luas minimal 36m2 tersebut,
mereka harus mengeluarkan dana yang diasumsikan minimal seharga Rp. 135
juta yang tentunya tidak sesuai dengan pendapatan mereka.
Sedangkan
menurut APERSI, Pembangunan perumahan dengan luas lantai minimal 36
meter persegi menghambat gerak pengembang dan target pembangunan rumah
sederhana sehat tidak terpenuhi. Kebutuhan terhadap rumah murah dan
rumah dengan tipe 21 meter persegi yang merupakan rumah tumbuh, masih
merupakan kebutuhan yang nyata sehingga ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 memberatkan APERSI sebagai pengembang yang membangun rumah sederhana dengan ukuran dibawah 36 meter persegi.
Para
Pemohon dengan didampingi kuasa hukum mereka, kembali hadir di
persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan yang
dilaksanakan oleh panel hakim konstitusi Hamdan Zoelva (ketua panel),
bersama dua anggota panel, Anwar Usman dan Harjono, pada Jum’at (2/3/2012) pagi di ruang sidang panel lt. 4 gedung MK.
Di
hadapan panel hakim konstitusi, M. Maulana Bungaran, kuasa hukum Aditya
Rahman dkk, memaparkan pokok perbaikan permohonan berupa penambahan
ayat dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji, yaitu Pasal 28H
Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4). Kemudian perubahan mengenai struktur
permohonan, menguraikan kerugian konstitusional, kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon, dan menambahkan materi dalam pokok perkara. “Di dalam pokok
perkara, kami juga menambahkan materi yang bertentangan dengan UUD 1945,
juga menjelaskan mengenai konsideran dan dasar hukum dari UU Nomor 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,” terang Maulana.
Sementara itu perbaikan permohonan APERSI yang disampaikan kuasa hukumnya, Muhammad Joni, yaitu melengkapi posita (dalil
permohonan) mengenai hak atas rumah adalah hak konstitusional yang
diatur dalam Pasal 28H Ayat (1). Hal ini, kata Joni, bersesuaian dengan
apa yang disampaikan oleh Founding Fathers Mohammad Hatta pada Kongres
Perumahan Tahun 1950 yang menyatakan bahwa seluruh rakyat membutuhkan
satu rumah sehat untuk satu keluarga. “Ini adalah bagian yang tidak
terpisah dari hak dasar warga negara, yaitu hak atas sandang, pangan dan
papan dan karena itu negara harus memenuhi kewajibannya,” kata Joni.
Kemudian,
dalam pokok permohonan, menambahkan mengenai luas lantai rumah 3x3
meter per orang, adalah sesuai dengan Peraturan Menteri Kimpraswil Nomor
304/2002. “Karena itu, bersesuaian pula dengan ECOSOC Pasal 11 yang
menyampaikan aspek keterjangkauan dan aksesibilitas,” terangnya.
Selain
itu, luas 3x3 meter per orang juga bersesuaian dengan Kebijaksanaan
mengenai pembangunan perumahan dan permukiman yang dapat terjangkau oleh
masyarakat luas diselenggarakan guna meningkatkan pemerataan dan
memperluas cakupan pelayanan penyediaan perumahan dan permukiman, dan
dapat menjangkau masyarakat yang berpenghasilan rendah. “Keadaan
masyarakat kita masih miskin, ada 29 juta penduduk miskin, dan sekitar
30 juta yang hampir miskin. Itu menjadi alasan mengapa miskin papa
menjadi semakin tidak bisa menjangkau luas lantai 36 ini,” kata Joni
mendalilkan.
Sedangkan perubahan dalam petitum (tuntutan permohonan), Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal bertentangan
dengan Pasal 28H Ayat (1), Pasal 28H Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1) dan
Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelum
mengakhiri persidangan, panel hakim mengesahkan alat bukti para
Pemohon. Pemohon untuk perkara 12/PUU-X/2012 mengajukan bukti P-1 sampai
P-48. Pemohon untuk perkara 14/PUU-X/2012 mengajukan bukti P-1 sampai
P-46. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar