Kendaraan adalah sarana angkut di jalan, sebagaimana
ketentuan Pasal 1 ayat (7) UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (UU LLAJ) menyatakan, “Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang
terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor”. Yang menjadi
pertanyaan, apakah alat berat termasuk sarana angkut di jalan? Jika alat berat bukan
sarana angkut di jalan, maka alat berat tidak termasuk dalam genus definisi
kendaraan. Lalu, Layakkah alat berat dikenakan pajak kendaraan?
Fungsi definisi adalah membatasi suatu konsep.
Definisi kendaraan bermotor dalam Pasal
1 angka 13 UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)
dengan penambahan kata-kata “termasuk alat-alat berat” adalah menafikan
fungsi pembatasan. “Berarti fungsi membatasi sudah tidak ada,” kata Philipus M. Hadjon
saat didaulat sebagai ahli dalam persidangan perkara Nomor 1/PUU-X/2012
di Mahkamah Konstitusi, Kamis (15/3/2012) siang.
Permohonan judicial review materi UU PDRD diajukan
oleh tujuh direktur perusahaan, yaitu PT. Bukit Makmur Mandiri Utama, PT.
Pamapersada Nusantara (PAMA), PT. Swa Kelola Sukses, PT. Ricobana Abadi, PT.
Nipindo Prima Mesin, PT. Lobunta Kencana Raya, dan PT. United Arkato. Materi
pasal UU PDRD yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “…termasuk alat-alat berat
dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak
melekat secara permanen…”. Kemudian Pasal 5 ayat (2), sepanjang
frasa “… termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar…”, serta Pasal 6 ayat
(4), dan Pasal 12 ayat (2). Menurut para Pemohon, penarikan Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB) dan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) terhadap alat
berat, telah melanggar hak konstitusional mereka. Para Pemohon mendalilkan, alat
berat berfungsi sebagai alat bantu produksi, sehingga tidak masuk dalam
kategori kendaraan bermotor.
Tuntut Perlakuan Berbeda
Bagir Manan yang juga didaulat sebagai ahli Para
Pemohon, menjelaskan esensi keadilan yang termaktub dalam Pasal 28D UUD 1945. Menurutnya,
banyak cara untuk mewujudkan keadilan. Perlakuan yang sama di depan hukum
merupakan salah satu cara menjamin dan mewujudkan keadilan.
Bagir melihat keunikan dalam permohonan judicial
review yang diajukan para Pemohon. Sebab, perlakuan yang sama terhadap alat
berat dengan kendaraan bermotor, justru menyebabkan para Pemohon dirugikan.
Perlakuan yang sama ini menyebabkan para Pemohon harus mengeluarkan dana ekstra
untuk membayar pajak alat berat. “Justru pemohon menganggap perlakuan yang sama
itu dipandang sebagai suatu ketidakadilan, bahkan suatu pelanggaran hukum” jelas
Bagir Manan.
Lebih jauh Bagir menyatakan, dalam kondisi
tertentu, keadilan justru menuntut perlakuan yang berbeda. Dengan kata lain,
perlakuan yang sama di depan hukum justru menimbulkan ketidakadilan. Bagir pun
mengutip adagium yang menyatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda (tidak sama),
sama tidak adilnya dengan membedakan sesuatu yang tidak berbeda (sama).”
“Dalam keadaan tertentu, membedakan justru
merupakan syarat dan cara menegakkan keadilan. Sebaliknya, dalam keadaan
tertentu membuat segala sesuatu serba sama, sedangkan didapati berbagai
perbedaan, akan melukai rasa keadilan,” lanjut Bagir filosofis.
Bagir juga mengulas tentang perbedaan
fungsi dan tujuan. Menurutnya, fungsi dan tujuan yang berbeda menuntut
perlakuan dan cara yang berbeda pula. Kemudian, sebagai dasar tidak
diterapkannya persamaan yaitu, perbedaan harus memberi manfaat yang sebesarnya
bagi yang terkena perbedaan. “Bukan justru sebaliknya, (yaitu) merugikan atau
menimbulkan beban berlebihan bagi yang berbeda,” ulasnya.
Manfaat perbedaan dimaksudkan memberi
perlindungan, kemudahan, atau untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Perbedaan
antara lain diperlukan sebagai cara untuk mewujudkan persamaan itu sendiri.
Perbedaan terkadang sangat diperlukan demi ketertiban umum. Ketertiban umum
merupakan sarana menjamin ketenteraman, peri-kehidupan yang harmonis untuk
mencapai tujuan bersama.
Perlakuan yang sama terhadap para pemohon,
kata Bagir, menimbulkan beban tambahan berakibat pada produktivitas, efektivitas
dan biaya yang harus dipikul oleh konsumen. “Tentu saja secara asasi harus
dikaji akibat dari persamaan tersebut terhadap prinsip-prinsip keadilan. Jangan
sampai persamaan justru menimbulkan ketidakadilan,” tandas Bagir.
(Nur Rosihin Ana)
(Nur Rosihin Ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar