Jakarta,
MKOnline – Berdalih renovasi untuk meningkatkan kualitas Hotel
Papandayan Bandung dari bintang empat menjadi bintang lima, berakibat
di-PHK-nya karyawan. Padahal, di antara karyawan ada yang sudah bekerja
selama 20 tahun di hotel tersebut.
Di
antara mereka yang di-PHK, Asep Ruhiyat, Suhesti Dianingsih dan
Bambang Mardiyanto. Ketiganya mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK)
karena merasa hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28D
Ayat (2) UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 164 ayat (3) UU
13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker). Pasal 164 ayat (3) UU
Tenaker menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
tehadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa
(force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 Ayat (4).”
Pada
Senin (9/5/2011), untuk kali ketiga MK menggelar sidang yang
dimohonkan oleh Asep Ruhiyat dkk. Sidang Pleno MK yang dilaksanakan
oleh sembilan hakim konstitusi untuk perkara Nomor 19/PUU-IX/2011 ini
mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, Saksi dan Ahli
Pemohon.
Di
hadapan Majelis Hakim, Sunarno, Kuasa Hukum Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, menyatakan, pada dasarnya pengusaha, pekerja buruh,
serikat pekerja, serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya
mengusahakan agar jangan sampai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Guna memberikan kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah PHK yang
semena-mena, maka Pemerintah melalui UU Tenaker telah mengatur bahwa
pengusaha tidak dapat melakukan PHK tanpa mendapat penetapan sebelumnya
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. “Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan tanpa adanya penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah batal demi hukum,”
tegas Sunarno
Sunarno
yang menjabat Kepala Biro Hukum Kemenakertrans ini menambahkan,
sebagaimana diketahui, Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004. Saat ini, lembaga tersebut telah terbentuk di seluruh Indonesia.
Larangan PHK
Ketentuan dalam UU Tenaker mengatur tentang larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Selain itu, mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan pengusaha untuk mem-PHK, beserta besaran hak-hak pekerja buruh yang terkena PHK serta proses penyelesaian hubungan kerja.
Sebelum
pengusaha mengajukan permohonan penetapan PHK kepada Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, terang Sunarno, maka
maksud PHK tersebut wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat
pekerja, serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja atau
buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja atau
serikat buruh. “Apabila dalam perundingan tersebut tidak menghasilkan
persetujuan atau kesepahaman, maka pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerjanya dengan pekerja buruh setelah memperoleh penetapan dari
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” urainya.
Mengenai
hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak, besarannya berbeda antara perusahaan tutup karena
mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur) dengan perusahaan
tutup karena perusahaan tersebut melakukan efisiensi. Pekerja buruh
yang di-PHK dengan alasan perusahaan tutup karena mengalami kerugian
secara terus-menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa, maka pekerja
buruh berhak atas uang pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal
156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4) UU Tenaker. Kerugian perusahaan tersebut harus dibuktikan dengan
laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik.
Sedangkan
bagi pekerja buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan tutup bukan
karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur), tetapi
perusahaan melakukan efisiensi, maka berhak atas uang pesangon dua kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Tenaker. Adanya perbedaan besaran hak
tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi pekerja
buruh yang di-PHK karena perusahaan tutup, merugi atau keadaan memaksa
atau (force majeur) dan perusahaan tutup karena alasan lain.
Tak Tepat
Tindakan PHK dengan alasan efisiensi perusahaan saat terjadi renovasi Hotel Papandayan Bandung, menurut Pemerintah, dapat dimungkinkan operasional perusahaan tersebut berhenti. Namun terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama dengan perusahaan tersebut tutup. “Sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan mendasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah tidak tepat,” tegas Sunarno.
Tindakan PHK dengan alasan efisiensi perusahaan saat terjadi renovasi Hotel Papandayan Bandung, menurut Pemerintah, dapat dimungkinkan operasional perusahaan tersebut berhenti. Namun terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama dengan perusahaan tersebut tutup. “Sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan mendasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah tidak tepat,” tegas Sunarno.
Namun,
Menurut Pemerintah, anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 164
ayat (3) UU Tenaker telah menimbulkan kerugian konstitusional para
Pemohon adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak terbukti. Karena yang
terjadi adalah pengusaha yang dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan
Bandung, tidak mematuhi secara benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja
atau buruh, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk
diuji tersebut. Apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai, para Pemohon
dapat melakukan upaya hukum yang tersedia. Sehingga menurut
Pemerintah, hal demikian bukanlah masalah konstitusionalitas
keberlakuan norma UU Tenaker.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, Pemerintah memohon Majelis Hakim Konstitusi agar
menolak seluruh permohonan atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan
tidak dapat diterima. Kemudian, menerima keterangan Pemerintah secara
keseluruhan. Selain itu, menyatakan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU
Tenaker tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. “Namun
demikian, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia berpendapat lain, mohon kiranya putusan yang seadil-adilnya,”
kata Sunarno berharap. (Nur Rosihin Ana/mh)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5369
Tidak ada komentar:
Posting Komentar