Tindak pidana pencurian dalam Pasal 365 ayat (4)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bukan merupakan kejahatan yang sangat
serius (the most serious crimes). Karena pencurian bukan tindak pidana
yang mempengaruhi fondasi budaya dan politik ekonomi masyarakat (adversely affect the economic cultural and political
foundation of society). Berdasarkan hukum positif di Indonesia, tindak pidana yang
tergolong the most serious crimes yaitu terorisme, Narkotika dan pelanggaran HAM berat.
Demikian dikatakan Rangga Lukita Desnata, kuasa
hukum para pemohon, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Selasa,
(13/3/2012) Sore. Persidangan dengan agenda perbaikan
permohonan untuk perkara nomor 15/PUU-X/2012 mengenai pengujian Pasal 365
ayat (4) KUHP ini dimohonkan oleh Raja Syahrial alias Herman
alias Wak Ancap dan Raja Fadli alias Deli. Keduanya adalah terpidana mati kasus
pencurian disertai kekerasan yang saat ini menghuni di lembaga
Permasyarakatan Tembesi, Kota Batam.
Pasal
365 ayat (4) menyatakan “Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh 2 (dua) orang atau
lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan
dalam no. 1 dan 3.”
Menurut
para pemohon, ketentuan Pasal 365 ayat (4) KUHP bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pasal 28A: “Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Pasal
28I ayat (1): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.”
Selain
itu, Pasal 365 ayat (4) KUHP tidak lagi relevan dengan adanya ketentuan dalam
Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pasal 6 ayat (2) UU 12/2005 menyebutkan bahwa hukuman mati hanya dapat dikenakan pada
kejahatan yang sangat serius. Sedangkan kejahatan yang dalam terkandung dalam
Pasal 365 ayat (4) KUHP tidak termasuk kejahatan yang serius sehingga ancaman pidana
mati seharusnya tidak diberlakukan lagi.
Rangga Lukita Desnata di hadapan panel hakim Ahmad
Fadlil Sumadi (Ketua Panel), didampingi dua anggota, Harjono dan maria Farida
Indrati, memaparkan perbaikan permohonan sebagaimana nasihat majelis hakim pada
persidangan bulan lalu, Jum’at (17/2/2012). Perbaikan permohonan menyangkut
empat hal, yaitu masalah penulisan, kewenangan Mahkamam Konstitusi, kedudukan
hukum (legal standing) dan substansi permohonan.
Lebih lanjut Rangga mendalilkan adanya perbedaan
signifikan antara Pasal 365 ayat (4) KUHP yang diujikan kliennya, dengan Pasal
340 KUHP Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. “Karena Pasal 340 KUHP,
niat , intention, dari pelaku ditujukan untuk menghabisi nyawa
seseorang,” dalil Rangga.
Berbeda
halnya dengan Pasal 365 ayat (4) KUHP, niat pelaku hanya mencuri. Namun karena
korban memergokinya kemudian berteriak, maka terjadilah pembunuhan. “Niat
utamanya adalah mencuri,” terang salah satu
pendiri LBH StreetLawyer ini.
Menurut
Rangga, tindak pidana dalam Pasal 365 ayat (4) KUHP merupakan blue color
crime. “Berbeda dengan gembong narkotika, pelanggaran HAM berat,” dalil
Rangga. Oleh karena itu Rangga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 365 ayat (4)
KUHP bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. (Nur Rosihin Ana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar