Keputusan Presiden untuk melakukan pembelian 7%
saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) Tahun 2010 dilakukan
semata-mata demi kepentingan nasional dan kemanfaatan dengan tujuan untuk dapat
dinikmati oleh bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan
pembelian saham divestasi diharapkan juga dapat menjaga kepentingan nasional,
memastikan kepatuhan perusahaan atas kewajibannya seperti pembayaran pajak,
royalty, pelaksanaan corporate social responsibility, kepatuhan pada
pengelolaan lingkungan hidup, terutama adalah timbulnya multiplier effect
bagi masyarakat sekitar industri yang pada akhirnya akan mendorong perkembangan
industri hilir sehingga meningkatkan kemakmuran bagi rakyat.
Demikian disampaikan oleh Menkeu Agus Dermawan
Wintarto Martowardojo dalam sidang perkara nomor 2/SKLN-X/2012 mengenai sengketa
kewenangan lembaga negara (SKLN) yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu
(14/3/2012). Sidang pleno dengan agenda perbaikan permohonan dan mendengarkan
jawaban termohon I serta termohon II ini dilaksanakan oleh sembilan hakim
konstitusi. Permohononan SKLN ini diajukan oleh Presiden melalui Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia. Sedangkan pihak termohon 1 yaitu DPR dan BPK sebagai termohon
II.
Di hadapan pleno hakim konstitusi, Menkeu Agus
Martowardojo dalam executive summary menyatakan, Presiden RI sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 merupakan pemegang kekuasaan
pemerintahan. Salah satu kekuasaan pemerintahan dimaksud adalah kekuasaan atas
pengelolaan keuangan negara. Pengaturan lebih lanjut kekuasaan pengelolaan
keuangan negara terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UU Keuangan Negara. Tugas
Menkeu selain membantu Presiden RI, juga merupakan penerima kuasa Presiden RI
dalam hal pengelolaan fiskal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf a UU Keuangan Negara. Selaku pengelola fiskal, Menkeu melaksanakan fungsi
Bendahara Umum Negara yang mempunyai beberapa tugas dan kewenangan. Salah satu
kewenangan Bendahara Umum Negara adalah melakukan investasi berdasarkan Pasal
41 ayat (1), (2), dan (3) UU Perbendaharaan Negara.
“Salah satu bentuk pelaksanaan investasi yang
dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku penerima kuasa fiskal pemohon (Presiden),
dan Bendahara Umum Negara adalah melakukan pembelian saham divestasi PT NNT
Tahun 2010,” kata Agus.
Pembelian 7% saham divestasi PT NNT, lanjut Agus,
bertujuan untuk memberikan manfaat seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk
mewujudkan tujuan bernegara yaitu memajukan kesejahteraan umum dan dalam rangka
melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945. Proses penyelesaian pembelian saham
tersebut memicu perbedaan pendapat antara Pemerintah dan DPR. DPR berpendapat
bahwa Menkeu hanya dapat melakukan pembelian saham divestasi PT NNT setelah
mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu. “Sehubungan dengan adanya perbedaan
pendapat tersebut, termohon 1 (DPR) telah meminta termohon 2 (BPK) untuk melakukan
audit dengan tujuan tertentu terhadap proses pembelian 7% saham divestasi PT
NNT,” lanjut Agus.
Laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK, terang Agus,
BPK berkesimpulan bahwa keputusan Pemerintah untuk melakukan investasi jangka
panjang dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan swasta yaitu pembelian 7%
saham divestasi PT NNT oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk dan atas nama Pemerintah, harus ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah (PP) setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR sebagai
pemegang hak budget. Kendati demikian, Menkeu yakin mempunyai kewenangan
konstitusional untuk melakukan pembelian tersebut. “Pemohon (Pemerintah)
mempunyai kewenangan konstitusional untuk melakukan investasi pembelian 7%
saham divestasi PT NNT tahun 2010 tanpa perlu persetujuan termohon 1 (DPR)
terlebih dahulu,” tandas Agus.
Pengawasan Mutlak Diperlukan
Menanggapi permohonan Pemerintah, DPR melalui Harry
Azhar Azis dalam tanggapannya di hadapan pleno hakim konstitusi menyatakan DPR
mempunyai kewenangan konstitusional untuk memberikan persetujuan kepada
Pemerintah dalam hal pembelian 7% saham divestasi PT NNT. “DPR mempunyai
kewenangan konstitusional untuk memberikan persetujuan dalam hal Pemerintah
melakukan penyertaan modal terhadap perusahaan swasta,” kata Harry.
Pengawasan DPR mutlak diperlukan. Pengawasan DPR
bukan hanya terbatas pada pengelolaan di masing-masing sub bidang, mutasi
unsur-unsur keuangan antarnegara, dari satu sub bidang ke sub bidang lainnya. Tetapi
secara prinsip memerlukan persetujuan DPR. Hal ini, terangnya, merupakan
konsekuensi dari pemberian kewenangan legislatif kepada eksekutif. Presiden
sebagai kepala lembaga eksekutif tidak dapat mengingkari hal ini. Oleh karena
itu, keputusan pembelian 7% saham divestasi PT NNT bukanlah semata keputusan
eksekutif. “Tetapi harus melibatkan seluruh rakyat melalui para wakilnya di
lembaga legislatif,” lanjut Harry.
Ditetapkan dengan PP
BPK selaku termohon 2 yang diwakili Sekjen BPK
Hendar Ristriawan dalam keterangannya menyatakan, PT NNT merupakan perusahaan
swasta yang tertutup. Sesuai dengan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas,
setiap perobahan kepemilikan saham harus dilakukan perubahan anggaran dasar PT
NNT. “Saat ini perubahan anggaran dasar PT NNT terkait perubahan kepemilikan
saham yang di dalamnya memuat kepemilikan saham Pemerintah tersebut, sedang
dalam proses di BKPM,” terang Hendar.
Penyertaan modal Pemerintah pada perusahaan swasta
diatur dalam Bab VI Pasal 24 UU 17/2003, Pasal 41 ayat (4) UU 1/2004. Pasal 24
ayat (7) UU 17/2003 menyatakan: “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan
perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau
melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat
persetujuan DPR.”
“Setelah memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 24
ayat (7) UU 17/2003, penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta harus
ditetapkan dengan PP setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR,” lanjut
Hendar.
Berdasarkan
Pasal 41 ayat (4) UU 1/2004, papar Hendar, keputusan untuk melakukan investasi
jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal Pemerintah pada PT NNT yang
merupakan perusahaan tertutup, merupakan kewenangan Pemerintah yang harus
ditetapkan dengan PP. “Sedangkan kewenangan Menteri Keuangan selaku BUN adalah
melakukan eksekusi penyediaan dana penatausahaan, pengawasan dan pelaporan atas
keputusan Pemerintah tersebut,” tandas Hendar. (Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar